MADRASAH DAN PEMBERDAYAAN
PERAN MASYARAKAT
Oleh : Fatah Syukur*)
Pendahuluan
Kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia merupakan simbiosis mutualistis antara masyarakat Muslim dan madrasah itu sendiri. Secara historis kelahiran madrasah tidak bisa dilepaskan dari peran / partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan. Pendidikan madrasah di Indonesia yang lahir pada awal abad ke-20 dengan munculnya Madrasah Mambaul Ulum di Keraton Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909 (Kuntowijoyo; 1994). Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan Islam yang telah ada, yakni antara pengaruh pembaharuan Islam di Timur Tengah, pendidikan Barat dan tradisi pendidikan Islam di Indonesia (baca pesantren). Pembaharuan tersebut meliputi tiga hal, yaitu : usaha penyempurnaan sistem pendidikan pesantren, penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat, dan menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat (Karel Stenbrink, 1984).
Dengan kata lain, munculnya sistem pendidikan madrasah juga merupakan respon atas kebijakan dan politik pendidikan Hindia Belanda pada saat itu. Politik pendidikan Hindia Belanda yakni dengan membuka lebih luas kesempatan pendidikan bagi penduduk pribumi, yang semula hanya terbatas pada kaum bangsawan, disamping merupakan politik etik, balas budi, juga merupakan salah satu usaha pemerintah Hindia Belanda untuk menundukkan masyarakat pribumi melalui jalur pendidikan (Zamakhsyari Dhofier, 1984).
Melihat fenomena ini, maka pada awal abad ke-20 dalam kehidupan pesantren terjadi suatu perubahan penting, yakni dimasukkannya system madrasah/klassikal ke dalam pesantren. Dalam bahasa yang sederhana dapat dikatakan bahwa madrasah dalam batas-batas tertentu merupakan lembaga persekolahan ala Belanda yang diebri muatan agama. Hal ini dianggap sebagai imbangan terhadap pesatnya pertumbuhan sekolah-sekolah yang memakai system pendidikan Barat (Ensiklopedi Islam, 1993).
Dinamika dan Problematika
Dalam perkembangannya, madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam sekarang ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Munculnya SKB 3 Menteri Tahun 1975 (Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri) menandakan bahwa eksistensi madrasah cukup kuat beriringan dengan sekolah umum. Munculnya SKB 3 Menteri merupakan langkah positif untuk meningkatkan mutu madrasah; baik dari status, ijazah, maupun kurikulumnya. Pada awalnya SKB 3 Menteri tersebut juga dipermasalahkan karena komposisi pendidikan umum dan agama 70 % dan 30 %. Namun oleh Menteri Agama pada saat itu, Mukti Ali, dijelaskan bahwa dalam prakteknya kedua mata pelajaran tersebut dapat saling mengisi, sehingga sama-sama 100 % (Biografi Sosial-Politik Menteri-menteri Agama RI, 1998).
Jauh sebelum SKB 3 Menteri tersebut, pemerintah telah meningkatkan penataan madrasah sebagai lembaga pendidikan formal. Penataan itu antara lain; Keputusan Menteri Agama No. 1 Tahun 1952, yang berisi klasifikasi dan penjenjangan pendidikan madrasah. Berdasarkan keputusan itu, pendidikan di madrasah dilaksanakan dalam tiga tingkat, yaitu tingkat dasar 6 tahun (Madrasah Ibtidaiyah), tingkat menengah pertama 3 tahun (Madrasah Tsanawiyah), dan tingkat menengah atas 3 tahun (Madrasah Aliyah). Dalam peraturan ini disebutkan juga bahwa di ketiga tingkat madrasah tersebut minimal harus mengajarkan tiga mata pelajaran akademik yang diajarkan di sekolah umum dan mengikuti standar kurikulum Departemen Agama.
Kemudian pada tahun 1958, Kementerian Agama mengusahakan pengembangan madrasah dengan memperkenalkan model Madrasah Wajib Belajar (MWB) yang ditempuh selama delapan tahun. Pendidikan Madrasah Wajib Belajar ini memuat kurikulum terpadu antara aspek keagamaan, pengetahuan umum, dan ketrampilan. Kendatipun demikian hasilnya belum optimal.
Munculnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, memperjelas posisi madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam. Madrasah Ibtidaiyah adalah Sekolah Dasar berciri khas Islam, Madrasah Tsanawiyah adalah SLTP berciri khas Islam dan Madrasah Aliyah adalah SMU berciri khas Islam. Konsekwensi dari semua itu adalah bahwa madrasah harus memberikan materi kurikulum minimal sama dengan materi kurikulum yang ada di sekolah umum.
Upaya untuk meningkatkan kualitas dan keberadaan madrasah tersebut, dalam perkembangannya tidak pernah lepas dari probelmatika-problematika yang dihadapi. Sebagai suatu inovasi dalam Sistem Pendidikan Islam, ada beberapa problematika yang dihadapi oleh madrasah :
1. Dengan inovasi struktur dan kurikulum yang diajarkan, madrasah seolah telah kehilangan akar sejarahnya, artinya keberadaan madrasah bukan merupakan kelanjutan dari pesantren, meskipun diakui bahwa pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia.
2. Terdapat dualisme pemaknaan terhadap madrasah. Di satu sisi, madrasah diidentikkan dengan sekolah (umum) karena memiliki muatan kurikulum yang realtif sama dengan sekolah umum. Di sisi lain, madrasah dianggap sebagai pesantren dengan sistem pendidikan klassikal yang kemudian dikenal dengan madrasah diniyah.
3. Muatan kurikulum yang relatif sama dengan muatan kurikulum di sekolah, menjadikan madrasah kurang memiliki jati diri sebagai lembaga yang mencetak ahli-ahli agama.
4. Dengan penegerian beberapa madrasah yang ada, mengakibatkan berkurangnnya peran serta masyarakat terhadap madrasah. Ada suatu anggapan bahwa setelah dinegerikan, maka semua tanggungjawab berada pada pemerintah, sehingga masyarakat lepas sama sekali.
5. Kendatipun status madrasah sudah disamakan dengan sekolah (umum), namun dalam realitasnya keberadaan madrasah tetap dianggap sebagai pendidikan kelas dua, baik dari segi kualitas akademik, maupun sarana dan dan prasarana.
Otonomi dan desentralisasi Pendidikan
Sering dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat terhadap otonomi daerah, maka sebagian besar urusan pemerintah akan didesentralisasikan kepada daerah setempat. Di antara urusan yang didesentralisasikan adalah masalah pendidikan.
Adapun tujuan adanya desentralisasi adalah :
1. Mengurangi beban pemerintah pusat, sekaligus juga mengurangi campur tangan pusat dalam hal-hal lokal dan memberi peluang untuk kordinasi di tingkat lokal.
2. Meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka terhadap usaha pembangunan sosial ekonomi.
3. Menyusun program-program perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal agar lebih realistis.
4. Melatih rakyat untuk bisa mengatur urusannya sendiri.
(Emil J. Sady dalam Tjokroamidjaja, 1978).
Dengan kebijakan desentralisasi tersebut, maka ada beberapa konsekwensi yang harus ditanggung, antara lain :
1. Implikasi administrasi, yakni pemberian wewenang yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan potensi.
2. Implikasi kelembagaan, yakni kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas perencanaan dan pelaksanaan unit-unit daerah.
3. Implikasi keuangan, yakni kebutuhan dana yang lebih besar bagi derah untuk dapat melaksanakan fungsinya di bidang pembangunan.
4. Implikasi pendekatan perencanaan, yakni button-up dengan melibatkan peran serta masyarakat.
Dalam urusan pendidikan yang semula di-sentralisasi dari pusat, termasuk semua kurikulum ditentukan oleh pusat, maka pada saat otonomi sudah efektif dilaksanakan, kurikulum lokal justru lebih banyak. Sebagai konsekwensi lain dari sistem desentralisasi adalah juga masalah dana pendidikan. Bila pada saat sentralisasi dana pendidikan banyak dicover dari pusat, maka sekarang tergantung dari pemerintah daerah dan masyarakat. Community Based Education merupakan pendidikan yang berbasis masyarakat yang berkembang sebagai konsekwensi dari rencana otonomi daerah yang dengan sendirinya akan terdapat otonomi terhadap bidang lain termasuk pendidikan. Jika dilihat kaitannya dengan madrasah, maka sistem sentralisasi yang ada selama ini akan dirubah menjadi desentralisasi.
Adapun hal-hal yang akan di desentralisasikan adalah :
- Masalah yang menyangkut bidang akademik, di antaranya adalah masalah kurikulum yang harus disesuaikan dengan kondisi lokal masing-masing, demikian juga masalah EBTANAS yang kemungkinan nantinya akan diganti dengan ujian tersendiri di masing-masing madrasah. Khusus untuk tingkat SD/MI EBTANAS sudah dihapus. Sehingga praktis yang menyelenggarakan ujian akhir adalah lembaga masing-masing.
- Masalah yang menyangkut bidang non akademik, seperti membuat perencanaan keuangan, administrasi, personalia dan sebagainya.
Dalam kerangka desentralisasi dan globalisasi, maka ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian :
- Menata mental kita, yang semua hanya menerima matang, baik dana maupun kurikulum, harus dirubah dengan sikap mental suka memberi, menghasilkan dan berkreasi. Persoalan perubahan mentalitas ini sangat penting. Karena selama hampir 33 tahun kita selalu dibiasakan dengan budaya atas ‘petunjuk atasan’. Di negara ini hampir tidak ada ruang gerak untuk mengembangkan kreatifitas, semua harus atas persetujuan atasan. Guru mengajar harus sesuai petunjuk pusat. Demikian pula yang berhak mengevaluasi juga pusat, sehingga peran guru tidak lebih dari robot yang dimainkan oleh pusat. Akibatnya kita selalu terbiasa dengan menerima matang, karena memang tidak boleh meramu sendiri.
- Meningkatkan kualitas akademik dengan membekali siswa terhadap kemampuan umum yang dapat menjadi alat dalam persaingan ke depan, misalnya bahasa Inggris dan sebagainya. Salah satu indicator keberhasilan sebuah lembaga pendidikan adalah bila alumninya dapat terserap dalam lapangan pekerjaan atau dapat melanjutkan di sekolah/perguruan tinggi yang favorit. Untuk itu, maka peningkatan kualitas akademik mutlak dilaksanakan.
- Perlu dipersiapkan guru-guru yang berkualitas, personalia yang profesional dan menunjang terhadap desentralisasi ini. Sumber daya manusia yang mengelola sebuah lembaga adalah kunci keberhasilan lembaga itu sendiri. Untuk itu, maka lembaga harus memeberikan dukungan kepada guru dan pegawai agar lebih berkualitas melalui peningkatan pelatihan, peningkatan pendidikan dan ruang gerak yang lebih kreatif.
- Perlu peran serta BP-3 secara maksimal. BP3 bukan hanya sekedar alat sekolah untuk mengumpulkan dana, akan tetapi ia juga dapat berperan sebagai pengendali mutu madrasah dan penyumbang ide-ide untuk kemajuan madrasah. Pemahaman masyarakat bahwa pendidikan adalah urusan sekolah, urusan guru, urusan yayasan, harus segera diluruskan. Bahwa urusan pendidikan semestinya adalah tanggungjawab orang tua, ditambah masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu konsekwensinya adalah apabila orang tua menginginkan lembaga pendidikan yang bonafid dan berkualitas, maka harus seimbang dengan biaya yang disumbangkan kepada lembaga pendidikan tersebut. Karena tidak mungkin maju sebuah lembaga pendidikan yang tidak dikelola secara professional dan dana yang memadai. Logikanya, agar guru yang mengajar dapat berkonsentrasi mengajar dengan baik, maka harus ditunjang dengan sarana dan prasarana. Artinya kebutuhan lembaga terpenuhi, demikian juga kebutuhan keluarga guru juga terjamin. Sehingga ketika mengajar tidak terlintas dalam pikiran ‘bagaimana keluarga kami makan besuk’.
Peran Masyarakat
Untuk menunjang suksesnya pendidikan berbasis masyarakat, maka peranan masyarakat sangat besar sekali. Masyarakat sebagai obyek pendidikan sekaligus juga akan menjadi subyek pendidikan. Sebagai obyek pendidikan, masyarakat merupakan sasaran garapan dari dunia pendidikan dan sebagai subyek pendidikan, masyarakat berhak mendesain model pendidikan sesuai dengan potensi dan harapan yang diinginkan oleh masyarakat setempat. Lebih dari itu sebagai subyek pendidikan, masyarakat juga bertanggungjawab terhadap prospek, termasuk dana pendidikan.
Ada beberapa bentuk peran serta masyarakat dalam menunjang keberhasilan otonomi dalam bidang pendidikan, antara lain :
1. Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah.
2. Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan.
3. Pengadaan dan pemberian tenaga ahli (guru tamu, peneliti, dan sebagainya).
4. Pengadaan / penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan oleh sekolah.
5. Pengadaan bantuan dana ; wakaf, hibah, pinjaman, beasiswa dan sebagainya.
6. Pengadaan dan pemberian bantuan ruang, gedung, tanah dan sebagainya.
7. Pemberian bantuan buku-buku pelajaran.
8. Pemberian kesempatan untuk magang / latihan kerja.
9. Pemberian bantuan managemen pendidikan.
10. Bantuan pemikiran dan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pendidikan.
11. Kerjasama dalam penelitian dan sebagainya.
Penutup
Dengan peran masyarakat secara aktif dalam dunia pendidikan, diharapkan program desentralisasi / otonomi pendidikan ini akan berhasil. Kata kuncinya adalah adanya keterbukaan, kejujuran, saling mempercayai dan profesionalitas. Tanpa itu maka program ini justru akan menjadi ‘malapetaka’, artinya sumbisidi pemerintah sudah tidak ada, sementara peran masyarakat juga tidak muncul, masing-masing saling melempar tanggungjawab, antara pemerintah, masyarakat dan orang tua.
DAFTAR PUSTAKA
Anggani Sudono, M.A., Mengembangkan Kesadaran Masyarakat; Berpartisipasi Meningkatkan Pendidikan Anak Bangsa, dalam Membangun Masyarakat Pendidikan, Bahan Bacaan Inservice Training BP-3 MI & MTs, INSEP bekerjasama dengan BEP Depag Jakarta, 2001.
Depag RI dan PPIM, Menteri-menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, Jakarta, INIS, PPIM dan Balitbang Depag, 1998.
Ensiklopedi Islam – 2 Fas-kal, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
Ghulam Farid Malik, DR., Pedoman Manajemen Madrasah, Basis Education Project (BEP) Depag RI kerjasaman dengan FKBA, Yogyakarta, 2000.
Ibrahim Musa, DR, M.A., Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah, Pusat Penelitian Kelembagaan Universitas Terbuka, Jakarta, 2000.
Karel A. Stenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekoleh, LP3M, Jakarta, 1984.
Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Jakarta, CV. Amisco, 1996.
Zamakhsyari Dhofier, K.H. Hasyim Asy’ari, Penggalang Islam Tradisional, Prisma 1, Januari 1984.
*) Penulis adalah Sekretaris Jurusan Kependidikan Islam dan Dosen di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar