31 Desember 2007

Aswaja

Ahlus Sunnah wal Jama'ah Sebuah Konsep Manhaji
Drs. H. Fatah Syukur NC, M.Ag.

Mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah 'Alaihi Asholatu wa Sallam dan para Sahabatnya r.a. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi saw dan para Sahabatnya r.a.
Ini merupakan salah satu aliran teologi dalam Islam yang timbul karena reaksi terhadap paham golongan Muktazilah, merupakan nama bagi aliran Asy'ariyah dan Maturidiah. Paham Muktazilah (aliran teologi Islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal) yang disebarkan pertama kali oleh Wasil bin Ata (80 H/699 M - 131 H/746 M) pada tahun 100 H/718 M berpengaruh dalam masyarakat. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada masa khalifah Abbasiyah, yaitu al-Ma'mun(198 H/813 M - 218 H/833 M), al-Mu'tasim (218 H/842 M-227 H/833 M), dan al-Wasiq(227 H/842 M - 233 H/847 M). Pengaruh ini semakin kuat ketika aliran Muktazilah dijadikan sebagai mazhab resmi yang dianut negara pada masa Khalifah al-Ma'mun.
Dalam penyebaran paham Muktazilah terjadi peristiwa yang membuat lembaran hitam dalam sejarah perkembangan Muktazilah itu sendiri. Khalifah al-Ma'mun dalam menerapkan prinsip amar ma'ruf nahi munkar melakukan pemaksaan paham Muktazilah kepada seluruh jajaran pemerintahannya, bahkan juga seluruh masyarakat Islam. Dalam pemaksaan paham Muktazilah ini banyak ulama yang menjadi panutan masyarakat menjadi korban penganiayaan. hal ini misalnya terjadi pada Imam Ahmad bin Hanbal, seorang yang berpegang teguh pada hadis Nabi SAW dan tidak mau menerima logika dalam pembuktian-pembuktian masalah-masalah akidah, yang harus mendapatkan siksaan karena sikap kuat dan konsistennya dalam mempertahankan prinsip bahwa Al-Qur'an itu bukanlah makhluk sebagaimana yang dianut oleh paham Muktazilah.

A. as-Sunnah
Secara etimologi berasal dari bahasa arab yaitu; ahlun berarti keluarga nabi, sahabat nabi dan orang yang berkompeten,arti dari assunnah adl. Ketentuan-ketentuan nabi, hadist, sedangkan al-jama’ah berarti kelompok, aliran, golongan.Secara istilah berarti suatu aliran atau golongan yang menganut dan berjalan dijalan nabi beserta sahabatnya.
Hubungan dengan PMII: Aswaja adalah sebagai manhaj alfiqr bagi PMII sehingga setiap tindakan dan gerakan PMII berlandaskan dari aswaja. Ciri-ciri aliran aswaja menurut Hasyim As’ary: Menganut empat madhab fiqih; imam Maliki, imam Hanafi, imam Hambali, imam Syafi’I, dan untuk madzhab tasawuf adalah imam Ghozali dan al-Khusairi sedang madzhab tauhid Abu al-Hasan al-asa’ry dan Abu Mansur al-Maturidzi.
As-Sunnah menurut bahasa adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk[1].
Sedangkan menurut ulama ‘aqidah, as-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah as-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengiku-tinya akan dipuji dan orang-orang yang menyalahinya akan dicela.[2]
Pengertian as-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbaly Rahimahullah (wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashry (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’iy (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H).” [3]


B. al-Jama'ah
Menurut bahasa disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haq/kebenaran, tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah.[4]
Jama’ah menurut ulama ‘aqidah adalah generasi pertama dari umat ini, yaitu kalangan Sahabat Nabi, Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran.[5]
Menurut Imam Abu Syammah: Kata Imam Abu Syammah as-Syafi’i Rahimahullah (wafat th. 665 H): “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya ialah ber-pegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallamj dan para Sahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka.”
Menurut Ibnu Mas'ud; Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud[6]:
“Artinya : Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.”[7]
Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mem-punyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.
Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaifah al-Manshuurah (golongan yang mendapatkan pertolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), Ghuraba’ (orang asing).

C. at-Thaifah al-Manshuurah
Tentang at-Thaifah al-Manshuurah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Senantiasa ada segolongan dari umatku yang selalu dalam kebenaran menegakkan perintah Allah, tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak menolongnya dan orang yang menyelisihinya sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.”[8]

D. al-Ghurabaa'
Tentang al-Ghurabaa’, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya : Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagai-mana awalnya, maka beruntunglah bagi al-Ghuraba’ (orang-orang asing).” [9]
Sedangkan makna al-Ghuraba’ adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu 'anhu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam suatu hari menerangkan tentang makna dari al-Ghuraba’, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya : Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada yang mentaatinya.” [10]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda mengenai makna al-Ghuraba’:
“Artinya : Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya manusia.” [11]
Dalam riwayat yang lain disebutkan:
“Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) sesudah dirusak oleh manusia.”[12]

E. Ahlul Hadits
Ahlus Sunnah, at-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan Ahlus Sunnah, at-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah dengan Ahlul Hadist suatu hal yang masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena penyebutan itu merupakan tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Hal ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti, ‘Abdullah Ibnul Mubarak, ‘Ali Ibnul Madiiny, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhary, Ahmad bin Sinan dan yang lainnya, Rahimahullah.[13]
Imam asy-Syafi’i[14] (wafat th. 204 H) Rahimahullah berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha mereka.”[15]
Imam Ibnu Hazm az-Zhahiri (wafat th. 456 H) menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah, “Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah Ahlul Haq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Shahabat Radhiyallahu Ajma'in dan setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih, kemudian Ash-habul Hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam yang mengikuti mereka baik di timur maupun di barat.” [16]

F. Profil PMII
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972, PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Di antara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE (seorang jurnalis sekaligus politikus legendaris).
Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.
Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.
“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).
Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45.

Referensi
1. Lisanul ‘Arab (VI/399)
2. Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah (hal. 16)
3. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikaam (hal. 495) oleh Ibnu Rajab, tahqiq dan ta’liq Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, cet. II, Daar Ibnul Jauzy, th. 1420 H
4. Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqiidah
5. Syarah Khalil Hirras, hal. 61
6. Seorang Sahabat Nabi, nama lengkapnya ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib al-Hadzali, Abu ‘Abdirrahman, pimpinan Bani Zahrah. Beliau masuk Islam pada awal-awal Islam di Makkah, yaitu ketika Sa’id bin Zaid dan isterinya, Fathimah binti Khattab, masuk Islam. Beliau melakukan dua kali hijrah, mengalami shalat di dua kiblat, ikut serta dalam perang Badar dan perang lainnya. Beliau termasuk orang yang paling ‘alim tentang al-Qur'an dan tafsirnya sebagai-mana telah diakui oleh Nabi diakui oleh Nabi. Beliau dikirim oleh Umar bin Khattab ke Kufah untuk mengajar kaum muslimin dan diutus oleh Utsman bin Affan ke Madinah. Beliau wafat tahun 32 H. Lihat al-Ishaabah (II/368 no. 4954)
7. Al-Baa’its ‘alaa Inkaaril Bida’ wal Hawaadits hal. 91-92, tahqiq oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman, Syarah Ushuulil I’tiqaad karya al-Laalika-iy no. 160
8. HR. Al-Bukhari (no. 3641) dan Muslim (no. 1037 (174)), dari Muawiyah
9. HR. Muslim no. 145 dari Abu Hurairah
10. HR. Ahmad (II/177, 222), Ibnu Wadhdhah no. 168. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad (VI/207 no. 6650). Lihat juga Bashaairu Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajas Salaf hal. 125
11. HR. Abu Ja’far ath-Thahawy dalam Syarah Musykilul Atsaar (II/170 no. 689), al-Laalika-iy dalam Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah no. 173 dari Shabahat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhu. Hadits ini shahih li ghairihi karena ada beberapa syawahidnya. Lihat Syarah Musykiilul Atsaar (II/170-171) dan Silsilah Ahaadits as-Shahiihah no. 1273
12. HR. At-Tirmidzi no. 2630, beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dari ‘Amr bin ‘Auf
13. Sunan at-Tirmidzi, Kitaabul Fitan no. 2229. Lihat Silsilah Ahaadits ash-Shahiihah karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany Rahimahullah (I/539 no. 270) dan Ahlul Hadits Humuth Thaifah al-Manshurah karya Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly
14. Nama lengkap beliau, Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas al-Qurasyi asy-Syafi’i Rahimahullah, yang terkenal dengan sebutan Imam asy-Syafi’i, beliau punya hubungan nasab dengan anak paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang bertemu dengannya pada silsilah ‘Abdi Manaf. Beliau dilahirkan tahun 150 H. Para ulama sepakat bahwa beliau adalah orang yang tsiqah, amanah, adil, zuhud, wara’, ‘alim, faqih dan dermawan. Beliau wafat di Mesir th. 204 H dalam usia 54 tahun. Di antara kitab-kitab karya beliau adalah kitab al-Umm dalam bidang fiqih, ar-Risaalah dalam ushul fiqih dan lainnya. Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (X/5-99). Untuk menge-tahui lebih jelas tentang manhaj Imam asy-Syafi’i dalam masalah ‘aqidah dapat dilihat pada kitab Manhajul Imam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah karya Dr. Muham-mad bin ‘Abdil Wahhab al-‘Aqiil, cet. I-1419 H, dalam dua jilid.
15. Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (X/60)
16. Al-Fishaal fil Milaal wal Ahwaa’ wan Nihaal II/271-Daarul Jiil, Beirut.

Tidak ada komentar: