25 Januari 2008

Penelitian,


Proposal Penelitian Individual

SISTEM NILAI DALAM BUDAYA ORGANISASI PENDIDIKAN DI PESANTREN
(Studi Tentang Interaksi Edukatif Kyai, Santri dan Keluarga Pesantren)

















Oleh
Drs. H. Fatah Syukur, M.Ag.
NIP. 150267028
Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo











Diajukan Untuk Memperoleh Dana Bantuan Penelitian DIPA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
Semarang Tahun 2007

SISTEM NILAI DALAM BUDAYA
ORGANISASI PENDIDIKAN DI PESANTREN
(Studi Tentang Interaksi Edukatif Kyai, Santri dan Keluarga Pesantren)


Abstraksi
Dunia pesantren merupan fenomena yang sangat menarik untuk diteliti. Lembaga yang dikatakan ‘Tradisional’ ini memiliki nilai-nilai pendidikan yang tinggi yang tidak banyak disadari dan diperhatikan oleh dunia pendidikan formal pada umumnya. Keberhasilan pendidikan bukan hanya ditentukan oleh komunikasi formal antara pendidikan dan anak didik, akan tetapi komunikasi informal dan komunikasi non formal justru merupakan faktor penting penentu keberhasilan pendidikan.
Dalam pesantren bangunan komunikasi terjadi secara formal, non formal dan informal. Selama dua puluh empat jam komunikasi dan interaksi terbangun di antara warga pesantren, baik antara kyai-santri, santri-santri, santri-keluarga kyai dan santri-masyarakat pesantren. Dalam interaksi tersebut, nilai-nilai pendidikan yang dibentuk oleh pesantren mempunyai andil besar dalam menentukan keberhasilan belajar santri. Hubungan santri-kyai-keluarga kyai-sesama santri terbentuk secara sosialogis, ideologios dan informal. Berbeda dengan komuniasi ‘modern’, pola komunikasi dan interaksi lebih didasarkan kepada kepentingan dan formalitas. Kehampaan komunikasi ‘modern’ antara lain karena hanya didasarkan pada bentuk komunikasi formal, sedangkan komunikasi informal dan non formal yang lebih humanis kurang mendapatkan perhatian yang memadai.
Penelitian ini bermaksud mengkaji karakteristik nilai pendidikan pesantren, ragam nilai pendidikan pesantren dan sistem nilai pendidikan dalam budaya organisasi di pesantren. Dengan nilai-nilai tersebut diharapkan dapat diadopsi ke dalam dunia pendidikan pada umumnya.
Fokus yang diteliti dalam penelitian ini adalah : Sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren yang meliputi Pesantren Raudlatuttolibin, dan Pesantren Luhur Kota Semarang. Di dua pesantren tersebut sebagian besar para santri adalah mahasiswa. Sebagai santri, mereka mengikuti system budaya yang ada di pesantren pada umumnya, misalnya budaya paternalistic dan sami’na wa atho’na. Namun sebagai mahasiswa, mereka selalu berinteraksi dengan nilai-nilai demokratisasi dan liberalisasi pemikiran. Bagaimana karakteristik budaya organisasi pesantren, ragam nilai dalam budaya organisasi pesantren dan bagaimana sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang.
Secara praktis diharapkan bermanfaat memberi gambaran tentang sistem nilai pada pesantren sehingga dapat menjadi acuan para penyelenggara dan pengelola pesantren khususnya dan pendidikan pada umumnya. Memberi masukan kepada Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional, Yayasan Pendidikan, dan Organisasi Keagamaan yang menyelenggarakan pendidikan dalam memajukan lembaga pendidikan berdasarkan sistem nilai.
Secara Teoritis diharapkan bermanfaat memperkaya teori manajemen pendidikan (pesantren) terutama yang berkaitan dengan sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yang dibangun dari dua kasus dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini semoga dapat dijadikan acuan bagi peneliti berikutnya / peneliti lain yang ingin mengkaji lebih mendalam dengan topik dan fokus serta setting yang lain untuk memperoleh perbandingan sehingga memperkaya temuan-temuan penelitian
Penelitian ini menggunakan kerangka studi kasus. Dalam penelitian ini berusaha untuk memahami makna peristiwa serta interaksi orang dalam situasi tertentu. Untuk dapat memahami makna peristiwa dan interaksi orang, digunakan orientasi teoritik atau perspektif teoritik dengan pendekatan fenomenologis (phenomenological approarch). Adapun metode dalam pengumpulan data dipergunakan interviw mendalam, observasi partisipan dan studi dokumentasi. Data tersebut kemudian dianalisis dengan menelaah data. Pelaksanaan pengecekan keabsahan data didasarkan pada empat kreteria yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability). Data tersebut kemudian ditata, dibagi menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, disintesis, dicari pola, ditemukan apa yang bermakna, dan apa yang diteliti dan dilaporkan secara sistematik.


A. Latar Belakang
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (pasal 15). Kemudian dalam pasal 30 (ayat 4) dijelaskan bahwa pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, samanera, dan bentuk lain yang sejenis. Dengan adanya ketentuan ini, maka secara formal pesantren adalah bagian dari sistem pendidikan nasional yang berhak mendapatkan perhatian yang serius sebagaimana sub sistem pendidikan nasional yang lain.
Kendatipun secara resmi pesanten di Indonesia baru masuk dalam sistem pendidikan nasional tahun 2003, namun peranan pesantren dalam pendidikan dan pembentukan karakter bangsa Indonesia sudah dimulai sejak berdirinya pesantren itu sendiri.
Peranan lembaga-lembaga pendidikan pesantren di Indonesia cukup besar dalam membina masyarakat. Lebih signifikan lagi adalah kiprah dunia pesantren dalam mempertahankan bangsa dan negara dari tangan penjajah selama berabad-abad yang berpuncak pada fatwa resolusi jihad Oktober 1945. Namun perhatian yang diberikan kepadanya, baik oleh pemerintah, para ahli pendidikan, dan kalangan masyarakat belum memadahi. Penilaian masyarakat terhadap lembaga pesantren masih lekat sebagai tempat mempelajari agama melulu. Begitu juga pada level internasional, studi mengenai dunia pesantren masih sangat langka. Sampai saat ini, baru ada tiga disertasi berbahasa Inggris yang membahas topik dunia pesantren. Pertama "The Pesantren Tradition" (Tradisi Pesantren) yang ditulis pada tahun 1980 oleh Dr. Zamakhsyari Dhofier dari the Department of Anthropology and Sociology, Australian National University, Camberra. Disertasi ketiga muncul tujuh belas tahun kemudian, Maret 1997 dengan judul "The Pesantren Architects and Their Sosio-Religious Teachings" (Para Pelopor Dunia Pesantren dan Ajaran-ajaran Sosial Keagamaan Mereka) oleh Abdurrahman Mas'ud dari University of California Los Angeles, USA. Kebetulan kedua disertasi tersebut ditulis oleh sarjana dari lingkungan pesantren sendiri. Dan desertasi ketiga adalah ditulis sarjana Amerika Serikat, Ronald Alan Lukens-Bull, dari North Florida University, AS, dengan judul Peaceful Jihad, di bawah bimbingan antropolog ahli Islam Jawa, Prof. Mark Woodward.
Komunitas pesantren juga telah memainkan peran penting dalam. perkembangan ilmu di tanah air dari dulu hingga kini. Saffina Belanda di abad sembilan belas, Berg, melaporkan bahwa aspek moral akhlaq, serta tasawuf adalah bagian terpenting yang diajarkan dalam institusi ini. (Lihat LM.C. Van den Berg, "Het Godsdientonderwijs op Java an Madoera en de Daarbij Gebmikte Arabische Boeken," in Tijdshrift voor Indische Twd, Land en Volkenkimde 31, 1886, p. 519-555). Selain itu pada umumnya pesantren-pesantren yang berpengaruh menawarkan ajaran dan praktek tariqat bagi murid-murid yang tidak menetap di pondok. Kegiatan yang terakhir ini biasanya ditangani oleh seorang guru sufi yang masyhur dan diikuti ratusan atau ribuan santri yang cukup usia.
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam telah membuktikan keberadaannya dan keberhasilannya dalam peningkatan sumber daya manusia atau human resources development. Dalam abad terakhir ini telah terbukti bahwa dari pesantren telah lahir banyak pemimpin bangsa dan pemimpin masyarakat. Pesantren juga telah memberikan nuansa dan mewarnai corak dan pola kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain, pesantren juga merupakan benteng pertahanan yang kokoh dalam menghadapi dahsyatnya gelombang budaya dan peradaban yang tidak sesuai dengan nilal-nilai Ilahiyyah. Sejarah telah mencatat prestasi pesantren sebagai pembentuk kultur unik Islami yang terkenal dengan sebutan "kultur santri Jawa".
Keunikan pesantren terletak pada kecerdikannya dalam mengkombinasikan budaya lokal dengan substansi dan ruh kehidupan yang serba Islam. Pesantren sebagai lembaga pendidikan sangat potensial dan eksepsional. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dunia pesantren memiliki akar historis, ideologis, kultur yang cukup solid. Kekuatan pesantren terletak pada konsistensinya melawan penjajah dalam. bentuk apapun dengan landasan keagamaan seperti "perang jihad mempertahankan bangsa dan negara melawan kafir".
Yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa Walisongo dan Nabi Muhammad merupakan kiblat utama kaum santri, dan bahwa modeling mengikati tokoh pemimpin, uswatun hasanah, merupakan bagian penting dalam filsafat Jawa. Kekuatan modeling ditopang dan sejalan dengan value sistem Jawa yang mementingkan paternalism dan patron-client relation yang sudah mengakar dalam budaya masyarakat Jawa. Pendekatan dan kebijaksanaan (approach & wisdom) Walisongo kini terlembagakan dalam esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejarahannya. Melalui konsep terakhir inilah keagungan Muhammad saw. serta kharisma Walisongo yang dipersonifikasikan oleh para auliya dan kyai, terjunjung tinggi dari masa ke masa.
Dari sejarah dapat diambil suatu pelajaran bahwa semakin besar tantangan dunia pesantren yang dihadapi, semakin resistan dan piawai dunia pesantren dalam merespons tantangan tersebut. Di saat Belanda semakin mempersempit kehidupan sosial religius-kultural bangsa paruh ketiga abad 19, justru muncul ulama'-ulama' pesantren kaliber internasional seperti Nawawi al Bantani (meninggal 1997) dan Mahfud Termaz (1868-1919) yang ketiganya dikenal sebagai Imam al-Haramain, guru besar di Mekkah dan Madinah dengan karya-karya tulis mereka semuanya dalam bahasa Arab. Tiga ulama' produktif ini merupakan fenomena pesantren yang jarang disentuh sekaligus menghapuskan kesan bahwa dunia pesantren adalah dunia pidato, lisan dan podium. Dengan demikian kesan tersebut merupakan kesan yang tidak diimbangi dengan pembacaan sejarah secara utuh, atau dalam istilah ilmiah disebut ovesimplification atau bahkan stereotyping.
Di saat tantangan Belanda semakin membabi buta ini pulalah, mucul pesantren induk, the mother of pesantrens, seperti Tebuireng di penghujuang abad 19. Jelas sekali bahwa tumbuh dan berkembangnya pesantren-pesantren ini tidak lepas dari ikatan ideologis kultural dan edukasional.
Besarnya peran yang dimainkan oleh pesantren tersebut bukan suatu kebetulan, tetapi ada nilai-nilai yang mendasarinya. Owens (1995:81) menyodorkan dimensi soft yang berpengaruh terhadap kinerja individu dan organisasi, yaitu nilai-nilai (values), keyakinan (biliefs), budaya (culture), dan norma perilaku. Nilai-nilai adalah pembentuk budaya, dan merupakan dasar atau landasan bagi perubahan dalam hidup pribadi atau kelompok.
Dalam hubungannya dengan pesantren, pemahaman santri terhadap ajaran agamanya, menuntut mereka untuk berperilaku sesuai dengan esensi ajaran agamanya, dalam kajian budaya (organisasi), wujud kebudayaan tingkat pertama, yaitu kebudayaan ideal, termasuk dalam hal ini ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Sedang lapisan yang paling tinggi tingkatannya disebut dengan sistem nilai budaya yang biasanya berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Sistem nilai budaya sebagai wujud kebudayaan ideal yang paling abstrak berada dalam pikiran warga masyarakat (pesantren) di mana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Dalam dimensi ini, sistem nilai budaya yang berkembang dalam alam pikiran umat beragama itulah yang menuntun perilaku mereka, termasuk dalam pengelolaan pesantren dan interaksinya dengan komunitas internal dan eksternal pesantren.
Berangkat dari latar belakang masalah tersebut banyak hal-hal menarik dan perlu dikaji dari dunia pesantren terutama yang menyangkut sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren yang mendasari pola fikir dan akitivitas dalam merespon perkembangan budaya di pesantren dan di luar pesantren. Secara lebih spesifik, pola fikir dan aktivitas yang terpancar dari sistem nilai tersebut antara lain tercermin dalam: (1) Pola pembelajaran di pesantren, (2) Semangat pengabdian di pesantren, (3) Pola hubungan santri dengan kyai, santri dengan keluarga kyai, santri dengan santri dan santri dengan masyarakat, dan (4) Pola pemikiran dunia pesantren dalam merespon perubahan sosial, ekonomi, dan politik.

B. Fokus Penelitian
Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka fokus yang diteliti dalam penelitian ini adalah : Sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren yang meliputi Pesantren Raudlatuttolibin, dan Pesantren Luhur Kota Semarang.
Fokus tersebut kemudian dirinci menjadi tiga sub fokus, yaitu:
Karakteristik budaya organisasi pada dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang
Ragam nilai dalam budaya organisasi pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang
Sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang.

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian, secara umum tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah menemukan sekaligus mendeskripsikan sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren, yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang
Tujuan tersebut kemudian dijabarkan ke dalam tujuan khusus, yakni sebagai berikut:
1. Ingin mengetahui karakteristik budaya organisasi di dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang.
2. Ingin mengetahui ragam nilai dalam budya organisasi di dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang
3. Ingin mengetahui sistem nilai dalam budaya organisasi di dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang
4. Ingin mengetahui perbedaan sistem nilai dalam budaya organisasi di Pesantren Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang.

D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis :
a. Memberi gambaran tentang sistem nilai pada pesantren dan yang dikembangkan sehingga dapat menjadi acuan para penyelenggara dan pengelola pesantren khususnya dan pendidikan pada umumnya.
b. Memberi masukan kepada Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional, Yayasan Pendidikan, dan Organisasi Keagamaan yang menyelenggarakan pendidikan dalam memajukan lembaga pendidikan berdasarkan sistem nilai.
2. Manfaat Teoritis :
a. Secara konseptual dapat memperkaya teori manajemen pendidikan (pesantren) terutama yang berkaitan dengan sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yang dibangun dari dua kasus dalam penelitian ini.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi peneliti berikutnya / peneliti lain yang ingin mengkaji lebih mendalam dengan topik dan fokus serta setting yang lain untuk memperoleh perbandingan sehingga memperkaya temuan-temuan penelitian.

E. Kerangka Konseptual
a. Budaya Organisasi
Istilah “budaya” mula-mula berkembang dalam disiplin antropologi sosial. Budaya sebagaimana software yang berada dalam otak manusia, yang menuntun persepsi, mengidentifikasikan apa yang dilihat, mengarahkan fokus pada suatu hal, serta menghindar dari orang lain.
Budaya diartikan sebagai “totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan suatu masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama” (Kotter&Heskett, 1992:4). Selain itu kebudayaan juga diartikan sebagai norma-norma perilaku yang disepakati olek sekelompk orang uuntuk bertahan hidup dan berada bersama (Farid, E.&Philip, RH. 1997). Secara sederhana, kebudayaan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan yang digunakan oleh manusia sebagai pedoman untuk memahami lingkungannya dan sebagai pedoman untuk mewujudkan tindakan dalam menghadapi lingkungannya.
Koentjaraningrat (1989) menyebutkan unsur-unsur universal dari kebudayaan adalah meliputi: (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi kemasyarakat, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian, (7) sistem teknologi dan peralatan. Selanjutnya dijelaskan bahwa budaya mempunyai tiga wujud, yaitu kebudayaan sebagai: (1) suatu komplek ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (2) suatu kompleks aktivitas kelakuan dari manusia dalam masyarakat; dan (3) sebagai benda-benda karya manusia.
Tiga macam wujud budaya di atas, dalam konteks organisasi disebut dengan budaya organisasi (organizational culture). Dalam kontek perusahaan, diistilahkan dengan budaya perusahaan (corporate culture), dalam lembaga pendidikan/sekolah disebut dengan budaya sekolah (school culture) dan dalam pesantren dapat dikatakan sebagai budaya pesantren (pesantren culture).
Budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu.
Riset terbaru mengemukakan tujuh karakteristik primer berikut yang bersama-sama, menangkap hakekat dari budaya suatu organisasi (J.A. Chatman dan K.A. John, 1994):
1. Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauhmana para karyawan didorong untuk inovasi dan mengambil resiko.
2. Perhatian ke rincian. Sejauhmana para karyawan diharapkan memperhatikan presisi (kecermatan), analisis, dan perhatian kepada rincian.
3. Orientasi hasil. Sejauhmana manajemen memfokus pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil.
4. Orientasi orang. Sejauhmana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu.
5. Orientasi tim. Sejauhmana kegiatan kerja diorganisasikan sekita tim-tim, bukannya individu-individu.
6. Keagresifan. Sejauhmana orang-orang itu agresif dan kometitif dan bukannya santai-santai.
7. Kemantapan. Sejauhmana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.
Masing-masing ciri ini dalam sebuah kontinum dari rendah sampai tinggi. Oleh karena itu dengan menilai organisasi tersebut dari ketujuh dimensi ini orang akan mendapatkan gambaran mejemuk tentang budaya organisasi tersebut.
Pengaruh budaya terhadap kinerja organisasi dapat dilihat dari dimensi manajemen, anggota secara kelompok, dan anggota secara individual. Budaya organisasi merupakan determinan bagi perilaku manajemen, disamping struktur, kepemimpinan, dan lingkungan eksternal.
Dari sudut anggota secara kelompok, budaya organisasi akan memberikan arah (direction) dalam menemukan cara-cara untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini budaya organisasi dapat memberikan pengaruh positif atau negatif, tergantung kecocokan (compatible) atau tidaknya budaya tersebut dengan perkembangan lingkungan internal maupun eksternal. Selain itu, budaya organisasi yang tersebar merata pada semua anggota organisasi, akan memberikan citra mengenai lembaga tersebut di mata customer.
Secara individual, budaya organisasi yang meresap dengan kita pada masing-masing anggota, akan menumbuhkan komitmen, sebagaimana dicontohkan suatu sekte keagamaan dapat mempengaruhi pengikutnya untuk melakukan bunuh diri secara sukarela. Komitmen di sini diartikan sebagai suatu kondisi di mana anggota organisasi memberikan kemampuan dan loyalitas tertingginya kepada organisasi, yang dengan itu mereka mendapatkan kepuasan (Hodge & Anthony, 1988).

b. Sistem Nilai Dalam Budaya Organisasi
Menurut Rokeach dan Bank (Chabib Thoha, 1996) nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dimana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Ini berarti berhubungan dengan pemaknaan atau pemberian arti suatu obyek.
Nilai juga dapat diartikan sebagai sebuah pikiran (idea) atau konsep mengenai apa yang dianggap penting bagi seseorang dalam kehidupannya. Selain itu, kebenaran sebuah nilai juga tidak menuntut adanya pembuktian empirik, namun lebih terkait dengan penghayatan dan apa yang dikehendaki atau tidak dikehendaki, disenangi atau tidak disenangi oleh seseorang. Allport, sebagaimana dikutip oleh Kadarusmadi (1996:55) menyatakan bahwa nilai merupakan kepercayaan yang dijadikan preferensi manusia dalam tindakannya. Manusia menyeleksi atau memilih aktivitas berdasarkan nilai yang dipercayainya.
Oleh karena itu, nilai terdapat dalam setiap pilihan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang baik berkaitan dengan hasil (tujuan) maupun cara untuk mencapainya. Dalam hal ini terkandung pemikiran dan keputusan seseorang mengenai apa yang dianggap benar, baik atau diperbolehkan.
Nilai-nilai penting untuk mempelajari perilaku organisasi karena nilai meletakkan fondasi untuk memahami sikap dan motivasi serta mempengaruhi persepsi kita. Individu-individu memasuki suatu organisasi dengan gagasan yang dikonsepsikan sebelumnya mengenai apa yang seharusnya dan tidak seharusnya.
DR. Rohmad Mulyono (2004:25) mengklasifikasi nilai ke dalam empat macam: (1) nilai instrumental dan nilai terminal; (2) nilai instrinksik dan nilai ekstrinsik; (3) nilai personal dan nilai sosial; dan (4) nilai subyektif dan nilai obyektif.
Selanjtunya Spranger (Allport, 1964) menjelaskan adanya enam orientasi nilai yang sering dijadikan rujukan oleh manusia dalam kehidupannya. Dalam pemunculannya, enam nilai tersebut cenderung menampilkan sosok yang khas terhadap pribadi seseorang. Karena itu, Spanger merancang teori nilai itu dalam istilah tipe manusia (the types of man), yang berarti setiap orang memiliki orientasi yang lebih kuat pada salah satu di antara enam nilai yang terdapat dalam teorinya. Enam nilai yang dimaksud adalah nilai teoretik, nilai ekonomis, nilai estetik, nilai sosial, nilai politik, dan nilai agama.
Perilaku manusia sehari-hari pada dasarnya ditentukan, didorong atau diarahkan oleh nilai-nilai budayanya. Nilai yang dominan akan memunculkan perilaku yang dominan dalam kehidupan manusia yang membuat manusia berbudaya. Menurut Koentjaraningrat, (1994), dalam kontek yang lebih mendasar, perilaku individu maupun masyarakat pada hakekatnya dipengaruhi oleh sistem nilai yang diyakininya. Sistem nilai tersebut merupakan jawaban yang dianggap benar mengenai berbagai masalah dalam dalam hidup.
Dalam dunia pesantren, nilai-nilai yang dikembangkan dirujukkan kepada sumber-sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an, Hadits dan Ijtihad. Pemahaman terhadap sumber-sumber ajaran Islam tersebut kemudian melahirkan disiplin ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf. Aspek fiqih mazhab, tauhid dan tasawuf sangat mengakar dalam kultur pesantren yang selanjutnya dilihat sebagai suatu bangunan sistem nilai yang dikenal dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Yasmadi, 2002:92). Konsep-konsep tentang tawazun (keseimbangan dan harmoni masyarakat), dan juga al-adalah (berkeadilan), tawasuth (moderat), dan tasammuh (menjaga perbedaan dan pluralisme dengan penuh toleransi) merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai sebuah sistem nilai yang dianut oleh sebagian besar pesantren banyak mempengaruhi terhadap pola pikir dan perilaku yang dipraktekkan di pesantren, baik dalam interaksi internal maupun eksternal pesantren.

c. Budaya Pesantren
Asal usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad. Maulana Malik Ibrahim (meninggal 1419 di Gresik, Jawa Timur), "Spiritual father" Walisongo, dalam masyarakat santri Jawa biasanya dipandang sebagai gurunya-guru tradisi pesantren di tanah Jawa. Oral history yang berkembang memberi indikasi bahwa pondok-pondok tua dan besar di luar Jawa juga memperoleh inspirasi dari ajaran Walisongo. Figur Maulana Malik Ibrahim memang sangat populer di luar Jawa pula. Misalnya pesantren Nahdlatul Wathan yang didirikan tahun 1934 di Pancor Lombok Timur NTB dan dewasa ini santrinya tidak kurang dari sepuluh ribu dengan cabangnya di Jakarta, ternyata juga memperoleh inspirasi dari ajaran da`wah Islamiyyah Maulana Malik Ibrahim. Tokoh ini akrab bukan hanya bagi para pemimpin pendiri Nahdlatul Wathan, tapi juga bagi para santri dan alumninya saat ini.
Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa abad 15-16 yang telah berhasil mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. Mereka secara berturut-turut adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunungjati. Wali dalam bahasa Inggeris pada umumnya diartikan “saint,” sementara songo dalam bahasa Jawa berarti sembilan. Diduga Wali yang dimaksud lebih dari sembilan, tapi agaknya bagi masyarakat Jawa angka sembilan memiliki makna tersendiri yang cukup istimewa. Para santri Jawa berpandangan bahwa Walisongo adalah pemimpin umat yang sangat saleh dan dengan pencerahan spiritual relijius mereka, bumi jawa yang tadinya tidak mengenal agama monotheis menjadi bersinar terang. Lebih dari itu, sebagaimana yang dideskripsikan Prof. A.H. John (Australia National University), mereka memiliki keampuhan spiritual healing atau penyembuhan berbagai macam penyakit rakyat dengan dukungan ekonomi mereka yang cukup kuat sebagai merchant. Posisi mereka dalam kehidupan sosio-kultural dan relijius di Jawa demikian memikat hingga bisa dikatakan bahwa Islam tidak akan pernah menjadi “the religion of Java” jika sufisme yang dikembangkan oleh Walisongo tidak mengakar dalam masyarakat. Rujukan ciri-ciri ini akan memungkinkan kita untuk memahami mengapa ajaran Islam yang diperkenalkan Walisongo di tanah Jawa hadir dengan penuh kedamaian, terkesan lamban tapi meyakinkan. Fakta menunjukkan bahwa dengan cara mentolerir tradisi lokal serta memodifikasinya ke dalam ajaran Islam dan tetap bersandar pada prinsip-prinsip Islam, agama baru ini dipeluk oleh bagsawan-bangsawan serta mayoritas masyarakat Jawa di pesisir utara.
Pendekatan Professor A.H. John perlu dikemukakan di sini untuk mengimbangi hasil penelitian Clifford Geertz yang ensiklopedis tapi masih belum mampu menjawab pertanyaan mengapa kemenangan Islam di Jawa demikian konklusif dan meyakinkan sebagaimana yang kita lihat dewasa ini. Penelitian antropologis Geertz sangat mengasosiakan Islam di Jawa dengan warisan-warisan Hindu-Buda. Bahwa Islam di Jawa sinkretis dan superficial sebagimana asumsi Geertz, jelas tidak didasarkan pada pengamatan proses Islamisasi dan transformasi sosial yang panjang serta memisahkan Islam Jawa dari peta dunia Islam secara keseluruhan. Hal ini tentu tidak sah menurut pendekatan sejarah dan dalam waktu yang sama telah mengecilkan peran besar Walisongo yang telah disepakati oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim dan non-Muslim.
Menarik untuk diamati mengapa change dalam bentuk konversi Hindhu-Budha ke Islam justru terjadi pertama di antara masyarakat nelayan bukan kerajaan di pedalaman. Dalam Islam, egalitarianisme, kesamaan hak individu, yang merupakan salah satu ajaran utama Islam agaknya sejalan dengan pandangan masyarakat pesisir yang lebih egalitarian. Keterbukaan dan mobilitas adalah ciri lain masyarakat pesisir yang lebih kondusif terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar maupun dalam. Letak geografis "coastal area" sebagai tempat persinggahan dan pusat kontak masyarakat dunia serta ciri dasar masyarakat pesisir agaknya juga telah membantu mempermudah masuknya Islam di Jawa.
Dari uraian sejarah pesantren di atas, sesungguhnya bisa ditarik benang merah tentang hakikat dan watak dasar pesantren baik sebagai lembaga pendidikan maupun sebagai sosio-kultural politik. Tanpa bertujuan mereduksi peran-peran pesantren dalam segala dimensinya, di bawah ini adalah refleksi pesantren sebagai sebuah budaya yang unik. Karakteristik utama budaya pesantren di antaranya adalah:
a. Modeling
Modeling dalam ajaran Islam bisa diidentikkan dengan uswatun hasanah atau sunnah hasanah yakni contoh yang ideal yang selayaknya atau seharusnya diikuti dalam komunitas ini. Tidak menyimpang dari ajaran dasar Islam, modeling dalam dunia pesantren agaknya lebih diartikan sebagai tasyabbuh:
Jika dalam dunia Islam, Rasulullah adalah pemimpin dan panutan sentral yang tidak perlu diragukan lagi, dalam masyarakat santri Jawa kepemimpinan Rasulullah diterjemahkan dan diteruskan oleh para Walisongo yang dikemudian hari sampai kini menjadikan mereka sebagai kiblat kedua setelah Nabi. Telah dimaklumi bersama bahwa Masjid Demak yang diresmikan oleh Sunan Kalijaga pada tanggal l Dzul Qa`dah 1428, pada umumnya disepakati sebagai masjid pertama di tanah Jawa dan dibangun sebelum Kerajaan Demak berdiri. Upaya mendahulukan pendirian Masjid sebelum negara Demak pada hakikatnya sama dengan upaya Nabi mendirikan Masjid Quba di Madinah sebelum kota suci ini dijadikan negara bagi seluruh penduduknya yang plural. Bagi umat Islam, Masjid adalah lambang dan perwujudan akhirat yang statusnya tentu lebih mulia dari gemerlapan duniawi dalam berbagai macam daya pikatnya. Dengan analogi ini, bisa difahami bila sebagian besar `ulama Jawa menjustifikasi apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dengan pendirian masjidnya sebagai bagian dari pelaksanaan Sunnah Nabi: yakni sebuah modeling par excellence.
Yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa modeling mengikuti seorang tokoh pemimpin merupakan bagian penting dalam filsafat Jawa. Walisongo yang menjadi kiblat kaum santri tentu berkiblat pada guru besar dan pemimpin Muslimin, Nabi Muhammad saw. Kekuatan modeling didukung dan sejalan dengan value sistem Jawa yang mementingkan paternalism dan patron-client relation yang sudah mengakar dalam budaya masyarakat Jawa
Para Walisongo selalu loyal pada missinya sebagai penerus Nabi yang terlibat secara fisik dalam rekayasa sosial. Misi utama mereka adalah menerangkan, memperjelas, dan memecahkan persoalan-persoalan masyarakat, dan memberi model ideal bagi kehidupan sosial agama masyarakat. Model Walisongo yang diikuti para `ulama dikemudian hari telah menunjukkan integrasi antara pemimpin agama dan masyarakat yang membawa mereka pada kepemimpinan protektif dan efektif. Approach dan wisdom Walisongo kini terlembagakan dalam esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejarahannya. Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan filosofis dan keagamaan antara taqlid dan modeling bagi masyarakat santri. Melalui konsep terakhir inilah keagungan Muhammad saw serta kharisma Walisongo, yang dipersonifikasikan oleh para auliya dan kiyai, telah terjunjung tinggi dari masa ke masa. Bahwa pendidikan Islam Walisongo ditujukan pada massa ini bisa dilihat pada rekayasa mereka terhadap pendirian pesantren. Pendidikan yang merakyat ini tidak diragukan lagi adalah induk pendidikan Islam di Indonesia atau the mother of Muslim educational institution. Pendekatan pendidikan Walisongo dewasa ini telah tersosialisasi secara luas dalam komunitas ini seperti kesalehan sebagai cara hidup kaum santri, serta pemahaman dan pengarifan terhadap budaya lokal.
Meskipun demikian pendidikan Islam Walisongo juga ditujukan pada penguasa. Keberhasilan Walisongo terhadap pendekatan yang terakhir ini biasanya terungkap dalam istilah populer “Sabdo Pandito Ratu” yang berarti menyatunya pemimpin agama dan pemimpin negera. Dengan kata lain dikotomi atau gap antara ulama dan raja tidak mendapatkan tempat dalam ajaran dasar Walisongo. Hal ini sesuai dengan watak dasar agama tauhid ini yang tidak memberi ruang pada sekularisme. Ajaran ini adalah warisan Sunan Kalijaga, sebagai grand designer yang telah mewariskan sistem Kabupaten di Jawa tipikal dengan komponen-komponen kabupaten, alun-alun, dan masjid agung. Ajaran ini dikemudian hari dipopulerkan oleh Sultan Agung. Menarik untuk dijadikan renungan sejarah bahwa barangkali masjid-masjid "agung" di Jawa saat ini, adalah bentuk modeling yang tidak disadari atas historisitas peninggalan Sultan Agung. Hubungannya bukan sekedar terdapat pada nama "agung" yang telah menyejarah dan melegenda, melainkan juga pada substansi dan format al-madinah al-fadilah ini.
Seperti yang telah disinggung di atas, pendidikan Walisongo mudah ditangkap dan dilaksanakan. Hal ini selaras dengan ajaran Nabi wa khatibinnas `ala qodri `uqulihim. Pola pendidikan ini terlihat dalam rumusan naskah Islam Jawa klasik “arep atatakena elmu, sakadare den lampahaken”(Carilah ilmu yang bisa engkau praktekan, terapkan). Pendekatan ini pula yang mengantarkan pendidikan Islam melalui media wayang yang begitu merakyat. Ajaran rukun Islam dengan demikian bisa ditemukan dalam cerita perwayangan, seperti syahadatain sering dipersonifikasikan dalam tokoh Puntadewa, tokoh tertua di antara Pandawa dalam kisah Mahabarata. Puntadewa (syahadatain) digambarkan sebagai raja adil yang tulus ikhlas bekerja untuk kesejahteraan rakyat, yakni pemimpin yang konsisten kata dan perbuatannya. Tingkah laku yang tidak munafik ini adalah refleksi tindakan dan ucapan kaum beriman atau “lips of faith.” Ajaran Islam yang diperagakan melalui media wayang merupakan model yang mudah dicontoh. Modeling dalam dunia pesantren memang tidak terbatas pada satu dimensi kehidupan. Hal ini sekaligus memberi indikasi bahwa masyarakat ini senantiasa membutuhkan model kepemimpinan yang ideal dalam segala bentuk dan zaman.
b. Cultural resistance
Mempertahankan budaya dan tetap bersandar pada ajaran dasar Islam adalah budaya pesantren yang sudah berkembang berabad-abad. Sikap ini tidak lain merupakan konsekuensi logis dari modeling. Disayangkan bahwa hampir belum ada ilmuwan yang memusatkan perhatian pada tiga aspek ini secara proporsional. Konsepsi ini bahkan sering disalahfahami oleh sarjana-sarjana Barat seperti penghampiran mereka yang lebih memusatkan perhatian pada sinkretisme Islam atau juga studi yang lebih menekankan wajah Hindhu-Budha sebagai induk budaya Jawa sementara Islam dipandang sebagai anak budaya. Dengan kata lain meskipun Islamisasi telah terjadi di sini sejak abad 14, Islam masih dipandang sebagai baju atau kulit luar budaya Jawa. Kesalahan ini sering disebabkan oleh ketidak mampuan mereka dalam memahami teks-teks standar Sunni Islam, misalnya konsep tentang inovasi al muh}a>faz}at ala> qadi>m al s}a>leh wa al akhz}u bi al jadi>d al as}lah (menjaga suatu tradisi yang baik dan mengambil tradisi yang lebih baik). Hal ini bisa dimaklumi karena sebagian besar mereka yang mempelajari Islam Jawa hanya dilengkapi dengan ilmu-ilmu sosial khususnya antropologi. Dengan kata lain mereka tidak memiliki disiplin ilmu Islamic Studies. Mereka yang banyak belajar kajian ke-Islaman seperti Prof. A.H. John dan Markwood Ward akan menghasilkan kesimpulan lebih simpatik terhadap dinamika budaya Islam Jawa.
Walisongo dan para kiyai Jawa adalah agent of social change melalui pendekatan kultural, bukan politik struktural apalagi kekerasan. Istilah Islam kultural yang selama ini ditujukan pada pendekatan Abbdurrahman Wahid dan Nur Cholis Majid, sesungguhnya secara substansial tidak berbeda dengan pendekatan Walisongo dan `ulama-`ulama terdahulu. Apa yang terjadi bukanlah intervensi melainkan akulturasi dan peaceful coexistence.
Ide cultural resistence juga mewarnai kehidupan intelektual dunia pesantren. Subjek yang diajarkan di lembaga ini melalui hidayah dan berkah seorang kiyai sebagai guru utama atau irsya>du usta>zin. Adalah kitab klasik atau kitab kuning, diolah dan ditransmisikan dari satu generasi ke genarasi berikut, yang sekaligus menunjukkan keampuhan kepemimpinan kiyai. Isi pengajaran kitab kuning menawarkan kesinambungan tradisi yang benar, al-qadim al-salih, yang mempertahankan ilmu-ilmu agama dari sejak periode klasik dan pertengahan. Memenuhi fungsi edukatif, materi yang diajarkan di pesantren bukan hanya memberi akses pada santri rujukan kehidupan keemasan warisan peradaban Islam masa lalu, tapi juga menunjukkan peran masa depan secara konkrit, yakni to live a Javanese Muslim life: cara hidup yang mendambakan damai, harmoni dengan masyarakat, lingkungan, dan Tuhan.
Karena konsepsi cultural resistance pula, dunia pesantren selalu tegar menghadapi hegemoni dari luar. Sejarah menunjukkan bahwa saat penjajah semakin menindas, saat itu pula perlawanan kaum santri semakin keras. Penolakan Sultan Agung dan Diponegoro terhadap kecongkakan Belanda, ketegaran kiyai-kiyai di masa penjajahan, serta kehati-hatian para pemimpin Islam berlatarbelakang pesantren dalam menyikapi kebijaksanaan penguasa yang dirasakan tidak bijaksana atau sistem yang established sehingga menempatkan mereka sebagai kelompok "oposan" adalah bentuk-bentuk cultural resistance dari dulu hingga sekarang. Dalam konteks ini bisa difahami jika pesantren-pesantren tua dan besar selalu dihubungkan dengan kekayaan mereka yang berupa kesinambungan ideologis dan historis, serta mepertahankan budaya lokal: a historical and ideological continuum with its cultural resistance. Denominasi keagamaan dunia pesantren yang Syafi`i-Asy`ari-Ghazalian-Oriented terbukti sangat mendukung terhadap pengembangan dan pelaksaan konsep cultural resistance ini. Menarik diamati bahwa kaum santri tidak pernah menyebut Syafi`i dan Ghazali terlepas dari kata “Imam” di depan tiga nama itu. Bukankah ini tradisi unik dunia pesantren yang tidak dijumpai di negara-negara Islam lain. Modeling terhadap tiga tokoh ini dan cultural resistence dalam bentuk kesinambungan kesejarahan adalah tiga konsep yang telah menyatu dalam illustrasi terakhir ini.

c. Budaya keilmuan yang tinggi
Dunia pesantren senantiasa identik dengan dunia ilmu. Definisi pesantren itu sendiri selalu mengacu pada proses pembelajaran dengan komponen-komponen pendidikan yang mencakup pendidik, santri, murid, serta fasilitas tempat belajar mengajar.
Rujukan ideal keilmuan dunia pesantren cukup komprehensif yang meliputi inti ajaran dasar Islam itu sendiri yang bersumber dari al-Qur'an Hadis, tokoh-tokoh ideal zaman klasik seperti Imam Bukhari, serta tradisi lisan yang berkembang senantiasa mengagungkan tokoh-tokoh `ulama Jawa yang agung seprti Nawawi al-Bantani, Mahfudz al-Tirmisi dan lain-lain. Ayat al-Qur'an pertama kali yang diwahyukan adalah surat iqra' yang menyerukan signifikasi baca dan belajar bagi kaum beriman. Menjadi Muslim berarti menjadi santri, menjadi santri berarti tidak boleh lepas dari kegiatan belajar 24 jam di lembaga pendidikan pesantren. Status santri, bagi komunitas ini, dengan demikian selalu lebih mulia dibanding dengan status non-santri. Rujukannya jelas ayat al-Qur'an yang menjanjikan status mulia dan khusus bagi kaum beriman dan berilmu. Pendidikan sehari semalam penuh dalam dunia pesantren dengan batas waktu yang relatif, serta hubungan guru-murid yang tidak pernah putus adalah implementasi dari ajaran Nabi yang menekankan keharusan mencari ilmu dari bayi sampai mati, minal mahdi ilallahdi. Singkatnya ajaran dasar Islam adalah landasan ideogis kaum santri untuk menekuni agamanya sebagai ilmu dan petunjuk yang bermanfaat di dunia dan akhirat.
Jika dalam zaman keemasan Islam tradisi al-rih}lah fi> ta>lab al-`ilm demikian luar biasa sebagaimana yang tercermin dalam perjalanan intelektual Imam Bukhari, sejarah telah membuktikan bahwa tradisi yang yang sama juga berkembang sepanjang masa dalam masyarakat santri hingga dikenal istilah wandering santris atau santri-santri kelana. Tradisi rihlah ini pula yang telah mengantarkan tiga tokoh utama pesantren: al-Bantani dan al-Tirmisi, mengembara sepanjang hidupnya dan menjadi guru besar di Mekkah dan Madinah. Fenomena dua master intelektual dunia pesantren ini membuktikan bahwa ilmu agama tidak hanya milik dunia Timur Tengah, dan bahwa ilmuwan berlatarbelakang sosio-kultural pesantren mampu menandingi `ulama-`ulama manca negara baik dalam kegiatan tulis menulis berbahasa Arab maupun dalam kegiatan akademik pengajaran di pusat dunia Islam.
Dewasa ini makna penting keilmuan dunia pesantren agaknya tidak bergeser. Seorang tokoh modernis, Dawam Rahardjo, misalnya, menaruh kepercayaan besar terhadap alumni-alumni pesantren yang memperoleh pendidikan di dunia Barat dan bekerja di berbagai sektor dan kantor swasta dan negara di Indonesia.
Dengan merujuk pada dinamika keilmuan pesantren dalam sejarah, agaknya istilah "konservatif" yang dialamatkan pada komunitas atau tradisi pesantren selama ini perlu ditinjau kembali. "Konservatif" pada umumnya identik dengan statis, jumud, serta implikasi-implikasi fatalis lainnya. Lebih dari itu "konservatif" adalah kata impor dari kamus Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian tradisionalitas pesantren selayaknya ditujukan pada satu tradisi luhur dalam berbagai hal, termasuk tradisi intelektual pesantren yang belum pernah terhenti sampai sekarang

F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Rancangan Penelitian
Pendekatan merupakan kerangka berfikir/kerangka kerja, term of work, term of thinking yang mendasari dari penelitian ini. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran mendalam tentang sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan dari latar yang alami (natural setting) sebagai sumber data langsung. Pemaknaan terhadap data dihasilkan dari kedalaman atas fakta yang diperoleh.
Penelitian ini diharapkan dapat menemukan sekaligus mendeskripsikan data secara menyuluh dan utuh mengenai sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren. Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat membangun teori secara induktif dari abstraksi-abstraksi data yang dikumpulkan tentang sistem nilai budaya organisasi pesantren berdasarkan temuan makna dalam latar yang alami.
Pesantren yang menjadi obyek penelitian ini adalah Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang.. Kedua pesantren tersebut memiliki kekhasan masing-masing dalam mengekspresikan sistem nilai dalam pendidikannya.
Penelitian ini menggunakan rancangan studi kasus. Sebagaimana ditegaskan oleh Bodgan dan Biklen (1998:62) bahwa:
When research study two or more subjects, setting or depositories of data they are usually doing what we call multi-case studies. Multi-case studies take a variety of forms. Some start as a single case only to have the original work serve as the first in series of studies or as the pilot for a multi-case study. Other studies are primarily single-case studies but include less intense, less extensive observations at other sites for the purpose of addressing the question of generalizability. Other researchers do comparative case studies. Two or more case studies are done and then compared and contrasted.

Karakteristik utama studi kasus adalah apabila peneliti meneliti dua atau lebih subjek, latar atau tempat penyimpanan data. Kasus yang diteliti adalah sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yang memiliki latar berbeda. Pesantren Raudlatuttolibin Semarang hampir sebagian besar santrinya adalah mahasiswa. Keberadaan santri sebagai mahasiswa ini menjadikan pola pembelajaran di pondok dan sistem penentuan kurikulum pondok lebih akomodatif. Sebagian besar program pembelajaran di pondok dirancang bersama antara kyai dan santri. Kemudian Pesantren Luhur Mangkang Semarang merupakan pesantren salafiyah. Ada dua bagian dalam pondok ini, yakni santri mahasiswa yang berada di ‘komplek’ dan santri yang hanya mondok. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus kajian adalah santri yang hanya mondok. Pola pembelajaran di sini mengikuti model salaf murni, dimana para santri hanya diberi materi pembelajaran kitab-kitab kuning tanpa sekolah. Mereka tinggal di pondok secara full time.
Rancangan studi kasus dilakukan sebagai upaya pertanggungjawaban ilmiah berkenaan dengan logis antara penelitian, pengumpulan data yang relevan, dan analisis data penelitian.
Memperhatikan keberadaan masing-masing pesantren tersebut di atas, kasus dan karakteristik keduanya berbeda-beda, terutama dari segi nilai-nilai yang dianut, maka penelitian ini cocok untuk menggunakan rancangan studi kasus. Penerapan rancangan studi multi kasus dimulai dari kasus tunggal (sebagai kasus pertama) terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan pada kasus kedua.
Sebagai penelitian studi kasus, maka langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) melakukan pengumpulan data pada kasus pertama, yaitu Pesantren Raudlattolibin Semarang. Penelitian ini dilakukan sampai pada tingkat kejenuhan data, dan selama itupula dilakukan kategorisasi dalam tema-tema untuk menemukan konsepsi tematik menganai sistem nilai dalam budaya orgnisasi di pesantren tersebut; (2) melakukan pengamatan pada kasus kedua, yaitu Pesantren Luhur Mangkang Semarang. Tujuannya adalah untuk memperoleh temuan konseptual mengenai sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren tersebut.
Berdasarkan temuan konseptual dari kedua pesantren tersebut, selanjutnya dilakukan analisis komparasi dan pengembangan konseptual untuk mendapatkan abstraksi tentang karakteristik budaya organisasi, ragam nilai, dan sistem nilai dari kedua pesantren tersebut. Dalam hal ini dilakukan analisis termodifikasi sebagai suatu cara mengembangkan teori dan mengujinya .
Dalam penelitian ini berusaha untuk memahami makna peristiwa serta interaksi orang dalam situasi tertentu. Untuk dapat memahami makna peristiwa dan interaksi orang, digunakan orientasi teoritik atau perspektif teoritik dengan pendekatan fenomenologis (phenomenological approarch).
Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengamati fenomena-fenomena dunia konseptual subjek yang diamati melalui tindakan dan pemikirannya guna memahami makna yang disusun oleh subjek sekitar kejadian sehari-hari. Peneliti berusaha memahami subjek dari sudut pandang subjek itu sendiri, dengan tidak mengabaikan penafsiran, dengan membuat skema konseptual. Menurut Weber, pendekatan fenomenologi disebut verstehen apabila mengemukakan hubungan antara gejala-gejala sosial yang dapat diuji, bukan pemahaman empirik semata. Dengan menggunakan metode Verstehen ini, peneliti dapat memahami secara emik konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai, ide-ide, gagasan-gagasan, dan norma-norma yang berlaku di tiga pesantren tersebut, sehingga tidak terjadi kekeliruan penafsiran atas makna objek yang diteliti.
Kecuali pendekatan fenomenologis, mengingat penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren, maka untuk memahami perbedaan budaya yang muncul pada masing-masing pesantren digunakan pula orientasi teoritik dengan pendekatan budaya untuk memahami hakekat sudut pandangnya, keterkaitan dengan kehidupan, dan untuk mengungkap visinya mengenai dunianya.

2. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, peneliti memakai tiga prosedur, yaitu wawancara mendalam, observasi partisipan dan studi dokumentasi.
a. Wawancara Mendalam
Wawancara digunakan untuk mengungkap makna secara mendasar dalam interaksi yang spesifik. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak terstuktur (unstandarized interview) yang dilakukan tanpa menyusun suatu daftar pertanyaan yang ketat. Selanjutnya wawancara yang tidak terstandar ini dikembangkan dalam tiga teknik, yaitu (1) wawancara tidak terstruktur (unstructured interview atau passive interview), (2) wawancara agak terstruktur (some what structured interview atau active interview), dan (3) wawancara sambil lalu (casual interview).
Wawancara ini dilakukan terhadap kyai, pengasuh pondok pesantren, pengurus dan sebagian santri. Isi pokok yang ingin digali dari wawancara antara lain; (1) pandangan tentang keunggulan pesantren yang menjadi objek penelitian; (2) pandangan dan keyakinan tentang nilai-nilai sebagai acuan dalam berkarya; (3) upaya-upaya yang dilakukan untuk memajukan pesantren berdasarkan nilai-nilai yang diyakini.
b. Observasi Partisipan
Observasi partisipan merupakan karakteristik interaksi sosial antara peneliti dengan subjek-subjek penelitian. Dengan kata lain, proses bagi peneliti memasuki latar dengan tujuan melakukan pengamatan tentang bagaimana peristiwa-peristiwa dalam latar saling berhubungan. Observasi partisipan dilakukan untuk melengkapi data hasil wawancara yang diberikan oleh informan yang mungkin belum menyeluruh atau belum mampu menggambarkan segala macam situasi atau bahkan melenceng. Ada tiga tahap observasi, yaitu observasi deskriptif (untuk mengetahui gambara umum), observasi terfokus (untuk menemukan kategori-kategori), dan observasi selektif (untum mencari perbedaan di antara kategori-kategori).
c. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk mengumpulkan data-data yang mendukung untuk memahami dan menganalisis sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren. Data tersebut meliputi; data santri, data ketenagaan, sarana-prasarana, organisasi, manajemen, pedoman peraturan, proses belajar-mengajar, sejarah pondok pesantren dan sebagainya.
3. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang telah dihimpun oleh peneliti. Kegiatan analisis dilakukan dengan menelaah data, menata, membagi menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, mensintesis, mencari pola, menemukan apa yang bermakna, dan apa yang diteliti dan dilaporkan secara sistematik.
Data tersebut terdiri dari deskripsi-deskripsi yang rinci mengenai situasi, peristiwa, orang, interaksi, dan perilaku. Dengan kata lain, data merupakan deskripsi dari pernyataan-pernyataan seseorang tentang perspektif, pengalaman, atau sesuatu hal, sikap, keyakinan, dan pikirannya serta petikan-petikan isi dokumen yang berkaitan dengan suatu program.
Mengingat penelitian ini menggunakan rancangan studi multi kasus, maka dalam menganalisis data dilakukan tiga tahap, yaitu (1) analisis data kasus individu dan (2) analisis data lintas kasus.
Menurut Miles dan Huberman (1992) analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data (menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tiodak perlu dan mengorganisir data), penyajian data (menemukan pola-pola hubungan yang bermakna serta memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan) dan penarikan kesimpulan/verifikasi (membuat pola makna tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi).
d. Pengecekan Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan data adalah bagian yang sangat penting dan tidak terpisahkan dari penelitian kualitatif. Pelaksanaan pengecekan keabsahan data didasarkan pada empat kreteria yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability) (Moleong, 1994).
Menurut Lincoln dan Guba (1985), bahwa untuk memperoleh data yang valid dapat ditempuh teknik pengecekan data melalui: (1) observasi yang dilakukan secara terus-menerus (persistent observation); (2) trianggulasi (triangulation) sumber data, metode dan peneliti lain; (3) pengecekan anggota (member check), diskusi teman sejawat (peer reviewing); dan (4) pengecekan mengenai kecukupan refernesi (referencial adequacy check)
Transferibilitas atau keteralihan dalam penelitian kualitatif dapat dicapai dengan cara “uraian rinci”. Untuk itu maka dalam penelitian ini peneliti berusaha melaporkan hasil penelitiannya secara rinci. Uraian laporan diusahakan dapat mengungkap secara khusus segala sesuatu yang diperlukan oleh pembaca, agar para pembaca dapat memahami temuan-temuan yang diperoleh. Penemuan itu sendiri bukan bagian dari uraian rinci melainkan penafsirannya yang diuraikan secara rinci dengan penuh tangngungjawab berdasarkan kejadian-kejadian nyata.
Dependedabilitas atau kebergantungan dilakukan untuk menanggulangi kesalahan-kesalahan dan konseptualisasi rencana penelitian, pengumpulan data, interpretasi temuan, dan pelaporan hasil penelitian. Untuk diperlukan dependent auditor atau para ahli di bidang pokok persoalan penelitian ini.
Konfirmabilitas atau kepastian diperlukan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh obyektif atau tidak. Hal ini tergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat, dan temuan seseorang. Jika telah disepakati oleh beberapa atau banyak orang dapat dikatakan obyektif, namun penekanannya tetap pada Tanya. Untuk menentukan kepastian data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengkonfirmasikan data dengan para informan atau para ahli.

F. Jadual Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan selama 6 (enam) bulan, dengan perincian waktu sebagai berikut :
1. 1 – 15 Juli 2006 Penyusunan Proposal
2. 16 – 31 Juli 2007 Studi kelayakan lapangan
3. 1 – 15 Agustus 2007 Pendalaman Pustaka
4. 15 Agustus 2007 Penelitian Lapangan
5. 1 – 15 September 2007 Penulisan Draft laporan
6. 15 – 31 Seeptember 2007 Perbaikan laporan
7. 1 – 15 Oktober 2007 Penggandaan laporan

G. Rancangan Biaya
Semua anggaran yang berkaitan dengan penelitian ini diambilkan dari PUSLIT IAIN Walisongo yang berjumlah Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah).
Dengan perincian sebagai berikut :
1. Pembelian buku-buku / foto copi Rp 2.750.000,00
2. Pembelian ATK Rp 2.000.000,00
3. Transportasi dan Akomodasi Rp 750.000,00
4. Komputerisasi & Penulisan Rp 1.000.000,00
6. Penjilidan/penggandaan laporan Rp 1.000.000,00

Jumlah Rp 7.500.000,00

(Tujuh Juta Lima Ratus Ribu Rupiah)

G. Daftar Pustaka (Sementara)

Brannen, Julia, 2002, Memadu Metode Penelitian – Kualitatif & Kuantitatif. Terjemahan H. Nuktah Arfawie Kurde, dkk. Samarinda dan Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari dan Pustaka Pelajar.
Bull, Ronald Alan Lukens. 2004. Jihad ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika. Yogyakarta: Gama Media.
Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung:CV. Pustaka Setia.
Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.
Dirdjosanjoto, Pradjarta. 1999. Memelihara Ummat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa. Yogyakarta: LKIS.
Faisal Sanapiah. 1990. Penelitian Kualitatif – Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang YA3 Malang.
Frances Hesselbein etc. 1996. The Leader of the Future. San Fransico: Jossey-Bass Publisher.
Fuad Riyadi, Muhammad. 2001. Kampung Santri, Yogyakarta: Ittaqa Press.
Ismail SM. Dkk. editor. 1999. Dinamika Pesantren dan Madrasah. Semarang-Yogyakarta. Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo kerjasama dengan Pustaka Pelajar.
John W. Best. 1981. Research in Education. Canada: Prentice-Hall of Canada, Ltd.
Marzuki Wahid dkk. Editor. 1999. Pesantren Masa Depan. Bandung. Pustaka Hidayah.
Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.
Masyhud, Sulthon, Muh. Khusnurridlo. 2003. Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka.
Mc.Millan, James H. and Sally Schumacher. 2001 Research in Education – A Conceptual Introduction. New York: Longman.
Moleong, Lexy J. 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya.
Mulyono, Rohmat.2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: CV Alfabeta.
Nurkhalik Ridwan. 2004. Santri Baru, Yogyakarta: Gerigi Pustaka.
Razik, Taher A. 1995. Fundamental Concepts of Educational Leadership and Management. Ohio: Englewed Cliffs, New Jersey.
Robbins, Stephen P. 2001. Organizational Behavior. U.S.A: Prentice Hall International, Inc.
Steenbrink, Karel A. 1985. Pesantren Madrasah Sekolah. Jakarta: LP3ES.
Sugiono. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sujuthi, Mahmud. 2001. Politik Tarekat, Yogyakarta: Galang Press.
Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren. Jakarta: Ciputat Press.
Zulkifli. 2002. Sufism in Java, The Role of the Pesantren in the Maintenance of Sufism in Java. Jakarta:INIS.

Tidak ada komentar: