24 September 2014

ANTARA PADANG ARAFAH DAN PADANG MAHSYAR

Pada hari Arafah 1434 H. setahun yang lalu, terasa baru kemaren ketika Ketua Kloter 54 SOC, Drs. H. Tantowi, dan TPIHI, Drs. H. Muadzim meminta saya untuk menyampaikan Khutbah Wukuf di Arafah. Bukan karena beratnya menyampaikan khutbah. Karena sebagaimana biasa pada khutbah Jumu’at juga sering menyampaikan khutbah. Tetapi nuansa Khutbah Arafah memang agak lain. Di tanah luas yang terhampar padang pasir dan gunung batu yang sangat panas, para jama’ah haji berkumpul di bawah tenda yang sangat sederhana. Terasa sekali nuasa Padang Arafah ini seakan di Padang Mahsyar yang tentu lebih luas dengan situasi dan kondisi sesuai dengan amal-perbuatan yang dibawa oleh pribadi masing-masing. Jam di handphone ku menunjukkan pukul 11.05 waktu setempat. Para jama’ah sudah berkumpul di tenda besar dengan melantunkan kalimat talbiyah dengan nada yang sangat mengharukan. Para petugas semua sudah siap. Sebagai imam shalat KH. Drs. Hadlor Ikhsan Rois Syuri’ah PC NU Kota Semarang, sebagai muadzim KH. Shobah dan aku ditugaskan sebagai khotibnya. Seolah seperti menunggu panggilan dari Yang Maha Kuasa di Yaumul Hisab, untuk menghadap-Nya dan untuk mempertanggungjawabkan semua amal perbuatannya di dunia. Para jama’ah duduk bershof-shof dengan khusu’ membaca talbiyah dan berdoa menurut kebutuhan masing-masing. Tentu kita berharap agar kita dapat menghadap Allah dengan selamat, dosa-dosa kita terampuni dan amal-amal baik kita bisa diterima. Sebagai jama’ah haji kita berdo’a semoga haji kita menjadi mabrur. Karena kata Rasulullah, “ al hajju mabruru laisa lahu jaza’ illal jannah..” Inilah yang menjadi impian para jama’ah haji yang niatnya betul-betul karena Allah semata. Perasaan di dada ku sendiri semakin bergetar, pantaskah aku menyampaikan khutbah ini dan di tempat yang suci ini. Aku manusia biasa yang berlumuran dosa yang belum sepenuhnya aku mohonkan ampun kepada Allah. Mungkin secara akademik aku dianggap layak untuk menyampaikan khutbah ini. Akan tetapi tidak ada jaminan tingginya pendidikan paralel dengan tingginya ketaqwaan seseorang. Sementara aku perhatikan ada beberapa jama’ah yang menurut ku lebih layak menyampaikan khutbah ini, karena kemampuan ilmu agamanya. Di sisi lain aku sadar justu jama’ah yang mungkin pengetahuan agamanya tidak seberapa, tetapi tingkat keihkalasannya dan ketaqwaannya mungkin lebih tinggi. Tepat pukul 12.00 waktu Arab Saudi, pembawa acara mengumumkan para petugas yang akan menjadi imam dan khotib wukuf. Terasa sesak di dada dan kering di tenggorokan ku pada saat itu, karena menahan tangis yang ingin keluar tetapi harus aku tahan. Aku membayangkan betapa beratnya amanah yang akan ku sampaikan melalui khutbah ini. Tidak henti-hentinya aku berdo’a dalam hati memohon kepada Allah agar diberi kekuatan untuk menyampaikan khutbah dengan baik dan para jam’aah dapat memahami dengan baik. Aku sadar bahwa aku bukan yang terbaik, bukan yang tertahu, tetapi inilah amanah yang harus aku laksanakan. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa ku, kalau apa yang aku sampaikan, aku sendiri belum bisa mengamalkannya. Dengan nada yang terbata-bata, aku ucapkan salam, hamdalah shalawat dan syahadat aku memulai khotbah. Para tamu Allah, jamaah haji yang dirahmati Allah, Kaum muslimin walmuslimat dhuyuufullah wa dhuyuufurrohmaan…! Pada hari yang penuh rahmat dan maghfiroh ini, marilah kita panjatkan Puja dan puji dengan penuh rasa syukur yang setulusnya kepada Allah Swt. yang telah menjadikan hari Arofah ini sebagai hari yang teramat mulia. Pada hari ini Allah mengabulkan semua permintaan dan do’a hamba-hambanya yang memanjatkan do’a kepadaNya. Sholawat dan salam semoga terlimpah bagi Nabi besar kita Muhammad Saw. Yang telah menyampaikan risalahnya dari Allah SWT untuk umatnya sehingga mengantarkan umatnya ke jalan yang terang yang diridhohi Allah SWT. Saudara-saudaraku yang sedang berada di tanah suci, tanah Arafah, tanah yang diimpi-impikan oleh berjuta bahkan bermilyar umat Islam di seluruh dunia. Siang ini kita ditakdirkan oleh Allah berkumpul di tempat yang mulia ini, tempat dimana setiap do’a pasti akan dikabulkan, siapapun yang bertaubat diantara kita, Allah pasti menerimanya dan mengampuni dosa-dosa kita, sebanyak apapun dosa-dosa itu melumuri tubuh kita. Di tanah ini pula, saat ini hadirin-hadirat sekalian, Allah membanggakan kita, hamba-hamba-Nya, di hadapan jama’ah para malaikat. “Hamba-hamba-ku datang kepada-ku dengan rambut kusut masai dari setiap sudut negeri yang jauh. Wahai hamba-hamba-Ku, berpencarlah kalian dari arafah dengan (membawa) ampunan-ku atas kalian semua.” Rasulullah Saw. juga bersabda: مَا مِنْ يَـوْمٍ أَكْثَرٌ مِنْ اَنْ يَعْـتَقِ اللهَ فِيْهِ عَبْـدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَـرَفَةٍ “Tiada hari yang Allah lebih banyak membebaskan hamba-hamba-Nya dari neraka (melebihi) hari Arafah.” (HR. Muslim dari Aisyah RA). Marilah kita menengok sejenak diri kita ini. Kita hanyalah seonggok tulang berbalut daging yang terus membungkus aib dan ma’shiyat di sepanjang hari yang telah kita jalani. Tidak usahlah kita membayangkan yang jauh-jauh sekedar membaca Al-Fatihah pun kita belum fasih. Sholat kerap tidak khusyu’, membaca Qur’an hanya di ujung lidah. Berzikir tidak sampai menyentuh hati bahkan ketika sujud pun, kita jarang ingat kepada Allah. Entah mengapa kita dipilih menjadi orang yang bisa bersimpuh di tanah Arafah ini? Mengapa wahai Saudaraku? Semoga siapapun yang dihadirkan di padang ini tidak terbesit sedikitpun dihatinya kebanggaan, sehingga merasa diri lebih baik dari yang lain. Berhajinya kita bukan merupakan jaminan bahwa kita lebih baik dari saudara-saudara kita di tanah air. Sungguh malu dan sangat malu jika kita merenungi kehormatan dan kemuliaan ibadah haji ini dengan kualitas diri kita yang sangat jauh dari kepantasan kualitas diri kita yang sangat jauh dari kepantasan kualitas seorang hamba yang shalih. Bahkan semua ini bisa menjadi “hutang” yang harus kita bayar dan kita pertanggung-jawabkan. Siapa tahu kita berada di tanah suci saat ini justru berkat do’a orang-orang yang shalih yang memintakan ampunan untuk jenis manusia yang berlumuran dosa seperti kita ini. Boleh jadi ampunan yang mereka mohonkan untuk kita itulah yang kemudian mengantarkan kita berada di tanah suci ini. Saudara–saudaraku, kaum muslimin dan muslimat Rohimakumullah. Padang Arafah hari ini seolah-olah tampil sebagai miniatur padang Mahsyar, dimana manusia berkumpul di hadapan kebesaran Allah Swt. semuanya bertanggung jawab atas perbuatan dan kelakuannya masing-masing. Pangkat, jabatan dan harta kekayaan yang selama ini kita kejar ternyata tidak bisa menyelamatkan kita, bahkan keluarga terdekat kita selama ini yang kita manjakan ternyata juga tidak bisa berbuat apa-apa, untuk membantu kita pada hari itu. Malah tidak jarang semua itu menjadi alasan dan penyebab untuk menyiksa kita. Di Padang Arafah ini, kita pun telah menanggalkan atribut sosial kita, semua jabatan dan pangkat kita lepaskan pada hari ini. Yang melekat di badan kita hanyalah dua lembar kain putih. Kondisi seperti ini mengingatkan kita pada alam Barjah. Di alam Barjah nanti kita hanya ditemani kain kafan yang membungkus kita. Karena itu tiada yang kita harapkan dari Wuquf kita saat ini, juga ibadah haji kita secara keseluruhan kecuali terampuninya dosa-dosa kita dan terhapusnya kesalahan-kesalahan kita yang sudah melumuri sekujur “tubuh” kita, sebab kita sadar betul apalah artinya hidup dengan lumuran aib dan dosa yang melekat di tubuh ini. Dosa telah membuat manusia harus kehilangan keberkahan dalam hidupnya, juga keberkahan dalam rizki, harta dan apa saja yang dimilikinya akibatnya manusia kehilangan ketenangan juga kebahagiaan justru di tengah–tengah genangan materi yang mengitarinya. Dosa telah membuat manusia kehilangan hati nuraninya, sehingga mereka berbuat, berbicara, mendengar dan melihat bukan lagi karena dorongan hati nurani, melainkan karena kepentingan hawa nafsunya. Dosa telah membuat manusia kehilangan kepekaan terhadap sesama, nilai-nilai kasih sayang yang selama ini dijunjung-luhurkan dalam kehidupan sesama manusia telah berubah, berganti menjadi kebencian dan permusuhan bahkan pertikaian saling jatuh-menjatuhkan. Kedengkian pun akhirnya menjadi penyakit epidemik, senang melihat yang lain susah dan susah melihat yang lainnya senang. Dosa telah membutakan mata hati manusia, sehingga mereka tidak lagi bisa membedakan antara yang benar dan salah, haram dan halal, haq dan batil. Akibatnya mereka kehilangan rasa bersalah saat berbuat salah, tiada beban saat berbuat dzalim kepada sesama, bahkan banyak diantara mereka bisa merasakan nikmatnya makanan hasil mencuri, sembari membanggakan kepada orang lain. Dosa telah membuat manusia kehilangan rasa takut kepada Allah, juga kepada balasan buruk di akhirat kelak. Mereka juga kehilangan rasa cinta kepada Allah juga kepada kebaikan. Saat rasa takut kepada Allah menghilang, maka akan hadirlah rasa takut kehilangan dunia, dan ketika rasa cinta kepada Allah pun tergadaikan maka akan muncullah rasa cinta terhadap dunia, hubbud dunya wa karahiyatul maut. Dosa telah menggiring manusia kejurang-jurang kehinaan yang membuat mereka kehilangan kemuliaan yang tersimpan dalam nilai-nilai kemanusiaan dirinya.