ESQ (EMOTIONAL SPIRITUAL QUOTIENT)*)
Drs.Fatah Syukur, M.Ag.**)
Pendahuluan
Manusia adalah makhluq Allah yang paling sempurna. Kesempurnaan manusia dibuktikan dengan keberadaan akal fikiran atau kecerdasan (intelligence) dalam struktur tubuh manusia. Kecerdasan manusia memiliki kompleksitas yang sangat rumit dan canggih yang membedakannya dengan kecerdasan yang dimiki oleh makhluk lain, seperti bianatang dan tumbuhan. Dalam diri manusia terdapat beraneka ragam kecerdasan (multiple intelligences) yang hingga kini masih menjadi bahan penelitian yang tiada habisnya bagi para ahli syaraf dan psikologi. Belakangan ditemukan beberapa jenis kecerdasan manusia, selain kecerdasan intelektual (IQ) yang telah lama diteliti orang, yaitu kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), serta kecerdasan-kecerdasan yang lainya. Berikut akan dibahas secara sekilas dua jenis kecerdasan yang saat ini hangat dibicarakan yaitu EQ dan SQ yang kemudian disingkat ESQ.
Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi akan menunjuk kepada suatu kemampuan untuk memahami perasaan diri masing-masing dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi dirinya sendiri, dan menata dengan baik emosi-emosi yang muncul dalam dirinya dan dalam berhubungan dengan orang lain. Sehingga tidak salah jika para ahli ilmu jiwa mengatakan bahwa kecerdasan kognitif (IQ) itu hanya mempunyai peran 20% dalam keberhasilan hidup manusia. Sedangkan sisannya yaitu 80% akan ditentukan oleh faktor-faktor lain, termasuk di dalamnya faktor yang terpenting adalah kecerdasan emosi (EI). Bahkan Goleman dkk menyebutkan bahwa kecerdasnan kognitif itu hanya mempunyai peran kedua setelah kecerdasan emosi, dalam menentukan puncak prestasi dalam pekerjaan seseorang.
Kecerdasan emosi memiliki lima unsur pokok yang dibagi dua unsur kecakapan yang harus dibangkitkan secara optimal :
1. Kecakapan Pribadi (Personal Competence) yang meliputi:
a. Kesadaran Diri (Self – Awareness), mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusaan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Adapun unsur kesadaran diri yang harus diketahui adalah: a). Kesadaran emosi (emotional awareness), yaitu mengenali emosi diri sendiri dan efeknya. b). Penilaian diri secara teliti (accurate self-assessment), yaitu mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri. c). Percaya diri ( self confidence), yaitu keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri
b. Pengaturan Diri (Self Regulation), yaitu menangani emosi kita sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu segera pulih kembali dari tekanan emosi. Upaya pengaturan diri ini akan optimal jika didukung oleh : a). Kendali diri (Self Control), yaitu mampu mengelola emosi-emosi dan desakan-desakan hati yang merusak. b). Sifat dapat dipercaya (Trustworthiness), yaitu kemampuan untuk memelihara norma kejujuran dan integritas. c). Kehati-hatian (Conscientiousness), adalah bertanggung jawab atas kinerja pribadi, tidak menyalahkan orang lain. d). Adaptabilitas (Adaptability), yaitu keluwesan dalam menghadapi perubahan, tidak kaku atau bisa menerima perubahan positif. e). Inovasi (Innovation), yaitu mudah menerima perubahan dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan, dan informasi-informasi baru.
c. Motivasi (Motivation), adalah menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu kita mengambl inisiatif dan bertidak sangat efektif,serta untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Ada empat kemampuan motivasi yang umumnya dimiliki seseorang, diantaranya adalah : a). Dorongan berprestasi, yaitu dorongan untuk meningkatkan kemampuan untuk memenuhi standard keunggulan. b). Komitmen, menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau lembaga. c). Inisiatif, adalah kesiapan untuk memanfaatkan kesempat. d). Optimisme, adalah kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada beberapa halangan dan suatu ketika kemungkinan kegagalan.
2. Kecakapan Sosial (Social Competence) yang meliputi :
a) Empati (Empathy), adalah merasakan yang dirasakan orang lan, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. Empati ada tiga macam: 1) Empati kognitif; mengetahui emosi atau suasana hati orang lain. 2) Empati partisipatoris; masuk ke dalam pengalaman subyektif orang lain. 3) Empati afektif; melakukan sesuatu seolah-olah ia berada dalam posisi orang itu : Membangkitkan “emosi” orang lain / memberikan alternative yang lebih baik.
Ciri-ciri empati:
1. Ikut merasakan (sharing feeling), kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain.
2. Dibangun berdasarkan kesadaran diri.
3. Peka terhadap bahasa isyarat.
4. Mengambil peran atau prilaku konkrit (role taking).
5. Kontrol emosi, menyadari dirinya sedang berempati, tidak larut.
Menurut Golmen ada lima kemampuan empati yang umumnya dimiliki oleh seseorang, yakni:
1. Memahami orang lain (understanding others), yaitu mengidra perasaan perasaan dan perspektif orang lain serta menunjukkan minat-minat terhadap kepentingan-kepentingan mereka.
2. Mengembangkan orang lain (developing others), yaitu mengindra kebutuhan orang lain untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan mereka.
3. Orientasi pelayanan (service orientation), yaitu mengantisipasi, mengakui dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelanggan.
4. Memanfaatkan keragaman (leveraging diversity) , yaitu menumbuhkan kesempatan-kesempatan melalui keragaman pada banyak orang.
5. Kesadaran politik (political awareness), yaitu membaca kecenderungan politik yang sedang berkembang.
b) Ketrampilan Sosial (Social Skill), adalah memahami emosi dengan baik, baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan social; berinteraksi dengan lancer; menggunakan ketrampilan-ketrampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaika perselisihan, serta untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim. Ada delapan masalah utama yang dihadapi dalam hubungan ~ yaitu:
- Egoisme dan konfrontasi
- Tidak adanya kasih sayang dan kelembutan
- Tidak adanya rasa hormat dan saling menolong
- Mementingkan kepentingan sendiri
- Tidak adanya keseimbangan antara berbicara dan mendengarkan
- Tidak mengenal kompromi dan mengabaikan kesalahan
- Perasaan tertekan secara emosional
- Kepincangan antara harapan pibadi dan karier.
Untuk membangun hubungan sosial yang harmonis hendaknya memperhatikan dua hal . Pertama, citra diri, maksudnya mempersiapkan diri untuk membangun hubungan sosial. Kedua, kemampuan komunikasi, yakni keberhasilan untuk menjalin hubungan antar personal.
Ada enam kata kunci dalam menjaga hubungan agar tetap hamonis, yaitu :
1. Affection (kasih sayang) : sikap tanpa pamrih, ketulusan untuk menolong.
2. Appreciation (penghargaan): menghargai orang lain sebagaimana adanya.
3. Acknowledgment (pengakuan): mengakui nilai-nilai individualitas seseorang.
4. Absolute (kemutlakan): komitmen secara mutlak untuk menjaga hubungan.
5. Acceptance (penerimaan): memberi kesempatan orang lain untuk berkembang tanpa harus membahayakan hubungan.
6. Action (tindakan) : senantiasa mejaga dan meningkatkan hubungan agar harmonis.
Menurut Golmen, ada lima kecakapan empati yang sebaiknya dimiliki setiap orang yaitu :
1. Pengaruh (influence), yaitu terampil menggunakan taktik untuk melakukan persuasi.
2. Komunikasi (communication), yaitu mendengarkan secara terbuka dan mengirimkan pesan secara meyakinkan.
3. Manajemen konfilk (conflict management), yakni merundingkan dan menyelesaikan ketidaksepakatan.
4. Kepemimpinan (leadership), yaitu mengilhami dan membimbing individu atau kelompok.
5. Katalisator perubahan (change catalyst) yaitu mengawali atau mengelola perubahan.
6. Membangun hubungan (building bonds), yakni menumbuhkan hubungan yang bermanfaat.
7. Kolaborasi dan kooperasi (collaboration and cooperation), yakni menjaga kerjasama dengan orang lain demi tujuan bersama.
8. Kemampuan tim ( team capabilities), menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama.
Kecerdasan Spiritual
Penelitian yang dilakukan Neuropsikolog Michael Pessinger di awal tahun 1990-an, dqn Neurolog V.S. Ramachandran bersama timnya di Universitas California, telah menemukan keberadaan "titik Tuhan" (God spot) dalam lobus temporal pada otak manusia. Titik Tuhan itu merupakan pusat spiritual setiap insane. Keberadaan "Titik Tuhan" menunjukkan bahwa otak telah berkembang untuk menanyakan "pertanyaan-pertanyaan pokok", untuk memiliki dan menggunakan kepekaan terhadap makna dan nilai yang lebih luas.
"Kehadiran" Tuhan di otak merupakan suatu hal yang sangat menarik. Bukan saja karena otak adalah CPU (Central Processing Unit)-nya manusia, melainkan juga karena isi dan fungsi otak merupakan pembentuk sejarah hidup pemiliknya maupun sejarah kehidupan itu sendiri. Ada tiga fungsi yang diperankan oleh otak dan membuatnya berbeda dengan yang lain: (1) fungsi emosi, (2) fungsi rasional, dan (3) fungsi spiritual.
Terkait dengan fungsi yang ketiga, yaitu mencakup hal-hal yang bersifat supernatural dan religius. Fungsi ini hendak menegaskan bahwa keberadaan Tuhan adalah sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu dipermasalahkan. Keberadaan Tuhan ditampakkan dalam kesempurnaan jalinan dan jaringan saraf manusia.
Kecerdasan Spiritual atau Spiritual Quotient (SQ), yang secara biologis dibuktikan dengan keberadaan "titik Tuhan" dalam struktur otak manusia, adalah kecerdasan yang berkaitan dengan hal-hal transenden, hal-hal yang mengatasi waktu dan ruang. Ia melampaui kekinian dan pengalaman manusia. Ia adalah bagian terdalam dan terpenting dari manusia. Ia menjadikan manusia cerdas secara spiritual dalam beragama. Ia juga membawa kita ke jantung segala sesuatu, ke kesatuan di balik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata. SQ mampu menghubungkan kita dengan makna dan ruh esensial dalam agama. Seseorang yang memiliki SQ yang tinggi mampu menjalankan ajaran agamanya secara optimal dan maksimal, namun tidak secara picik, eksklusif, fanatic, atau prasangka.
Optimalisasi otak spiritual juga dapat membuat seseorang cerdas secara utuh. Paling tidak, terdapat tiga komponen hidup yang lahir darioptimalisasi itu: (1) kejernihan berpikir secara rasional, (2) kecakapan emosi, dan (3) ketenangan hidup. Ketenangan hidup merupakan hasil akhir yang paling tinggi nialinya dari otak spiritual. Sebab kecerdasan rasional dan kecakapan emosi tidak akan berarti apa-apa bila seseorang tidak memiliki ketenangan hidup. Melatih otak terus menerus dan membiasakannya untuk merenung akan membuat hati tenang dan bercahaya. Kecemasan dan ketegangan dapat dihilangkan dengan membiarkan otak menemukan dimensi spiritual yang dimilikinya.
Kegiatan berikut dapat mengoptimalkan otak spitual :
Pertama, melihat secara utuh. Mana yang disebut mata batin? Jika mata lahir memiliki jalur saraf dan pusat penglihatan di otak, apakah demikian juga mata batin? Jawabannya, ya. Mata batin memiliki pusat di otak spiritual. Otak spiritual memadukan semua informasi yang diserap. Jika pohon yang dilihat, yang tampak adalah kepaduan dan kesatuan seluruh bagiannya. Melihat dengan mata batin berarti melihat secara utuh. Pengaktifan mata batin dan otak spiritual akan menghilangkan pikiran-pikiran fragmentaris. Lagi pula, banyak aspek yang dapat ditangkap dengan mata batin.
Kedua, Melihat di balik penampilan objektif. Melihat dengan mata batin juga berarti melihat sesuatu dibalik penampakan fisik objektif merupakan fakta yang tak ditolak oleh mata batin. Jika seseorang melihat pohon, yang tampak adalah pohon dan segala kehidupan yang ada "di balik" pohon tersebut.
Ketiga, luangkan waktu jeda 10 menit setiap hari. Tubuh fisik manusia sebenarnya tidak pernak beristirahat. Tidur tidak berarti organ tubuh maupun sel-sel tubuh beristirahat. Otak bahkan bekerja lebih aktif dalam mengonsolidasikan informasi justru ketika pemiliknya tidur. Sediakan waktu jeda dari kepenatan pekerjaan sehari-hari untuk men-charger otak spiritual. Berdiam diri di dalam kamar, derdzikir, dan bertafakur secara mendalam akan memperkuat otak spiritual.
Relevansi ESQ Bagi Khatib
Sosok khatib di era millennium ketiga, abad ke-21 dituntut untum memiliki kesalehan emosional dan spiritual, atau dengan kata lain, ia harus memiliki kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual yang tinggi. Seperti telah dijelaskan didepan, Emotional Quotient (EQ) berkaitan dengan bagaimana seseorang mampu memahami dirinya (intra persolan) dan orang lain (inter personal) dengan baik, sedangkan Spiritual Quotient (SQ) berkaitan dengan hubungan manusia dengan hal-hal yang bersifat transcendental atau nilai-nilai Ilahiyah dengan baik. ESQ terkait dengan perasaan, intuisi, dan Qalbu manusia. Semakin tinggi ESQ seseorang (khatib) maka akan semakin tajam perasaan, intuisi dan qalbunya, sehingga ia akan lebih tanggap dan peka terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan (humanity) dan ke-Ilahi-an (divinity).
Sosok khatib ideal dambaan masa depan, akan mampu menyampaikan nilai-nilai ajaran Islam secara arif dan bijaksana, dan disesuaikan dengan tuntutan zaman dan masyarakatnya. Kondisi ini akan terrealisir jika para khatib memiliki kecerdasan emosi dan spiritual yang prima.
Penutup
Untuk meraih kesuksesan hidup bukan hanya ditentulcan oleh IQ (intelligence quotation) saja, akan tetapi justru lebih ditentukan oleh faktor~faktor lain, terutama EQ (emotional quotient) dan SQ (spiritual quotient).
Daftar Pustaka
Cooper, Robert K, & Sawaf, Ayman, 1997, Executive EQ, Emotional Intelligence in Leadership and Organization, New York. Advanced Intelligence Technologies, LLC.
Chang, Richard Y, 1999, Sukses Melalui Kerja Sama Tim, Jakarta, PT. Pustaka Binamnan Pressindo.
Goleman, Daniel, 1995, Emotional Intelligence, New York, Bantam Books.
Golleman, Daniel, 1998, Working with Emotional Intelligence, London: Bloomsbury Publishing Plc.
Patton, Patricia, 1998, EQ Membangun Hubungan Jalan Menuju Kebahagiaan dan Kesejahteraan, alih bahasa Hermes, Jakarta : Pustaka Delapratasa.
Supratiknya, A, 1995, Komunikasi Antar Pribadi, Yogyakarta: Kanisius.
Taufiq pasiak. Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neurosains dan Al-Quran, Bandung: Mizan, 2003.
Zohar, Danah., Ian Marshal. SQ; Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan (SQ: Spiritual Intelligence-The Ultimate Intelligence), terj. Rahmani Astuti dkk., Bandung: Mizan, 2001
*) Disampaikan dalam forum Penataran Khatib Muda se-Jawa Tengah, Yang diadakan oleh Lembaga Pendidikan Ma'arif NU Jateng bekerja sama dengan Pemda Tingkat I Jawa Tengah, di PLP Kesehatan Suwakul Ungaran, tanggal 16 September2003.
**) Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Universitas Wahid Hasyim Semarang, Pengurus Lembaga Pendidikan Ma'arif NU Jateng, dan Peneliti pada PMDC ( Pesantren and Madrasah Development Centre) Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar