16 Desember 2008


Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

15 Desember 2008

Media Pembelajaran


MAKNA MEDIA DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Media pendidikan merupakan suatu alat atau perantara yang berguna untuk memudahkan proses belajar mengajar, dalam rangka mengefektifkan komunikasi antara guru dan murid. Hal ini sangat membantu guru dalam mengajar dan memudahkan murid menerima dan memahami pelajaran. Proses ini membutuhkan guru yang professional dan mampu menyelaraskan antara media pendidikan dan metode pendidikan.
Kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan serta perubahan sikap masyarakat membawa pengaruh yang besar dalam bidang pendidikan. Hal ini mendorong setiap lembaga pendidikan untuk mengembangkan lembaganya lebih maju dengan memanfaatkan teknologi modern dan kemajuan ilmu pengetahuan sebagai media pembelajaran.
Dari pemikiran di atas sudah jelas media pendidikan itu berkaitan dengan kemajuan suatu pendidikan yang meliputi sebagai berikut :
1. Arti, fungsi dan nilai media pendidikan.
2. Tujuan pendidikan.
3. Psikologi belajar.
4. Bentuk media pendidikan.
Pembahasan ini akan dimulai dari pengertian media pendidikan sebagai alat komunikasi.
Alat komunikasi selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman dan majunya ilmu pengetahuan.[1] Kaitannya dengan media pendidikan mempunyai fungsi yang besar di berbagai kehidupan, baik di kehidupan pendidikan maupun dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan seni kebudayaan.[2]
Dalam kehidupan pendidikan media komunikasi memberikan kontribusi yang besar dalam kemajuan maupun peningkatan mutu di suatu lembaga pendidikan. Dengan memakai media tersebut anak didik akan mudah mencerna dan memahami suatu pelajaran. Dengan demikian melalui pendekatan ilmiah sistematis, dan rasional tujuan pendidikan dapat dicapai secara efektif dan efisien.[3]
Untuk mencapai pendidikan tersebut guru memberikan peran yang penting untuk menghantarkan keberhasilan anak didik, oleh karenanya dibutuhkan komunikasi yang baik antara guru dan murid, untuk menciptakan komunikasi yang baik dibutuhkan guru yang profesional yang mampu menyeimbangkan antara media pembelajaran dan metode pengajaran sehingga informasi yang disampaikan guru dapat diterima siswa dengan baik.[4]
Jadi tugas media bukan sebagai sekedar mengkomunikasikan hubungan antara pengajar dan murid namun lebih dari itu media merupakan bagian integral yang saling berkaitan antara komponen satu dengan komponen yang lain yang saling berinteraksi dan mempengaruhi.

1. Arti dan Fungsi Media Pendidikan
Secara harfiah media diartikan “perantara” atau “pengantar”. AECT (Association for Educational Communication and Technology) mendefinisikan media sebagai segala bentuk yang digunakan untuk proses penyaluran informasi.[5]
Robert Hanick dan kawan-kawan (1986) mendefinisikan media adalah sesuatu yang membawa informasi antara sumber (source) dan penerima (receiver) informasi. Masih dalam sudut yang sama, Kemp dan Dayton mengemukakan peran media dalam proses komunikasi sebagai alat pengirim (transfer) yang mentransmisikan pesan dari pengirim (sender) kepada penerima pesan atau informasi (receiver).[6]
Sedangkan Oemar Hamalik mendefinisikan, media sebagai teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi antara guru dan murid dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Media pembelajaran merupakan perantara atau alat untuk memudahkan proses belajar mengajar agar tercapai tujuan pengajaran secara efektif dan efisien.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah alat, metodik dan teknik yang digunakan sebagai perantara komunikasi antara seorang guru dan murid dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pendidikan pengajaran di sekolah.
Pada mulanya media hanya dikenal sebagai alat bantu dalam kegiatan belajar mengajar yakni yang memberikan pengalaman visual pada anak dalam rangka mendorong motivasi belajar, memperjelas, dan mempermudah konsep yang komplek dan abstrak menjadi lebih sederhana, kongkret, mudah dipahami. Dewasa ini dengan perkembangan teknologi serta pengetahuan, maka media pembelajaran berfungsi sebagai berikut :
a. Membantu memudahkan belajar bagi siswa dan juga memudahkan pengajaran bagi guru.
b. Memberikan pengalaman lebih nyata (abstrak menjadi kongkret).
c. Menarik perhatian siswa lebih besar (jalannya tidak membosankan).
d. Semua indera murid dapat diaktifkan.
e. Lebih menarik perhatian dan minat murid dalam belajar.
f. Dapat membangkitkan dunia teori dengan realitanya.[7]
Dengan konsepsi semakin mantap fungsi media dalam kegiatan mengajar tidak lagi peraga dari guru, melainkan pembawa informasi atau pesan pembelajaran yang dibutuhkan siswa. Hal demikian pusat guru berpusat pada pengembangan dan pengolahan individu dan kegiatan belajar mengajar.[8]
Sebagai seorang pendidik, fungsi dan kemampuan media sangat penting artinya. Media merupakan integrasai dari sistem pembelajaran sebagai dasar kebijakan dalam pemilihan pengembanan, maupun pemanfaatan.
Media pendidikan dapat mempertinggi proses belajar siswa dalam pengajaran yang gilirannya diharapkan mempertinggi hasil belajar yang hendak dicapai. Ada beberapa alasan media pembelajaran berkenaan dapat mempertinggi proses belajar siswa.
Pertama, berkenaan dengan manfaat media pembelajaran, sebagai berikut :
a. Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motifasi belajar.
b. Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat dipahami dan dikuasai siswa.
c. Metode pengajaran akan lebih variasi, tidak semata-mata komunikasi verbal.
d. Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengar uraian guru, tetapi juga punya aktifitas lain seperti mengamati, merumuskan, melakukan dan mendemonstrasikan.
Kedua, penggunaan media pembelajaran dapat mempertinggi proses dan hasil belajar yang berkenaan dengan taraf pikir siswa.[9] Berfikir siswa dimulai dari yang kongkret menuju yang abstrak, dari yang sederhana menuju yang abstrak, dari yang sederhana menuju yang komplek. Dalam hubungan ini penggunaan media pembelajaran berkaitan erat dengan tahapan-tahapan berfikir mereka sehingga tepat penggunaan media pembelajaran disesuaikan dengan kondisi mereka sehingga hal-hal yang abstrak dapat dikongkretkan.
Menurut Ensiclopedi of Educational Research, nilai atau manfaat media pendidikan adalah sebagai berikut :
a. Meletakkan dasar-dasar yang kongkret untuk berfikir sehingga mengurangi verbalitas.
b. Memperbesar perhatian siswa.
c. Meletakkan dasar yang penting untuk perkembangan belajar oleh karena itu pelajaran lebih mantap.
d. Memberikan pengalaman yang nyata.
e. Menumbuhkan pemikiran yang teratur dan kontinu.
f. Membantu tumbuhnya pengertian dan dengan demikian membantu perkembangan bahasa.
g. Memberikan pengalaman yang tidak diperoleh dengan cara yang lain.
h. Media pendidikan memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara guru dan murid.
i. Media pendidikan memberikan pengertian atau konsep yang sebenarnya secara realita dan teliti.
j. Media pendidikan membangkitkan motivasi dan merangsang kegiatan belajar.[10]

2. Tujuan Pendidikan
Pendidikan ditujukan untuk menghantarkan para siswa menuju pada perubahan tingkah laku. Perubahan itu tercermin baik dari segi intelek, moral maupun hubungannya dengan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut siswa dalam lingkungan sekolah akan dibimbing dan diarahkan oleh guru dan siswa berperan aktif.[11]
Filsafat pendidikan memberikan kontribusi yang besar mengenai tujuan pendidikan, karena di dalam filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau cita-cita yang mengatur tingkah laku atau perbuatan seseorang atau masyarakat. Dalam Undang-Undang Sistem Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II Pasal 3, disebutkan, bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak sertaperadaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Berdasarkan pada uraian di atas maka tujuan pendidikan adalah:
a. Memperbaiki mental, moral, budi pekerti memperkuat keyakinan agama.
b. Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan.
c. Membina atau memperkembangkan fisik yang kuat dan sehat.
d. Membangun warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab
Sebagai seorang pendidik, perumusan tujuan pembelajaran merupakan suatu hal yang pokok sebelum melakukan kegiatan pengajaran. Untuk meneruskan tujuan yang baik harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Berorientasi pada kepentingan siswa, dengan bertitik tolak pada perubahan tingkah laku.
b. Dinyatakan pada kata kerja yang operasional artinya menunjukkan pada hasil perbuatan yang dapat diamati atau hasilnya dapat diukur dengan alat ukur tertentu.[12]

3. Psikologi Belajar
Pada umumnya belajar dapat kita lihat dari jenis pandangan, yakni tradisional dan pandangan modern. Pertama, pandangan tradisional, belajar adalah usaha memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan. “Pengetahuan” memegang peranan yang penting dalam hidup manusia, pengetahuan adalah kekuasaan siapa saja yang memiliki banyak pengetahuan maka ia akan mendapat kekuasaan. Kedua, pandangan modern, belajar adalah proses perubahan tingkah laku perekat interaksi dengan lingkungannya. Seorang dikatakan melakukan kegiatan belajar setelah ia memperoleh hasil yakni terjadinya perubahan tingkah laku.[13]
Jadi dengan demikian, belajar merupakan suatu keharusan untuk manusia agar memperoleh ilmu pengetahuan sebagai proses perubahan tingkah laku yakni berintelektual tinggi serta berakhlakul karimah.
Untuk mencapai suatu tujuan pelajaran para ahli psikologi pendidikan telah merumuskan beberapa teori yang digolongkan menjadi tiga bagian.
a. Teori Psikologi Daya atau formal disipline
Teori ini menekankan pada daya-daya yang dimiliki oleh anak yakni daya mengingat, daya berfikir, daya mencipta, daya perasaan, dan daya kemauan. Untuk mengembangkan daya tersebut maka perlu dilatih. Misalnya, membentuk daya mengingat, maka para siswa perlu diberi latihan fakta-fakta, untuk melatih daya berfikir para siswa diberi hitungan yang berat-berat dan lain-lain. Yang pening dari teori ini menekankan pada faktor pembentukannya bukan pada faktor materi yang digunakan.
b. Teori Psikologi Asosiasi
Teori ini dikenal dengan sebutan S-R bond teory yakni teori ini stimulus response. Setiap stimulus menimbulkan jawaban tertentu misalnya 5 x 4 = 20, 5 x 4 adalah stimulus sedangkan 20 = response. Teori ini kemudian menjadi dasar tumbuhnya teori connectionisme yang mempunyai doktrin pokok “hubungan antara stimulus dan respon”. Asosiasi dibuat antara kesan-kesan penginderaan dan dorongan-dorongan untuk berbuat. Thorndike dengan S-R bond teori itu menyusun hukum-hukum belajar sebagai berikut :
1) Hukum latihan atau prinsip use dan disuse. Apanbila hubungan itu sering dilatih ia akan lebih kuat.
2) Hukum pengaruh, hubungan itu akan diperkuat atau diperlemah tergantung pada kepuasan atau ketidak senangan yang berkenaan pada penggunaannya.
3) Hukum kesediaan atau kesiapan, apabila suatu ikatan untuk berbuat, perbuatan itu memberikan kepuasan, sebaliknya apabila tidak siap akan menimbulkan ketidak senangan.
Implikasi dari teori itu dalam belajar adalah :
1) Kelakuan belajar, adalah berkat pengaruh atau perbuatan yang dilakukan terhadap individu.
2) Menjelaskan kelakuan dan motivasi secara mekanis.
3) Kurang memperhatikan proses-proses mengenal dan berfikir.
4) Mengutamakan pengalaman-pengalaman masa lampau.
5) Menganggap bahwa situasi keseluruhan terdiri dari bagian-bagian.
c. Belajar menurut Psikologi Gestalt
Menurut aliran ini, jiwa manusia adalah suatu keseluruhan yang berstruktur, unsur-unsur tersebut berada dalam keseluruhan menurut struktur tertentu dan saling berinteraksi satu sama lain.
Implikasi teori tersebut terhadap belajar antara lain sebagai berikut:
1) Belajar dimulai dari keseluruhan.
2) Keseluruhan memberi makna pada bagian-bagian.
3) Individuasi bagian-bagian dari keseluruhan.
4) Anak belajar menggunakan pemahaman.
5) Belajar merupakan rangkaian reorganisasi pengalaman.
6) Hasil belajar meliputi semua aspek tingkah laku.
7) Anak yang belajar merupakan keseluruhan bukan belajar pada otaknya saja.[14]

4. Bentuk Media Pendidikan
Sesuai dengan pemikiran di atas media pendidikan tidak terbatas pada alat-alat audio-visual yang dapat dilihat, didengar melainkan anak dapat melakukannya sendiri. Dalam hal ini maka tercakup pula di dalamnya pribadi dan tingkah laku guru.
Secara menyeluruh, bentuk media pendidikan terdiri dari :
a. Bahan-bahan catatan atau membaca (suplementari materialis)
Misalnya buku, komik, koran, majalah, bulletin, folder, periodikal dan pamflet, dan lain-lain.
b. Alat-alat audio-visual, alat-alat yang tergolong ini seperti :
1) Media pendidikan tanpa proyeksi, misalnya papan tulis, papan tempel, papan planel, bagan diagram, grafik, karton, komik, gambar.
2) Media pendidikan pada tiga dimensi, misalnya pada benda asli dan benda tiruan contoh, diorama, boneka, dan lain-lain.
3) Media yang menggunakan teknik atau masinal.
Alat-alat yang tergolong dalam kategori ini meliputi film strip, film, radio, televisi, laboratorium elektro perkakas atau instruktif, ruang kelas otomotif, sistem interkomunikasi dan komputer.
c. Sumber-sumber masyarakat
Berupa obyek-obyek, peninggalan sejarah, dokumentasi bahan-bahan masalah-masalah dan sebagainya.
d. Kumpulan benda-benda
Berupa benda-benda yang dibawa dari masyarakat ke sekolah untuk dipelajari, misalnya potongan kaca, benih, bibit, bahan kimia, darah dan lain-lain.
e. Contoh-contoh kelakuan yang dicontohkan oleh guru
Meliputi semua contoh kelakuan yang dipertunjukkan oleh guru waktu mengajar, misalnya dengan tangan, kaki, gerakan badan, mimik, dan lain-lain.
[1] Dr. H. Asnawir, Media Pendidikan, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
[2] Dr. S. Nasution, Teknologi Pendidikan, Bandung: Jemars, 1983.
[3] Sudarman Danim, Media Komunikasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
[4] Ibid., h. 7.
[5] Ibid., h. 11.
[6] Drs. Benni Agus Pribadi, Media Pendidikan, Jakarta: Universitas Terbuka, 1996.
[7] Ibid., h. 23-25.
[8] Yusuf Hadi Miarso dkk., Teknologi Komunikasi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 1984.
[9] Dr. Nana Sudjana, Media Pendidikan, Bandung: Sinar Baru, 1990.
[10] Ibid., h. 27-31.
[11] Ibid., h. 1.
[12] Ibid., h. 138.
[13] Ibid., h. 40.
[14] Ibid., h. 41-44.

05 Mei 2008

RPP

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

A. Pengantar
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) merupakan pegangan bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran baik di kelas, laboratorium, dan/atau lapangan untuk setiap Kompetensi dasar. Rencana pembelajaran ini merupakan realisasi dari pengalaman belajar siswa yang telah ditetapkan dalam silabus. Komponen rencana pembelajaran tematik meliputi: identitas mata pelajaran, kompetensi dasar dan indikator, materi pokok, langkah kegiatan, alat dan media, dan penilaian. Dalam pengimplementasian pogram pembelajaran yang sudah dituangkan di dalam silabus, guru dituntut menyusun RPP. RPP memuat hal-hal yang langsung berkait dengan aktivitas pembelajaran dalam upaya pencapaian penguasaan suatu Kompetensi Dasar. Karena itu, RPP harus memuat: tujuan pembelajaran,materi pembelajaran, metode pembelajaran, langkah-langkah kegiatan pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian.
Semangat dari diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah agar siswa belajar secara aktif. Pengembangan kompetensi peserta didik perlu disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Para guru dituntut lebih kreatif dalam mengembangkan pembelajaran sehingga memungkinkan siswa dapat berekspresi melalui kegiatan-berbagai kegiatan yang nyata, yang menyenangkan, dan yang mampu mengembangkan potensi siswa secara optimal. Hanya dengan cara yang demikian, hakikat dari kehadiran seorang guru benar-benar dirasakan oleh setiap peserta didik. Apalagi- sebagaimana dikatakan Prof. Don Elly (Ahli teknologi pembelajaran dari Universitas Syracius, A.S.)- kehadiran guru adalah kesempurnaan dalam proses belajar yang tak akan tergantikan oleh media apapun.
Modul pelatihan ini diharapkan dapat membantu memperluas wawasan para guru yang mengikuti Pendidikan dan Latihan dalam mengimplementasikan pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah (M.I.) dengan berpedoman pada KTSP. Mengigat dalam Standar Isi (SI) dari KTSP hanya disebutkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, maka di dalam penyusunan KTSP, guru dituntut untuk secara mandiri mengembangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar sebagai indikator yang operasional dan kreatif sehingga dapat mendorong pengalaman belajar siswa menjadi bermakna. Modul ini memberikan arah dalam mengembangkan RPP supaya perencanaan pembelajaran bisa sesuai dengan tuntutan pendidikan yang diharapkan.

B. Penyusunan Rencana Pelakasanaan Pembelajaran

Untuk keperluan pelaksanaan pembelajaran guru perlu menyusun recana pelaksanaan pembelajaran. Rencana pembelajaran ini merupakan realisasi dari pengalaman belajar siswa yang telah ditetapkan dalam silabus pembelajaran. Komponen rencana pembelajaran tematik meliputi:
1. Identitas mata pelajaran (nama mata pelajaran yang akan dipadukan, kelas, semester, dan waktu/banyaknya jam pertemuan yang dialaokasikan).
2. Kompetensi dasar dan indikator yang akan dilaksanakan (ini tidak harus dimasukkan dalam RPP karena pada dasarnya sudah ada di silabus)
3. Tujuan pembelajaran. Tujuan dapat diperoleh dari atau didasarkan pada kompetensi dasar atau indikator.
4. Materi pokok beserta uraiannya yang perlu dipelajari siswa dalam rangka mencapai kompetensi dasar dan indikator.
5. Langkah kegiatan. Ini merupakan rincian dari kegiatan pembelajaran atau pengalaman belajar yang ada di silabus.
6. Alat dan media yang digunakan untuk mendukung kegiatan pembelajara dalam rangka mencapai tujuan.
7. Penilaian.menyebutkan prosedur dan instrumen penilaian untuk mengetahui kemajuan dalam mencapai tujuan pembelajaran.

C. Langkah-langkah penyusunan RPP
1. Mencantumkan identitas
· Nama sekolah
· Mata Pelajaran
· Kelas/Semester
· Standar Kompetensi
· Kompetensi Dasar
· Indikator
· Alokasi Waktu

Catatan:
· RPP disusun untuk satu Kompetensi Dasar.
· Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Indikator dikutip dari silabus yang disusun oleh satuan pendidikan
· Alokasi waktu diperhitungkan untuk pencapaian satu kompetensi dasar yang bersangkutan, yang dinyatakan dalam jam pelajaran dan banyaknya pertemuan. Oleh karena itu, waktu untuk mencapai suatu kompetensi dasar dapat diperhitungkan dalam satu atau beberapa kali pertemuan bergantung pada karakteristik kompetensi dasarnya.

2. Mencantumkan Tujuan Pembelajaran
Tujuan Pembelajaran berisi penguasaan kompetensi yang operasional yang ditargetkan/dicapai dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Tujuan pembelajaran dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang operasional dari kompetensi dasar. Apabila rumusan kompetensi dasar sudah operasional, rumusan tersebutlah yang dijadikan dasar dalam merumuskan tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran dapat terdiri atas sebuah tujuan atau beberapa tujuan.
3. Mencantumkan Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran adalah materi yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Materi pembelajaran dikembangkan dengan mengacu pada materi pokok yang ada dalam silabus.

4. Mencantumkan Metode Pembelajaran
Metode dapat diartikan benar-benar sebagai metode, tetapi dapat pula diartikan sebagai model atau pendekatan pembelajaran, bergantung pada karakteristik pendekatan dan/atau strategi yang dipilih.

5. Mencantumkan Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
Untuk mencapai suatu kompetensi dasar harus dicantumkan langkah-langkah kegiatan setiap pertemuan. Pada dasarnya, langkah-langkah kegiatan memuat unsur kegiatan pendahuluan/pembuka, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Akan tetapi, dimungkinkan dalam seluruh rangkaian kegiatan, sesuai dengan karakteristik model yang dipilih, menggunakan urutan sintaks sesuai dengan modelnya. Oleh karena itu, kegiatan pendahuluan/pembuka, kegiatan inti, dan kegiatan penutup tidak harus ada dalam setiap pertemuan.

6. Mencantumkan Sumber Belajar
Pemilihan sumber belajar mengacu pada perumusan yang ada dalam silabus yang dikembangkan oleh satuan pendidikan. Sumber belajar mencakup sumber rujukan, lingkungan, media, narasumber, alat, dan bahan. Sumber belajar dituliskan secara lebih operasional. Misalnya, sumber belajar dalam silabus dituliskan buku referens, dalam RPP harus dicantumkan judul buku teks tersebut, pengarang, dan halaman yang diacu.

7. Mencantumkan Penilaian
Penilaian dijabarkan atas teknik penilaian, bentuk instrumen, dan instrumen yang dipakai untuk mengumpulkan data. Dalam sajiannya dapat ituangkan dalam bentuk matrik horisontal atau vertikal. Apabila penilaian menggunakan teknik tes tertulis uraian, tes unjuk kerja, dan tugas rumah yang berupa proyek harus disertai rubrik penilaian.

D. Contoh Format Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

M.I. : ........................................................................
Mata Pelajaran : ........................................................................
Kelas/Semester : ........................................................................
Standar Kompetensi : ........................................................................
Kompetensi Dasar : ........................................................................
Indikator : ........................................................................
Alokasi Waktu : ......... x menit (….......... pertemuan)

I. Tujuan Pembelajaran :
.......................................................................................................................
II. Materi Pembelajaran :
.......................................................................................................................
III. Metode Pembelajaran :
.......................................................................................................................
IV. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran:
.......................................................................................................................
Pertemuan 1
.......................................................................................................................
.......................................................................................................................
.......................................................................................................................
Pertemuan 2
.......................................................................................................................
.......................................................................................................................
.......................................................................................................................
dst
V. Sumber Belajar :
.......................................................................................................................
VI. Penilaian :
.......................................................................................................................
.......................................................................................................................

E. Pelaksanaan Pembelajaran Tematik
1. Tahapan kegiatan
Pelaksanaan pembelajaran tematik setiap hari dilakukan dengan menggunakan tiga tahapan kegiatan yaitu kegiatan pembukaan/awal/pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Alokasi waktu untuk setiap tahapan adalah kegiatan pembukaan kurang lebih satu jam pelajaran (1 x 35 menit), kegiatan inti 3 jam pelajaran (3 x 35 menit) dan kegiatan penutup satu jam pelajaran (1 x 35 menit). Alokasi waktu disesuaikan dengan bobot kompetensi dan kegiatan pembelajaran yang dilakukan.

a. Kegiatan Awal
Kegiatan ini dilakukan terutama untuk menciptakan suasana awal pembelajaran untuk mendorong siswa memfokuskan dirinya agar mampu mengikuti proses pembelajaran denagn baik. Sifat dari kegiatan awal adalah kegiatan untuk pemanasan. Pada tahap ini dapat dilakukan penggalian pengalaman anak tentang tema yang akan disajikan. Beberapa contoh kegiatan yang dapat dilakukan adalah bercerita, kegiatan fisik/jasmani dan menyanyi.

b. Kegiatan Inti
Kegiatan ini difokuskan pada kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk pengembangan kemampuan baca, tulis dan hitung. Penyajian bahan pembelajaran dilakukan dengan menggunakan berbagai strategi/metode yang bervariasi dan dapat dilakukan secara klasikal, kelompok kecil, ataupun perseorangan.

c. Kegiatan Akhir
Fungsi kegiatan penutup adalah untuk menenangkan. Beberapa contoh kegiatan akhir/penutup yang dapat dilakukan adalah menyimpulkan/mengungkapkan hasil pembelajaran yang telah dilakukan, mendongeng, membacakan cerita dari buku, pantonim, pesan-pesan moral, musik/apresiasi musik.

2. Contoh RPP Tematik

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN ( RPP )
( TEMATIK )

Kelas/ Semester : II/ I
Tema : Diri Sendiri
Alokasi Waktu : 1 Minggu
Pertemuan Ke : Minggu ke 1

I. Standar Kompetensi
1. PKn
- Kemampuan membiasakan hidup bergotong royong.
2. B. Indonesia
Mendengarkan :
- Kemampuan memahami teks pendek dan puisi anak yang dilisankan.
Berbicara :
- Mengungkapkan pikiran, perasaan dan pengalaman secara lisan melalui kegiatan bertanya, bercerita dan deklamasi.
Membaca :
- Kemampuan memahami teks pendek dengan membaca lancar dan membaca puisi.
Menulis :
- Kemampuan menulis permulaan melalui kegiatan melengkapi cerita dan dikte.
3. IPS
- Kemampuan memahami peristiwa penting dalam keluarga secara kronologi.
4. IPA
- Kemampuan mengenal bagian-bagian utama tubuh hewan dan tumbuhan, serta berbagai tempat hidup makhluk hidup.
5. Matematika
- Kemampuan melakukan penjumlahan dan pengurangan bilangan sampai 500.
6. Seni Budaya dan Keterampilan
- Mengapresiasi karya seni rupa (S. Rupa).
- Mengapresiasi karya seni musik (S. Musik).

II. Kompetensi Dasar
1. PKn
- Kemampuan mengenal pentingnya hidup rukun saling berbagi dan tolong menolong.
2. B. Indonesia
Mendengar :
- Kemampuan menyebutkan kembali dengan kata-kata atau hal sendiri isi teks pendek.
Berbicara :
- Kemampuan bertanya kepada orang lain dengan menggunakan pilihan kata yang tepat dan satuan berbahasa.
Membaca :
- Kemampuan menyimpulkan isi teks pendek (5-10 kalimat) yang dibaca dengan membaca lancar.
Menulis :
- Kemampuan melengkapi cerita sederhana dengan kata yang tepat.
3. IPS
- Kemampuan memelihara dokumen dan koleksi benda berharga miliknya.
4. IPA
- Kemampuan mengenal bagian-bagian utama hewan dan tumbuhan di sekitar rumah dan sekolah melalui pengamatan.
5. Matematika
- Kemampuan membandingkan bilangan sampai 500.
6. Seni Budaya dan Keterampilan
Seni Rupa : Mengenal unsur rupa pada karya seni rupa.
Seni Musik : Mengidentifikasi unsur musik dari berbagai sumber bunyi yang dihasilkan oleh benda bukan alat musik.

III. Indikator
1. PKn
- Memahami arti hidup rukun, saling berbagi dan tolong menolong dalam keluarga dan lingkungan tetangga.
2. B. Indonesia
Mendengarkan :
- Menjawab pertanyaan sesuai isi cerita yang didengarkan.
Berbicara :
- Menggunakan kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu kepada orang yang belum dikenal dengan pilihan kata yang tepat.
Membaca :
- Membaca teks pendek dengan lafal dan intonasi yang tepat.

Menulis :
- Melengkapi cerita tentang data diri dan keluarga dengan kata yang tepat.
3. IPS
- Menunjukkan dokumen diri dan keluarga.
4. IPA
- Membuat daftar bagian-bagian utama tubuh hewan di sekitar rumah dan sekolah serta kegunaannya dari hasil pengamatan.
5. Matematika
- Membilang secara urut.
- Menyebutkan banyak benda.
6. Seni Budaya dan Keterampilan
Seni Rupa : Mengelompokkan berbagai jenis bidang tekstur dan bentuk ritme keseimbang kesatuan.
Seni Musik : Menentukan sumber bunyi
Membedakan kuat dan lemahnya bunyi dengan gerakan dan tepukan.

IV. Tujuan Pembelajaran
- Siswa dapat menjalani hidup rukun dengan teman sekelas saling berbagi dan tolong menolong.
- Siswa dapat menyebutkan kembali dengan kata-kata atau kalimat sendiri isi teks pendek yang telah dibaca.
- Siswa dapat bertanya kepada orang lain dengan menggunakan pilihan kata yang tepat.
- Siswa dapat menyimpulkan isi teks pendek (5-10 kalimat) kemudian dibacakan.
- Siswa dapat melengkapi cerita sederhana dengan kata yang tepat.
- Siswa dapat memelihara dokumen dan koleksi benda berharga miliknya.
- Siswa dapat menyebutkan bagian-bagian utama hewan dan tumbuhan di sekitar rumah dan sekolah.
- Membandingkan bilangan sampai 500.
- Mengenal unsur rupa pada karya seni rupa.
- Menyebutkan unsur musik dari berbagai sumber bunyi yang dihasilkan oleh benda bukan alat musik.

V. Materi Ajar/ Materi Pokok
- Pentingnya hidup rukun saling berbagi dan tolong menolong.
- Bacaan teks pendek, anak membaca dan mengungkapkan kembali isi bacaan dengan kalimat sendiri.
- Kata tanya, apa, siapa, di mana
- Bacaan teks pendek (5-10 kalimat) anak menyimpulkan isi teks tersebut.
- Melengkapi cerita sederhana dengan kata yang tepat.
- Dokumen diri : akte keluarga, KTP, kartu keluarga dan koleksi benda berharga.
- Bagian-bagian utama hewan dan tumbuhan yang ada di lingkungan rumah dan sekolah.
- Operasi hitung bilangan.
- Keragaman aneka unsur rupa dan unsur musik.
VI. Metode Pembelajaran
Ceramah, tanya jawab, demonstrasi.

VII. Langkah-Langkah Pembelajaran
Kegiatan Awal
- Mengucapkan salam dan berdoa bersama.
- Menyanyi bersama lagu “Anak kambing saya” dan “Naik-naik ke puncak gunung”

Kegiatan Inti
- Siswa menyanyi lagu anak kambing saya dan naik-naik ke puncak gunung sambil diiringi tepuk tangan.
- Siswa mempraktekkan kerjasama dan tolong menolong dalam satu kelas (lingkungan kecil).
- Siswa menjawab pertanyaan dari guru sesuai isi cerita yang didengarkan.
- Siswa menggunakan kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu.
- Siswa membaca teks cerita dengan lafal dan intonasi yang tepat.
- Siswa menulis pengalaman pribadi ke depan kelas.
- Siswa menjelaskan pentingnya memelihara dokumen dan koleksi barang keluarga.
- Siswa menyebutkan bagian-bagian utama tubuh hewan di sekitar rumah dan sekolah serta kegunaannya.
- Siswa menghitung secara urut sampai 500.
- Siswa menyebutkan banyak benda (lebih sedikit, lebih besar atau sama dengan kumpulan lain).
- Siswa membuat gambar sesuai dengan illustrasinya dari berbagai jenis bidang dan tekstur.
- Siswa menyanyikan sebuah lagu “Lihat kebunku” dengan diiringi sumber bunyi gelas dan sendok.

Kegiatan Akhir
- Tanya jawab tentang materi yang telah diajarkan.
- Menyanyikan lagu “Naik-naik ke puncak gunung”.
- Pemberian PR.

VIII. Alat dan Sumber
Alat : - Benda-benda di sekitar.
- Macam-macam dokumen diri (KTP, akte kelahiran).
- Gambar hewan dan bagian-bagiannya serta kegunaannya.

IX. Penilaian
- Lembar kerja.
- Pengamatan.
- Tertulis.

3. Contoh Berbasis CTL

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BERBASIS ACTIVE LEARNING/CTL

Sekolah : MTs Miftahul Huda
Mata pelajaran : Fiqih
Kelas/ Semester : VIII/Gasal
Pertemuan ke : I
Alokasi waktu : 2 X 40 menit
Standar kompetensi : ........................
Kompetensi dasar : ........................
Indikator : ........................
Tujuan : ........................
Pokok-pokok Materi : ......................
Metode : .......................
Media/Alat/Bahan/Sumber: .........
Alat Evaluasi : .......................

Skenario Pembelajaran Model Jigsaw, sebagai berikut:
1. Materi yang dipilih adalah zakat hewan ternak zakat perdagangan (tijaroh), zakat pertanian (hasil bumi), zakat emas dan perak.
2. Siswa dibagi ke dalam 4 kelompok besar
3. Pembagian kelompok berdasarkan nomor urut absensi. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 orang
4. Setiap kelompok bertugas berbaca dan memahami materi yang ada dalam buku panduan Mata Pelajaran
5. Setiap kelompok melakukan diskusi kecil dan merangkum hasil diskusi
6. Setiap kelompok menyampaikan hasil diskusi kecil kelompoknya kepada kelompok lain melalui salah satu anggotanya yang dikirim pada diskusi kecil antar kelompok.
Setelah melalui proses zig zag dan masing-masing siswa terlihat dalam diskusi kecil antar kelompok, hasil dari diskusi kelompk tersebut disampaikan kepada masing-masing teman sekelompoknya.
7. Kembalikan seperti semula dalam kelompok besar untuk mengulas lagi seandainya ada masalah yang belum terpecahkan
8. Guru melempar beberapa pertanyaan untuk penjajagan pemahaman materi
9. Refleksi

26 Maret 2008

Pendidikan Tinggi

MEMADUKAN IDEALISME DOSEN DENGAN MAHASISWA

Oleh F. Syukur NC.


Tulisan ini diilhami oleh sebuah tulisan Prof. Dr. Achamd Ali, S.H., guru besar UNHAS Makassar yang dimuat di Harian Kompas, 22 April 2002, tentang Moralitas Pendidikan di Indonesia. Dalam artikel tersebut, Achmad Ali yang pernah menjadi dekan Fakultas Hukum Unhas, mendapat keluhan dari seorang dosen senior, bahwa mahasiswa yang diajarnya tidak mau mendengarkan, bahkan mereka bergurau – ramai sendiri. Sang dosen senior ini sampai marah dan melapor pada dekan, supaya dekan menindak mahasiswa tesebut. Namun setelah diusut, ternyata penyebab mahasiswa bergurau – ramai sendiri itu, bukan semata-mata karena faktor mahasiswanya, tetapi setiap sang dosen itu masuk di kelas, yang dilakukannya hanya langsung "mendiktekan" 10 halaman diktatnya. Sehingga tersirat dalam pikiran sebagian mahasiswanya, "Daripada kami capek-capek mencatat hasil diktean beliau, kan, mendingan dipinjamkan saja untuk kami copy, praktis dan efisien".
Dalam sebuah kesempatan dialog mahasiswa dengan bidang akademik IAIN Walisongo, mulai dari Pembantu Rektor I, Pembantu Dekan I, Ketua dan Sekretaris Jurusan serta Kasubag Akademik dan Kemahasiswa, ada seorang mahasiswa yang mengkritik habis-habisan keberadaan beberapa dosen yang menurutnya tidak bermutu. Dosen-dosen ketika di kelas tidak siap dengan materi yang diajarkan, yang sering adalah ceramah dan ngalor-ngidul tentang anak-anak dan tetangganya. Tetapi kalau ada mahasiswa yang bertanya dengan kritis, maka diancam nilainya akan dipotong. Mahasiswa tersebut menuntut agar para dosen tersebut ditingkatkan kualitasnya. Dalam mengajar hendaknya jangan hanya ceramah, dan menganggap mahasiswa sebagai botol kosong yang hanya siap untuk diisi. Ada juga seorang dosen senior ketika di kelas yang diceritakan selalu tentang pengalaman-pengalamanya di luar negeri yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan mata kuliah.
Dua kasus tersebut merupakan fenomena yang menarik dalam dunia pendidikan kita, dimana sudah terjadi peningkatan kesadaran di kalangan mahasiswa. Mahasiswa bukanlah benda yang kosong, tetapi mereka sudah membawa potensi dan referensi dari berbagai sumber, sehingga kehadirannya di ruang kuliah bukan tanpa bekal. Ingat di era informasi, maka sumber informasi bisa didapatkan bukan semata-mata dari dosen. Dosen hanya sebagian kecil dari sumber informasi. Justru di luar itu, banyak informasi yang bisa didapatkan melalui buku-buku, jurnal, koran, internet, seminar-seminar dan sebagainya. Oleh karena itu, kalau dosen masih beranggapan bahwa dialah satu-satu sumber informasi, maka dia akan ketinggalan dari dunia informasi yang lain. Apalagi kalau stok informasi yang dimilikinya tidak selalu di upgrade, maka jelas dia akan terlihat ‘kuper’. Dia mengira sudah mencapai setinggi langit dan seluas bumi, padahal ia masih di dalam tempurung.
Ada seorang dosen senior yang memperoleh kesempatan mengikuti program doktor bebas terkendali terheran-heran setelah melihat proses perkuliahan yang dilaksanakan oleh dosen-dosen muda baik yang alumni S-2 atau S-3. Ternyata proses perkuliahannya sudah seperti di S-2 atau S-3, maksudnya banyak membuat makalah, seminar, dan brainstorming. Tidak jarang mahasiswa mendebat dosen, kalau referensinya tidak atau kurang akurat. Sebelum mendapat kesempatan mengikuti kuliah doktor dia mengira bahwa model kuliahnyalah yang paling ideal. Ternyata dosen-dosen muda sudah melaksanakan model sebagaimana di pasca sarjana, walau tidak sepenuhnya.
Betapa idealnya seandainya idealisme mahasiswa tersebut merupakan gambaran mayoritas mahasiswa kita dan kemudian diimbangi dengan idealisme dari dosen untuk meningkatkan semangat keilmuannya.
Berangkat dari pengalaman saya lebih kurang selama delapan tahun sebagai dosen yang belum senior, menunjukkan bahwa prosentase mahasiswa yang mempunyai kesadaran intelektual dan idealisme jumlahnya sangat kecil. Dalam satu kelas rata-rata kurang dari dua puluh lima prosen, sedang yang lainnya biasa-biasa saja dan lebih banyak pasif.
Sebagaimana dilakukan oleh beberapa dosen yang lain, setiap awal kuliah seorang dosen memaparkan prospectus perkuliahan yang akan diajarkan dalam satu semester ke depan, yang meliputi, tujuan yang ingin dicapai, silabi perkuliahan, buku-buku rujukan, pendekatan dan metode-metode perkuliahan dan sistem evaluasi. Memang tidak semua dosen melakukan hal seperti itu, misalnya silabi tidak diberitahukan kepada mahasiswa, buku-buku rujukan dan sistem evaluasi tidak diberitahukan kepada mahasiswa. Ada beberapa kemungkinan, mungkin karena dosen tidak sempat membuat silabi yang siap disampaikan kepada mahasiswa atau mungkin dosen sengaja menyembunyikan langkah-langkah yang akan diajarkan supaya tidak diketahui oleh mahasiswa. Konon dulu ada dosen yang setiap memberikan ujian, mahasiswa selalu tidak bisa menjawab. Bahkan referensi yang ditunjukkan oleh dosen tidak ditemukan jawabannya. Akhirnya ada mahasiswa ‘kreatif’ yang mencuri buku yang ada di tas sang dosen ketika dia keluar kelas. Pada pertemuan selanjutnya sang dosen sempat marah karena bukunya hilang dan dia tidak siap untuk mengajar. Rupanya dari buku “babon” yang disembunyikan dari mahasiswa itulah segala soal ujian dibuat.
Dalam pemaparan prospectus tersebut, mahasiswa saya persilahkan untuk berpartisipasi sebagai bagian dari pendidikan orang dewasa dalam sistem andragogi. Misalnya apakah sillabi yang disampaikan oleh dosen ini perlu ditambah, dikurangi atau perlu direvisi. Apakah ada sumber-sumber rujukan yang lain selain yang disampaikan oleh dosen. Apakah sistem evaluasi dan metode yang diusulkan oleh dosen dapat disepakati, termasuk kesepakatan-kesepakatan tentang sanksi-sanksi dalam kuliah. Setelah semua disepakati, maka semua yang terlibat dalam mata kuliah tersebut akan terikat dengan kesepakatan itu.
Dalam realitanya sangat sedikit mahasiswa yang memanfaatkan moment tersebut, kecuali hanya satu – dua mahasiswa. Rata-rata mereka langsung menerima prospectus tersebut sebagai informasi yang harus diterima. Bahkan anehnya ada beberapa mahasiswa yang tidak peduli dengan prospectus tersebut, dan menganggapnya hanya sebagai angin lalu saja, tanpa ada bekasnya dilembaran kertas yang ia miliki. Akibatnya sudah bisa ditebak, ibarat orang mau berjalan, sudah disediakan denah atau peta yang jelas, lengkap dengan petunjuk kompasnya, namun tidak mau memanfaatkannya, ya seperti berjalan tanpa arah, tanpa persiapan dan tanpa bekal. Bagaimana bisa diharapkan tumbuh idealisme dari mahasiswa yang demikian ?
Sebagai dosen yang menyadari bahwa informasi yang dimiliki oleh dosen itu sangat terbatas, sehingga mengajak mahasiswa untuk membaca langsung dari buku-buku rujukan, namun kenyataannya lain. Masih banyak mahasiswa yang hanya menggantungkan pada dosen sebagai satu-satunya sumber informasi. Buku refrensi yang sudah ditunjukkan tidak pernah dicari, dengan berbagai alasan, sulit dicari, harganya mahal dan sebagainya. Bagi sebagian dosen mungkin ini menguntungkan, karena memposisikan dirinya sebagai orang yang pintar dan ‘paling tahu segalanya’.
Bila ada dosen yang menugaskan membuat makalah dan presentasi, apalagi yang bersifat individual, maka banyak mahasiswa yang mencap, “dosen banyak tugas”. Mengapa makalah harus sekian halaman, harus dengan sekian referensi. Atau mereka berkata, makalah kelompok saja pak, ada pula yang mengatakan cemarah saja pak.
Kuliah dengan sistem seminar (ada mata kuliah tertentu yang tidak cocok dengan sistem ini), dimaksudkan agar partisipasi mahasiswa lebih banyak. Mereka dapat langsung mencari dari sumber rujukan yang ditunjuk, sekaligus dapat menganalisis dan menyusun pola pikir dengan baik dan sistematis melalui presentasi di kelasnya. Dari makalah itu, dosen dapat memberikan masukan maupun menerima masukan ilmu. Demikian pula mahasiswa yang lain, tanpa dia harus mendalami semua topik yang diajarkan. Dengan demikian akan tercipta kondisi ‘saling belajar’ dan menambah ilmu.
Dengan prospectus yang telah disampaikan oleh dosen di awal perkuliahan mestinya mahasiswa dapat menjadikannya sebagai pedoman, persiapan apa yang harus dibawa untuk mengikuti setiap perkuliahan sesuai dengan topiknya, bukan hanya topik makalah yang ditugaskan kepadanya. Mahasiswa juga dapat ‘mengatur strategi’ dalam menghadapi ujian dari dosen sesuai dengan kesepakatan di kuliah awal tersebut.
Tentang kuliah awal ini memang masih ada budaya yang kurang baik, entah awalnya dari mana, “ah masih kuliah awal belum terlalu penting”, sehingga di minggu pertama kuliah biasanya kelas masih kosong. Sejak awal kepemimpinan Dr. H.A.Qodri A. Azizy (Mantan Rektor IAIN Walisongo), sudah diinstruksikan agar dosen masuk kelas sesuai dengan awal masa perkuliahan. Jangan sampai ada kelas kosong pada minggu-minggu pertama kuliah.
Hasilnya cukup lumayan, untuk Fakultas Tarbiyah, lebih dari delapan puluh prosen dosen sudah memulai perkuliahan sejak minggu pertama perkuliahan. Namun demikian di pihak mahasiswa kesadaran tersebut baru tumbuh sekitar tiga puluh prosen. Laporan dari beberapa dosen, bahwa pada minggu-minggu pertama perkuliahan, mahasiswa yang hadir hanya sekitas sepertiga dari jumlah kelas. Alasannya macam-macam, ada yang masih di kampung, ada yang masih batal tambah, ada yang mengatakan belum penting dan sebagainya.
Itulah sebuah realitas dunia kampus kita, yang tentu terkait dengan realitas-realitas yang lain. Realitas tersebut antara lain adalah rendahnya sikap keingin tahuan, curiosity, untuk haus terhadap ilmu pengetahuan baik di pihak dosen maupun di pihak mahasiswa. Akibat rendahnya sikap curiosity ini, maka orang akan mudah puas dengan apa yang dimilikinya. Lebih dari itu mungkin juga ada sikap arogansi intelektual. Merasa sudah pintar sehingga tidak perlu belajar lagi. Ini pernah saya alami ketika menyampaikan sebuah undangan dari panitia pelatihan manajemen IAIN kepada seorang dosen yunior, bagaimana responnya ? positifkah ? ternyata jauh dari yang saya bayangkan. Dengan angkuhnya dia mengatakan ‘ah manajemen paling kayak gitu’. Betapa arogannya dia sehingga merasa tidak perlu ada upgrade ilmu-ilmu yang pernah ia dapatkan. Ilmu yang pernah ia dapat sewaktu kuliah puluhan tahun yang silam, masih dipertahankan dan disampaikan sebagaimana adanya kepada mahasiswa pada era sekarang. Padahal ilmu pengetahuan telah berkembang dengan cepat seiring dengan perkembangan masa. Lima tahun yang lalu komputer dengan prosessor 486 Hz sudah dianggap canggih, namun sekarang, pentium sudah mencapai generasi keempat, dan akan terus berkembang. Rendahnya sikap curiosity telah menghambat orang untuk selalu terbuka terhadap pengetahuan baru.
Dulu orang belajar sesuatu harus berhadapan langsung dengan guru, datang ke majlis pengajian, datang ke perpustakaan, tetapi dengan kecanggihan teknologi dari ruang kamar yang berukuran dua kali tiga meter, dengan internet orang bisa mengakses berjuta juta informasi tanpa harus datang ke majlis, atau langsung ketemu dengan guru. Dulu kalau kita ingin membaca tafsir, harus membeli kita-kitab yang tebal dan harganya mahal, sekarang hanya dengan sebuah note book dan sekeping cd al-Qur’an sudah lengkap ayat-ayat dan tafsirnya dari beberapa kitab. Demikian pula hadits kutubussittah yang memuat sembilan kumpulan kitab-kitab hadits besar, dapat diakses hanya dengan sekeping cd. Untuk belajar bahasa, mulai dari anak-anak sampai dewasa, tidak harus datang ke tempat kursus, sekarang sudah banyak cd program belajar bahasa.
Namun demikian untuk menuju ke arah itu masih ada realitas lain yang harus diakui, yakni faktor ekonomi. Masih ada dosen yang tidak memiliki perpustakaan pribadi dan tidak mau datang ke perpustakaan. Buku-buku yang dipakai untuk mengajar di kelas tidak pernah berubah sejak awal dia mengajar sampai pensiun. Masih ada dosen yang belum memiliki komputer, apalagi mengakses internet. Barangkali alasan klassik yang dikemukakan adalah gaji yang diterima dosen tidak cukup untuk membeli buku, langganan koran, langganan internet dan sebagainya. Itu memang kenyataan bahwa gaji dosen di negeri kita masih jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan gaji guru SLTP di Malaysia. Tetapi itu bukan alasan utama untuk tidak mau berkembang dan mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya.
Di kalangan mahasiswa, faktor ekonomi ini juga menjadi alasan. Katanya uang saku dari rumah tidak cukup untuk membeli buku. Tetapi kenapa tidak ke perpustakaan ? Katanya, perpustakaan bukunya terbatas. Ya memang benar, perpustakaan yang kita miliki, masih jauh dari memadahi. Idealnya, satu orang dapat meminjam buku antara 20 sampai 25 buku dalam jangka waktu dua bulan. Sehingga untuk membuat makalah dapat leluasa mencari referensi di perpustakaan. Akan tetapi kalau kita menunggu kondisi ideal, apakah kita baru akan maju setelah kondisi ideal ? Sampai kapan ?
Ada pengalaman menarik sewaktu kuliah di S-1. Ada seorang teman yang uang saku dari orang tuanya jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan teman-temannya satu kost. Katakanlah waktu itu rata-sata uang saku mahasiswa per bulan antara Rp 45 ribu sampai Rp 60 ribu. Sementara uang saku seorang teman tersebut maksimal hanya Rp 10 ribu plus beras 10 kg. Tetapi teman yang satu ini dapat membeli buku paling tidak 2 sampai 3 buku setiap bulan. Sementara yang uang sakunya banyak ternyata habis untuk makan, jalan-jalan dan beri berbagai assessoris. Kuncinya adalah pada kemauan, Rp 10 ribu merupakan modal awal yang dapat dikembangkan. Kebetulan dia hobi menulis, dengan modal itu ia belikan buku, kemudian diresensi dan dikirim ke media massa. Dari tulisan tersebut ia mendapatkan uang, dan dari klipping tulisan tersebut yang dikirimkan ke penerbit, ia mendapatkan buku-buku baru. Sekali lagi dimana ada kemauan di situ ada jalan. Tak ada rotan, akarpun jadi.***

Penulis adalah mantan aktivis pers mahasiswa akhir tahun delapan puluhan. Sekarang sebagai dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, dan Vice Editor in Chief Joenal Ihya Ulum al-Din.

23 Februari 2008

Silabus Akta IV

Universitas Wahid Hasyim Semarang
SILABUS MK PERENCANAAN PEMBELAJARAN
Program Akta IV (4 SKS)
Tahun Akademik 2008
Dosen : Drs. H. Fatah Syukur NC, M.Ag.


I. STANDAR KOMPETENSI
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami konsep dasar Perenanaan Pembelajaran dan Mampu Menerapkannya dalam Proses Pembelajaran dengan baik

II. MATERI POKOK
1. Pengertian, dan Ruang Lingkup
2. Urgensi Persiapan dalam Proses Pembelajaran
3. Prinsip Pengembangan Persiapan Pembelajaran
4. Kinerja Guru dalam Persiapan Pembelajaran
5. Prinsip-prinsip Pembelajaran
6. Model-model Pembelajaran :
a. Model Pembelajaran Konstruktivisme
b. Model Pembelajaran CTL
c. Pendekatan Pembelajaran Tematik
d. Pendekatan Pembelajaran PAIKEM
7. Pengorganisasian Kelas
a. Desain Kelas Huruf U
b. Desain Kelas Corak Tim
c. Desain Kelas Lingkaran
d. Desain Kelas Breakout Groupings
e. Desain Kelas Chevron
f. Desain Kelas Kelompok untuk Kelompok
8. Pengembangan Teknik Pembelajaran
a. Prinsip Student Active Learning
b. Pembelajaran Partisipatif
c. Teknik-teknik Pembelajaran
9. Perencanaan Pembelajaran Pengembangan Diri:
a. Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup
b. Kompetensi yang dikembangkan
c. Strategi Pengembangan Diri
10. Perencanaan Pembelajaran Life Skill:
a. Latar Belakang, Filosofi, dan Tujuan
b. PKH di Madrasarah
c. Strategi Pendidikan Kecakapan Hidup
d. Pelaksanaan Pendidikan Kecakapan Hidup
11. Pembelajaran Portofolio:
a. Pengertian dan Prinsip-prinsip
b. Implementasi model portofolio
c. Langkah-langkah Pembelajaran Portofolio
12. Perencanaan Media Pembelajaran
a. Pengertian
b. Macam-macam Media
c. Penerapan dalam Pembelajaran
13. Perencanaan Metode Pembelajaran
a. Penegrtian
b. Macam-macam Metode Pembelajaran
c. Penerapan Metode dalam Pembelajaran
14. Perencanaan Evaluasi Pembelajaran
a. Pengertian
b. Jenis-jenis Evaluasi
c. Penerapan Evaluasi dalam Pembelajaran
15. Pengembangan Silabus Berbasis KTSP
16. Pengembangan RPP Berbasis KTSP

REFERENSI :
Armai Arief, Dr., M.A., Pengantar Ilmu dan Meodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Basyiruddin Usman, Drs.M., M.Pd., Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Dasim Budimansyah, Dr., M.Si., Model Pembelajaran Portofolio, Bandung: PT Genesindo, 2003.
Fatah Syukur, Drs., M.Ag., Teknologi Pendidikan, Semarang: Rasail, 2004.
Khaeruddin, Drs., H. M.A., Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Semarang: PMDC-Pilar Media, 2007.
Nurhadi, Dr., M.Pd., Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK, Malang: Universitas Negeri Malang, 2003.
Tim Depag, Kegiatan Pembelajaran, Jakarta: Dirjen Binbaga Departemen Agama RI, 2003.
Tim Depag, Panduan Pembelajaran, Jakarta: MP3A Departemen Agama RI, 2005
Tim Depag, Panduan Perencanaan & Pengembangan Madrasah, Jakarta: MP3A Departemen Agama RI, 2005
Tim Depag, Pedoman Integrasi Life Skills Dalam Pembelajaran, Jakarta: Dirjen Binbaga Departemen Agama RI, 2005.
Tim Depag, Pedoman Kegiatan Pengembangan Diri untuk Madrasah, Jakarta: Dirjen Binbaga Departemen Agama RI, 2005.
Vembrianto, ST, Pengantar Perencanaan Pendidikan, Jakarta: Gramedia, 1993.

Bahan Ajar Akta IV

PERENCANAAN PENGAJARAN


Pengertian :
Perencanaan pengajaran berarti pemikiran tentang penetrapan prinsip- prinsip umum mengajar di dalam pelaksanaan tugas mengajar dalam suatu interaksi pengajaran tertentu yang khusus baik yang berlangsung di dalam kelas ataupun diluar kelas.
Rencana pembelajaran pada hakekatnya merupakan perencanaan jangka pendek yang dilakukan oleh guru untuk dapat memperkirakan berbagai tindakan yang akan dilakukan di kelas atau di luar kelas. Perencanaan pembelajaran tersebut perlu dilakukan agar guru dapat mengkoordinasikan berbagai komponen pembelajaran yang berorientasi (berbasis) pada pembentukan kompetensi siswa, yakni kompetensi dasar, materi standar, indicator hasil belajar, dan penilaian berbasis kelas (PBK). Kompetensi dasar berfungsi untuk memberikan makna terhadap kompetensi dasar. Indikator hasil belajar berfungsi sebagai alat untuk mengukur ketercapaian kompetensi. Sedangkan PBK sebagai alat untuk mengukur pembentkan kompetensi serta menentukan tindakan yang harus dilakukan jika kompetensi standar belum tercapai.
Perencanaan pengajaran mempunyai beberapa faktor yang mendukung tujuan pembelajaran tercapai misal :
a. Persiapan sebelum mengajar
b. Situasi ruangan dan letak sekolah dari jangkauan kendaraan umum
c. Tingkat intelegensi siswa
d. Materi pelajaran yang akan disampaikan

Faedah perencanaan :
a. Karena adanya perencanaan maka pelaksanaan pengajaran menjadi baik dan efektif. Yang dimaksud adalah maka seorang guru bisa memberikan materi pelajaran dengan baik karena ia harus dapat menghadapi situasi di dalam kelas secara mantap, tegas dan fleksibel.
b. Karena perencanaan maka seseorang akan tumbuh menjadi seseorang guru yang baik. Yang di maksud adalah guru membuat persiapan yang baik dan adanya pertumbuhan berkat pengalaman dan akibat dari hasil belajar yang terus menerus.
Bagaimana cara untuk mencapai hasil hasil belajar yang efektif yang dijadikan pedoman dalam setiap kali membuat perencanaan ?

Ada 7 aspek persiapan untuk mencapai tugas yang di sebutkan tadi :
1. Persiapan terhadap situasi
Mancakup : tempat, suasana ruangan kelas, dan lain-lain. Dan situasi umum harus dimiliki sebelum saudara mengajar di dalam kelas tersebut dengan pengetahuan saudara dapat membuat ancang- ancang terhadap variabel faktor masalah dan menghadapi situasi kelas.
2. Persiapan terhadap siswa yang akan dihadapi
Maksud ; Sebelum guru mengajar ia harus mengetahui keadaan siswa tsb atau dengan kata lain guru harus membuat gambaran yang jelas mengenai keadaan siswa yang akan dihadapi selain dari pada faktor intern siswa tsb ( laki- laki dan Perempuan) seorang guru harus mengetahui taraf kematangan dan pengetahuan serta khusus dari pada siswa tsb.
3. Persiapan dalam tujuan umum pembelajaran
Yang menyangkut tujuan instruksional apa yang akan dicapai oleh para siswa harus dimiliki seorang guru mencakup antara lain :
Pengetahuan, kecakapan, keterampilan atau sikap tertentu yang konkrit yang bisa di ukur dengan alat- alat evaluasi.
4. Persiapan tentang bahan pelajaran yang akan diajarkan
Yang dimaksud dengan ini : Dengan adanya pengetahuan yang akan dihadapkan kepada siswa, si guru memiliki persiapan yang akan di sampaikan kepada siswa yang harus terdapat batas- batas, luas dan urutan- urutan pengajaran perlu di persiapkan.
5. Persiapan tentang metode- mengajar yang hendak di pakai
a. metode ceramah
b. metode tanya jawab atau diskusi
6. Persiapan dalam penggunaan alat- alat peraga
Misal : kapur dan papan tulis, pengahapus paling sedikit di gunakan tetapi dalam belajar pembelajaran di pergunakan alat pembantu adalah media yang mempertinggi komunikasi pada saat proses belajar berlangsung.
7. Persiapan dalam jenis teknik evaluasi
Tujuan evaluasi : samapi sejauhmana daya serap terhadap produk bahasan yang saudara terapkan
Ada beberapa jenis alat evaluasi disini yaitu : Bentuk test apakah test tertulis maupun test lisan.

Jenis- jenis perencanaan
1. Menurut Besaran :
a. Perencanaan Makro
b. Perencanaan Meso
c. Perencanaan Mikro
2. Menurut Telaahnya :
a. Perencanaan Strategi
b. Perencanaan Manajerial
c. Perencanaan Operasional
2. Menurut Jangka Waktunya :
a. Perencanaan Jangka Panjang
b. Perencanaan Jangka Menengah
c. Perencanaan Jangka Pendek

Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran terbagi atas 2 bagian :
1. Tujuan pembelajaran umum
2. Tujuan pembelajaran khusus, Kriteria :
a. Harus menggunakan istilah- istilah yang operasional, Spt : menuliskan, menyebutkan, menghitung, membedakan, dsg.
b. Harus dalam bentuk hasil belajar, adalah Menggambarkan hasil belajar yang diharapkan pada diri siswa setelah ia menempuh segala KBM atau dengan kata lain hasil apa yang sudah diperoleh setelah ia mempelajari suatu pokok bahasan.
c. Harus berbentuk tingkah laku dari para siswa, artinya Setelah siswa mempelajari pokok bahasan tsb adanya perubahan pengetahuan tentang materi pelajaran.
d. Hanya meliputi satu jenis tingkah laku, adalah Kemampuan yang dimiliki oleh siswa cukup hanya terbatas saja.

Mengembangkan Evaluasi
Yang harus dilakukan dalam mengembangkan evaluasi;
a. Perlu ditentukan jenis- jenis test yang harus di buat
b. Mengembangkan alat evaluasi

Perencanaan Desaign Instruksional
Penyusun PDI di desaign untuk menjawab pertanyaan :
1. Apa yang menjadi tujuan pembelajaran
2. Bagaimana prosedur dan sumber- sumber belajar yang tepat untuk mencapai hasil belajar yang diinginkan.
3. Bagaimana kita mengetahui bahwa hasil belajar yang dihasilkan telah tercapai.
Adapun jawaban dari pertanyaan tadi ada 8 langkah :
1. Menyusun pokok bahasan dan tujuan umum
2. Karakteristik siswa
3. Tujuan belajar
4. Isi pokok bahasan
5. Penjajakan terhadap siswa
6. Kegiatan belajar mengajar
7. Pelayanan penunjang
8. Evaluasi

Metodologi Pengajaran
1. Metode mengajar
2. Media pengajaran
Ada beberapa jenis media pengajaran yang dilakukan seorang guru :
1. Media gratis
2. Media tiga dimensi
3. Media proyeksi
4. Lingkungan

Faktor- faktor yang harus diperhatikan seorang guru dalam media pengajaran :
a. Relevansi pengadaan media pendidikan
b. Kelayakan pengadaan media pendidikan
c. Kemudahan pengadaan media pendidikan

Beberapa hal yang harus diperhatikan seorang guru dalam menggunakan media pendidikan :
a. Apakah guru tersebut memahami manfaat media pengajaran
b. Guru harus terampil dalam menyediakan media pendidikan.

Media pendidikan di gunakan jika :
a. Bahan pengajaran yang dijelaskan guru kurang di pahami siswa
b. Guru tidak bergairah untuk menjelaskan bahan pelajaran melalui penuturan kata- kata verbal
c. Perhatian siswa terhadap pengajaran sudah berkurang akibat kebosanan mendengar uraian guru.

Manfaat media pendidikan bagi pengajaran siswa :
1. Bahan pelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga lebih jelas dipahami siswa sehingga memungkinkan siswa menguasai tujuan pengajaran lebih baik.
2. Metode mengajar akan lebih bervariasi
3. Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar
4. Motivasi belajar dari para siswa dapat ditumbuhkan / dinaikkan
5. Dapat mengatasi sifat pasif dari para siswa

Kesulitan- kesulitan dalam media pengajaran :
1. Biaya pengadaan
2. Pengalaman seorang guru dalam menggunakan media pengajaran tersebut.

Perencanaan Evaluasi Pengajaran

Adalah : Penilaian terhadap pertumbuhan dan kemajuan peserta didik kearah tujuan- tujuan yang telah ditetapkan untuk mengetahui sampai dimana daya serap siswa setelah mengikuti pelajaran tersebut.

Prinsip : Lingkungan kegiatan 1994
- Intra kurikuler
- Tugas

Azas :
a. Azas Objektivitas
b. Azas menyeluruh
c. Berkesinambungan

Penjelasan :
Objektif adalah suatu penilaian di katakan objektif apabila keadaan tepat menggambar keadaan yang sebenarnya.
Menyeluruh apabila penilaian yang digunakan mencakup proses maupun hasil belajar serta menggambarkan perubahan tingkah laku tidak sengaja saja dalam ranah kognitif tetapi termasuk pula ranah efektif dalam psikomotor.
Berkesinambungan adalah pelaksanaan penilaian dilakukan secara terus menerus berencana dan bertahap.


Langkah- langkah penilaian
Perencanaan penilaian/ perencanaan evaluasi
Penilaian berlaku untuk untuk tujuan harian, ujian umum semester baik gasal/ genap, EBTA terlebih dahulu harus menyusun kisi-kisi soal; adalah menggambarkan lingkup bahan pengajaran dan jenjang prilaku yang diukur yaitu pengetahuan, sikap, keterampilan.

Pelaksanaan penilaian
Harus berkesinambungan maksudnya adalah penialaian yang dilakukan secara berencana, terus menerus dan bertahap untuk memperoleh gambaran tentang perubahan tingkah laku siswa sebagai hasil KBM

Cara penilaian
Dilakukan dengan 2 cara yaitu :
Ø Dengan cara kuantitatif
Ø Dengan cara kualitatif

Standart penilaian
Sejalan dengan prinsip belajar tuntas penilaian di gunakan dengan standart mutlak atau penilaian acuan criteria artinya tidak ada pilih kasih.

Bentuk- bentuk soal
Ada dua macam :
Pilihan berganda ada 5 yaitu :
a. Melengkapi pilihan
b. Hubungan antar hal
c. Tinjauan kasus
d. Asosiasi pilihan ganda
e. Membaca diagram

Bentuk uraian ada 2 macam ;
a. Uraian objektif
b. Uraian non objektif

Tingkat kesukaran dari soal
Selalu berbanding mudah : sedang : dan sukar
Perbandingannya : 25 % 50% 25%

Penilaian soal untuk test hasil belajar
Sebelum butir- butir soal disusun si guru harus menyusun TPK sesuai dengan GBPP:
Tujuan kurikuler
Tujuan pembelajaran umum
PB
SPB

Tujuan pembelajaran khusus
Merupakan rumusan tingkah laku yang akan diukur melalui butir- butir soal. Ada 2 hal yang perlu diperhatikan dalam menjabarkan TPU menjadi TPK:
Pokok bahasan yang menunjang pencapaian tujuan pembelajaran umum
Tingkat perkembangan/ umur dari para siswa pada jenjang pendidikan yang bersangkutan
Beberapa catatan dalam membuat TPK :
Setiap rumusan TPK selalu mengandung aspek prilaku dan aspek isi
Agar bersifat operasional sehingga mudah di jadikan patokan dalam penyusunanbutir- butir soal dengan kata lain kata- kata kerja yang digunakan untuk aspek prilaku dalam tujuan pembelajaran khusus haruslah operasional , seperti ; menulis, menyebutkan, menghitung, merumuskan, memilih, dsg.

Pengelolaan Kegiatan Belajar Mengajar
menyusun program KBM
Melaksanakan KBM
Melaksanakan kegiatan penilaian
Penyusunan program pengajaran ada 3 komponen yang harus diperhatikan :
1. Penguasaan materi
2. Analisis materi pelajaran
3. Penyusunan persiapan mengajar

Lingkup materi
1. Materi untuk siswa
2. Materi untuk guru

Empat usaha yang harus dilakukan seorang guru :
1. Musyawarah guru mata pelajaran
2. Melalui sumaber yang relevan
3. Melalui ahli yang tersedia
4. Melalui pendidikan khusus

Fungsi kegiatan pendalaman materi ;
1. Meningkatkan kepercayaan diri akan kemampuan professional sehingga tidak ragu lagi dalam mengelola proses belajar mengajar.
2. Memperdalam diri dan memperluas wawasan atas konsepsi tujuan akademis dan aplikasinya sehingga dapat di manfaatkan untuk melaksanakan analisis materi pelajaran.

Fungsi analisis materi pelajaran
Sebagai acuan untuk menyusun program tahunan, program semesteran, dan program satuan pelajaran.

Sasaran analisis materi pelajaran:
1. Terjabarkan pokok bahasan dan sub pokok bahasan
2. Terpilihnya metode yang efektif dan efisien
3. Terpilihnya sarana pembelajaran yang paling cocok

09 Februari 2008

Jual Rumah

RUMAH DIJUAL CEPAT

Dijual rumah type 36 di Beringin Putih D-I/5 Ngaliyan Semarang. Luas tanah 115 m2, luas bangunan 110 m2, sudah dicor/dag untuk lantai 2 seluas 75 m2. Terdiri dari tiga kamar tidur, ruang keluarga, ruang computer, kamar mandi, ruang dapur, kamar pembantu dan garasi mobil. Ruas jalan 7 m, ada line telpon, air artetis mengalir sehari dua kali, lancar, hanya membayar Rp 5.000,- satu bulan. Lokasi strategis, terletak di depan taman perumahan tempat bermain anak-anak dan memudahkan parkir mobil tamu, ada angkutan umum, dekat SD Negeri dan akses ke kota dekat. Lingkungan masih alami dengan udara bersih dan penuh penghijauan alam. Bila berminat hub: 024-8663825 atau 081390052209 e-mail : citraedukasi@yahoo.com

25 Januari 2008

Penelitian,


Proposal Penelitian Individual

SISTEM NILAI DALAM BUDAYA ORGANISASI PENDIDIKAN DI PESANTREN
(Studi Tentang Interaksi Edukatif Kyai, Santri dan Keluarga Pesantren)

















Oleh
Drs. H. Fatah Syukur, M.Ag.
NIP. 150267028
Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo











Diajukan Untuk Memperoleh Dana Bantuan Penelitian DIPA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
Semarang Tahun 2007

SISTEM NILAI DALAM BUDAYA
ORGANISASI PENDIDIKAN DI PESANTREN
(Studi Tentang Interaksi Edukatif Kyai, Santri dan Keluarga Pesantren)


Abstraksi
Dunia pesantren merupan fenomena yang sangat menarik untuk diteliti. Lembaga yang dikatakan ‘Tradisional’ ini memiliki nilai-nilai pendidikan yang tinggi yang tidak banyak disadari dan diperhatikan oleh dunia pendidikan formal pada umumnya. Keberhasilan pendidikan bukan hanya ditentukan oleh komunikasi formal antara pendidikan dan anak didik, akan tetapi komunikasi informal dan komunikasi non formal justru merupakan faktor penting penentu keberhasilan pendidikan.
Dalam pesantren bangunan komunikasi terjadi secara formal, non formal dan informal. Selama dua puluh empat jam komunikasi dan interaksi terbangun di antara warga pesantren, baik antara kyai-santri, santri-santri, santri-keluarga kyai dan santri-masyarakat pesantren. Dalam interaksi tersebut, nilai-nilai pendidikan yang dibentuk oleh pesantren mempunyai andil besar dalam menentukan keberhasilan belajar santri. Hubungan santri-kyai-keluarga kyai-sesama santri terbentuk secara sosialogis, ideologios dan informal. Berbeda dengan komuniasi ‘modern’, pola komunikasi dan interaksi lebih didasarkan kepada kepentingan dan formalitas. Kehampaan komunikasi ‘modern’ antara lain karena hanya didasarkan pada bentuk komunikasi formal, sedangkan komunikasi informal dan non formal yang lebih humanis kurang mendapatkan perhatian yang memadai.
Penelitian ini bermaksud mengkaji karakteristik nilai pendidikan pesantren, ragam nilai pendidikan pesantren dan sistem nilai pendidikan dalam budaya organisasi di pesantren. Dengan nilai-nilai tersebut diharapkan dapat diadopsi ke dalam dunia pendidikan pada umumnya.
Fokus yang diteliti dalam penelitian ini adalah : Sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren yang meliputi Pesantren Raudlatuttolibin, dan Pesantren Luhur Kota Semarang. Di dua pesantren tersebut sebagian besar para santri adalah mahasiswa. Sebagai santri, mereka mengikuti system budaya yang ada di pesantren pada umumnya, misalnya budaya paternalistic dan sami’na wa atho’na. Namun sebagai mahasiswa, mereka selalu berinteraksi dengan nilai-nilai demokratisasi dan liberalisasi pemikiran. Bagaimana karakteristik budaya organisasi pesantren, ragam nilai dalam budaya organisasi pesantren dan bagaimana sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang.
Secara praktis diharapkan bermanfaat memberi gambaran tentang sistem nilai pada pesantren sehingga dapat menjadi acuan para penyelenggara dan pengelola pesantren khususnya dan pendidikan pada umumnya. Memberi masukan kepada Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional, Yayasan Pendidikan, dan Organisasi Keagamaan yang menyelenggarakan pendidikan dalam memajukan lembaga pendidikan berdasarkan sistem nilai.
Secara Teoritis diharapkan bermanfaat memperkaya teori manajemen pendidikan (pesantren) terutama yang berkaitan dengan sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yang dibangun dari dua kasus dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini semoga dapat dijadikan acuan bagi peneliti berikutnya / peneliti lain yang ingin mengkaji lebih mendalam dengan topik dan fokus serta setting yang lain untuk memperoleh perbandingan sehingga memperkaya temuan-temuan penelitian
Penelitian ini menggunakan kerangka studi kasus. Dalam penelitian ini berusaha untuk memahami makna peristiwa serta interaksi orang dalam situasi tertentu. Untuk dapat memahami makna peristiwa dan interaksi orang, digunakan orientasi teoritik atau perspektif teoritik dengan pendekatan fenomenologis (phenomenological approarch). Adapun metode dalam pengumpulan data dipergunakan interviw mendalam, observasi partisipan dan studi dokumentasi. Data tersebut kemudian dianalisis dengan menelaah data. Pelaksanaan pengecekan keabsahan data didasarkan pada empat kreteria yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability). Data tersebut kemudian ditata, dibagi menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, disintesis, dicari pola, ditemukan apa yang bermakna, dan apa yang diteliti dan dilaporkan secara sistematik.


A. Latar Belakang
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (pasal 15). Kemudian dalam pasal 30 (ayat 4) dijelaskan bahwa pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, samanera, dan bentuk lain yang sejenis. Dengan adanya ketentuan ini, maka secara formal pesantren adalah bagian dari sistem pendidikan nasional yang berhak mendapatkan perhatian yang serius sebagaimana sub sistem pendidikan nasional yang lain.
Kendatipun secara resmi pesanten di Indonesia baru masuk dalam sistem pendidikan nasional tahun 2003, namun peranan pesantren dalam pendidikan dan pembentukan karakter bangsa Indonesia sudah dimulai sejak berdirinya pesantren itu sendiri.
Peranan lembaga-lembaga pendidikan pesantren di Indonesia cukup besar dalam membina masyarakat. Lebih signifikan lagi adalah kiprah dunia pesantren dalam mempertahankan bangsa dan negara dari tangan penjajah selama berabad-abad yang berpuncak pada fatwa resolusi jihad Oktober 1945. Namun perhatian yang diberikan kepadanya, baik oleh pemerintah, para ahli pendidikan, dan kalangan masyarakat belum memadahi. Penilaian masyarakat terhadap lembaga pesantren masih lekat sebagai tempat mempelajari agama melulu. Begitu juga pada level internasional, studi mengenai dunia pesantren masih sangat langka. Sampai saat ini, baru ada tiga disertasi berbahasa Inggris yang membahas topik dunia pesantren. Pertama "The Pesantren Tradition" (Tradisi Pesantren) yang ditulis pada tahun 1980 oleh Dr. Zamakhsyari Dhofier dari the Department of Anthropology and Sociology, Australian National University, Camberra. Disertasi ketiga muncul tujuh belas tahun kemudian, Maret 1997 dengan judul "The Pesantren Architects and Their Sosio-Religious Teachings" (Para Pelopor Dunia Pesantren dan Ajaran-ajaran Sosial Keagamaan Mereka) oleh Abdurrahman Mas'ud dari University of California Los Angeles, USA. Kebetulan kedua disertasi tersebut ditulis oleh sarjana dari lingkungan pesantren sendiri. Dan desertasi ketiga adalah ditulis sarjana Amerika Serikat, Ronald Alan Lukens-Bull, dari North Florida University, AS, dengan judul Peaceful Jihad, di bawah bimbingan antropolog ahli Islam Jawa, Prof. Mark Woodward.
Komunitas pesantren juga telah memainkan peran penting dalam. perkembangan ilmu di tanah air dari dulu hingga kini. Saffina Belanda di abad sembilan belas, Berg, melaporkan bahwa aspek moral akhlaq, serta tasawuf adalah bagian terpenting yang diajarkan dalam institusi ini. (Lihat LM.C. Van den Berg, "Het Godsdientonderwijs op Java an Madoera en de Daarbij Gebmikte Arabische Boeken," in Tijdshrift voor Indische Twd, Land en Volkenkimde 31, 1886, p. 519-555). Selain itu pada umumnya pesantren-pesantren yang berpengaruh menawarkan ajaran dan praktek tariqat bagi murid-murid yang tidak menetap di pondok. Kegiatan yang terakhir ini biasanya ditangani oleh seorang guru sufi yang masyhur dan diikuti ratusan atau ribuan santri yang cukup usia.
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam telah membuktikan keberadaannya dan keberhasilannya dalam peningkatan sumber daya manusia atau human resources development. Dalam abad terakhir ini telah terbukti bahwa dari pesantren telah lahir banyak pemimpin bangsa dan pemimpin masyarakat. Pesantren juga telah memberikan nuansa dan mewarnai corak dan pola kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain, pesantren juga merupakan benteng pertahanan yang kokoh dalam menghadapi dahsyatnya gelombang budaya dan peradaban yang tidak sesuai dengan nilal-nilai Ilahiyyah. Sejarah telah mencatat prestasi pesantren sebagai pembentuk kultur unik Islami yang terkenal dengan sebutan "kultur santri Jawa".
Keunikan pesantren terletak pada kecerdikannya dalam mengkombinasikan budaya lokal dengan substansi dan ruh kehidupan yang serba Islam. Pesantren sebagai lembaga pendidikan sangat potensial dan eksepsional. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dunia pesantren memiliki akar historis, ideologis, kultur yang cukup solid. Kekuatan pesantren terletak pada konsistensinya melawan penjajah dalam. bentuk apapun dengan landasan keagamaan seperti "perang jihad mempertahankan bangsa dan negara melawan kafir".
Yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa Walisongo dan Nabi Muhammad merupakan kiblat utama kaum santri, dan bahwa modeling mengikati tokoh pemimpin, uswatun hasanah, merupakan bagian penting dalam filsafat Jawa. Kekuatan modeling ditopang dan sejalan dengan value sistem Jawa yang mementingkan paternalism dan patron-client relation yang sudah mengakar dalam budaya masyarakat Jawa. Pendekatan dan kebijaksanaan (approach & wisdom) Walisongo kini terlembagakan dalam esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejarahannya. Melalui konsep terakhir inilah keagungan Muhammad saw. serta kharisma Walisongo yang dipersonifikasikan oleh para auliya dan kyai, terjunjung tinggi dari masa ke masa.
Dari sejarah dapat diambil suatu pelajaran bahwa semakin besar tantangan dunia pesantren yang dihadapi, semakin resistan dan piawai dunia pesantren dalam merespons tantangan tersebut. Di saat Belanda semakin mempersempit kehidupan sosial religius-kultural bangsa paruh ketiga abad 19, justru muncul ulama'-ulama' pesantren kaliber internasional seperti Nawawi al Bantani (meninggal 1997) dan Mahfud Termaz (1868-1919) yang ketiganya dikenal sebagai Imam al-Haramain, guru besar di Mekkah dan Madinah dengan karya-karya tulis mereka semuanya dalam bahasa Arab. Tiga ulama' produktif ini merupakan fenomena pesantren yang jarang disentuh sekaligus menghapuskan kesan bahwa dunia pesantren adalah dunia pidato, lisan dan podium. Dengan demikian kesan tersebut merupakan kesan yang tidak diimbangi dengan pembacaan sejarah secara utuh, atau dalam istilah ilmiah disebut ovesimplification atau bahkan stereotyping.
Di saat tantangan Belanda semakin membabi buta ini pulalah, mucul pesantren induk, the mother of pesantrens, seperti Tebuireng di penghujuang abad 19. Jelas sekali bahwa tumbuh dan berkembangnya pesantren-pesantren ini tidak lepas dari ikatan ideologis kultural dan edukasional.
Besarnya peran yang dimainkan oleh pesantren tersebut bukan suatu kebetulan, tetapi ada nilai-nilai yang mendasarinya. Owens (1995:81) menyodorkan dimensi soft yang berpengaruh terhadap kinerja individu dan organisasi, yaitu nilai-nilai (values), keyakinan (biliefs), budaya (culture), dan norma perilaku. Nilai-nilai adalah pembentuk budaya, dan merupakan dasar atau landasan bagi perubahan dalam hidup pribadi atau kelompok.
Dalam hubungannya dengan pesantren, pemahaman santri terhadap ajaran agamanya, menuntut mereka untuk berperilaku sesuai dengan esensi ajaran agamanya, dalam kajian budaya (organisasi), wujud kebudayaan tingkat pertama, yaitu kebudayaan ideal, termasuk dalam hal ini ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Sedang lapisan yang paling tinggi tingkatannya disebut dengan sistem nilai budaya yang biasanya berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Sistem nilai budaya sebagai wujud kebudayaan ideal yang paling abstrak berada dalam pikiran warga masyarakat (pesantren) di mana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Dalam dimensi ini, sistem nilai budaya yang berkembang dalam alam pikiran umat beragama itulah yang menuntun perilaku mereka, termasuk dalam pengelolaan pesantren dan interaksinya dengan komunitas internal dan eksternal pesantren.
Berangkat dari latar belakang masalah tersebut banyak hal-hal menarik dan perlu dikaji dari dunia pesantren terutama yang menyangkut sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren yang mendasari pola fikir dan akitivitas dalam merespon perkembangan budaya di pesantren dan di luar pesantren. Secara lebih spesifik, pola fikir dan aktivitas yang terpancar dari sistem nilai tersebut antara lain tercermin dalam: (1) Pola pembelajaran di pesantren, (2) Semangat pengabdian di pesantren, (3) Pola hubungan santri dengan kyai, santri dengan keluarga kyai, santri dengan santri dan santri dengan masyarakat, dan (4) Pola pemikiran dunia pesantren dalam merespon perubahan sosial, ekonomi, dan politik.

B. Fokus Penelitian
Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka fokus yang diteliti dalam penelitian ini adalah : Sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren yang meliputi Pesantren Raudlatuttolibin, dan Pesantren Luhur Kota Semarang.
Fokus tersebut kemudian dirinci menjadi tiga sub fokus, yaitu:
Karakteristik budaya organisasi pada dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang
Ragam nilai dalam budaya organisasi pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang
Sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang.

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian, secara umum tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah menemukan sekaligus mendeskripsikan sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren, yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang
Tujuan tersebut kemudian dijabarkan ke dalam tujuan khusus, yakni sebagai berikut:
1. Ingin mengetahui karakteristik budaya organisasi di dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang.
2. Ingin mengetahui ragam nilai dalam budya organisasi di dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang
3. Ingin mengetahui sistem nilai dalam budaya organisasi di dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang
4. Ingin mengetahui perbedaan sistem nilai dalam budaya organisasi di Pesantren Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang.

D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis :
a. Memberi gambaran tentang sistem nilai pada pesantren dan yang dikembangkan sehingga dapat menjadi acuan para penyelenggara dan pengelola pesantren khususnya dan pendidikan pada umumnya.
b. Memberi masukan kepada Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional, Yayasan Pendidikan, dan Organisasi Keagamaan yang menyelenggarakan pendidikan dalam memajukan lembaga pendidikan berdasarkan sistem nilai.
2. Manfaat Teoritis :
a. Secara konseptual dapat memperkaya teori manajemen pendidikan (pesantren) terutama yang berkaitan dengan sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yang dibangun dari dua kasus dalam penelitian ini.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi peneliti berikutnya / peneliti lain yang ingin mengkaji lebih mendalam dengan topik dan fokus serta setting yang lain untuk memperoleh perbandingan sehingga memperkaya temuan-temuan penelitian.

E. Kerangka Konseptual
a. Budaya Organisasi
Istilah “budaya” mula-mula berkembang dalam disiplin antropologi sosial. Budaya sebagaimana software yang berada dalam otak manusia, yang menuntun persepsi, mengidentifikasikan apa yang dilihat, mengarahkan fokus pada suatu hal, serta menghindar dari orang lain.
Budaya diartikan sebagai “totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan suatu masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama” (Kotter&Heskett, 1992:4). Selain itu kebudayaan juga diartikan sebagai norma-norma perilaku yang disepakati olek sekelompk orang uuntuk bertahan hidup dan berada bersama (Farid, E.&Philip, RH. 1997). Secara sederhana, kebudayaan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan yang digunakan oleh manusia sebagai pedoman untuk memahami lingkungannya dan sebagai pedoman untuk mewujudkan tindakan dalam menghadapi lingkungannya.
Koentjaraningrat (1989) menyebutkan unsur-unsur universal dari kebudayaan adalah meliputi: (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi kemasyarakat, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian, (7) sistem teknologi dan peralatan. Selanjutnya dijelaskan bahwa budaya mempunyai tiga wujud, yaitu kebudayaan sebagai: (1) suatu komplek ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (2) suatu kompleks aktivitas kelakuan dari manusia dalam masyarakat; dan (3) sebagai benda-benda karya manusia.
Tiga macam wujud budaya di atas, dalam konteks organisasi disebut dengan budaya organisasi (organizational culture). Dalam kontek perusahaan, diistilahkan dengan budaya perusahaan (corporate culture), dalam lembaga pendidikan/sekolah disebut dengan budaya sekolah (school culture) dan dalam pesantren dapat dikatakan sebagai budaya pesantren (pesantren culture).
Budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu.
Riset terbaru mengemukakan tujuh karakteristik primer berikut yang bersama-sama, menangkap hakekat dari budaya suatu organisasi (J.A. Chatman dan K.A. John, 1994):
1. Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauhmana para karyawan didorong untuk inovasi dan mengambil resiko.
2. Perhatian ke rincian. Sejauhmana para karyawan diharapkan memperhatikan presisi (kecermatan), analisis, dan perhatian kepada rincian.
3. Orientasi hasil. Sejauhmana manajemen memfokus pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil.
4. Orientasi orang. Sejauhmana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu.
5. Orientasi tim. Sejauhmana kegiatan kerja diorganisasikan sekita tim-tim, bukannya individu-individu.
6. Keagresifan. Sejauhmana orang-orang itu agresif dan kometitif dan bukannya santai-santai.
7. Kemantapan. Sejauhmana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.
Masing-masing ciri ini dalam sebuah kontinum dari rendah sampai tinggi. Oleh karena itu dengan menilai organisasi tersebut dari ketujuh dimensi ini orang akan mendapatkan gambaran mejemuk tentang budaya organisasi tersebut.
Pengaruh budaya terhadap kinerja organisasi dapat dilihat dari dimensi manajemen, anggota secara kelompok, dan anggota secara individual. Budaya organisasi merupakan determinan bagi perilaku manajemen, disamping struktur, kepemimpinan, dan lingkungan eksternal.
Dari sudut anggota secara kelompok, budaya organisasi akan memberikan arah (direction) dalam menemukan cara-cara untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini budaya organisasi dapat memberikan pengaruh positif atau negatif, tergantung kecocokan (compatible) atau tidaknya budaya tersebut dengan perkembangan lingkungan internal maupun eksternal. Selain itu, budaya organisasi yang tersebar merata pada semua anggota organisasi, akan memberikan citra mengenai lembaga tersebut di mata customer.
Secara individual, budaya organisasi yang meresap dengan kita pada masing-masing anggota, akan menumbuhkan komitmen, sebagaimana dicontohkan suatu sekte keagamaan dapat mempengaruhi pengikutnya untuk melakukan bunuh diri secara sukarela. Komitmen di sini diartikan sebagai suatu kondisi di mana anggota organisasi memberikan kemampuan dan loyalitas tertingginya kepada organisasi, yang dengan itu mereka mendapatkan kepuasan (Hodge & Anthony, 1988).

b. Sistem Nilai Dalam Budaya Organisasi
Menurut Rokeach dan Bank (Chabib Thoha, 1996) nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dimana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Ini berarti berhubungan dengan pemaknaan atau pemberian arti suatu obyek.
Nilai juga dapat diartikan sebagai sebuah pikiran (idea) atau konsep mengenai apa yang dianggap penting bagi seseorang dalam kehidupannya. Selain itu, kebenaran sebuah nilai juga tidak menuntut adanya pembuktian empirik, namun lebih terkait dengan penghayatan dan apa yang dikehendaki atau tidak dikehendaki, disenangi atau tidak disenangi oleh seseorang. Allport, sebagaimana dikutip oleh Kadarusmadi (1996:55) menyatakan bahwa nilai merupakan kepercayaan yang dijadikan preferensi manusia dalam tindakannya. Manusia menyeleksi atau memilih aktivitas berdasarkan nilai yang dipercayainya.
Oleh karena itu, nilai terdapat dalam setiap pilihan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang baik berkaitan dengan hasil (tujuan) maupun cara untuk mencapainya. Dalam hal ini terkandung pemikiran dan keputusan seseorang mengenai apa yang dianggap benar, baik atau diperbolehkan.
Nilai-nilai penting untuk mempelajari perilaku organisasi karena nilai meletakkan fondasi untuk memahami sikap dan motivasi serta mempengaruhi persepsi kita. Individu-individu memasuki suatu organisasi dengan gagasan yang dikonsepsikan sebelumnya mengenai apa yang seharusnya dan tidak seharusnya.
DR. Rohmad Mulyono (2004:25) mengklasifikasi nilai ke dalam empat macam: (1) nilai instrumental dan nilai terminal; (2) nilai instrinksik dan nilai ekstrinsik; (3) nilai personal dan nilai sosial; dan (4) nilai subyektif dan nilai obyektif.
Selanjtunya Spranger (Allport, 1964) menjelaskan adanya enam orientasi nilai yang sering dijadikan rujukan oleh manusia dalam kehidupannya. Dalam pemunculannya, enam nilai tersebut cenderung menampilkan sosok yang khas terhadap pribadi seseorang. Karena itu, Spanger merancang teori nilai itu dalam istilah tipe manusia (the types of man), yang berarti setiap orang memiliki orientasi yang lebih kuat pada salah satu di antara enam nilai yang terdapat dalam teorinya. Enam nilai yang dimaksud adalah nilai teoretik, nilai ekonomis, nilai estetik, nilai sosial, nilai politik, dan nilai agama.
Perilaku manusia sehari-hari pada dasarnya ditentukan, didorong atau diarahkan oleh nilai-nilai budayanya. Nilai yang dominan akan memunculkan perilaku yang dominan dalam kehidupan manusia yang membuat manusia berbudaya. Menurut Koentjaraningrat, (1994), dalam kontek yang lebih mendasar, perilaku individu maupun masyarakat pada hakekatnya dipengaruhi oleh sistem nilai yang diyakininya. Sistem nilai tersebut merupakan jawaban yang dianggap benar mengenai berbagai masalah dalam dalam hidup.
Dalam dunia pesantren, nilai-nilai yang dikembangkan dirujukkan kepada sumber-sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an, Hadits dan Ijtihad. Pemahaman terhadap sumber-sumber ajaran Islam tersebut kemudian melahirkan disiplin ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf. Aspek fiqih mazhab, tauhid dan tasawuf sangat mengakar dalam kultur pesantren yang selanjutnya dilihat sebagai suatu bangunan sistem nilai yang dikenal dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Yasmadi, 2002:92). Konsep-konsep tentang tawazun (keseimbangan dan harmoni masyarakat), dan juga al-adalah (berkeadilan), tawasuth (moderat), dan tasammuh (menjaga perbedaan dan pluralisme dengan penuh toleransi) merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai sebuah sistem nilai yang dianut oleh sebagian besar pesantren banyak mempengaruhi terhadap pola pikir dan perilaku yang dipraktekkan di pesantren, baik dalam interaksi internal maupun eksternal pesantren.

c. Budaya Pesantren
Asal usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad. Maulana Malik Ibrahim (meninggal 1419 di Gresik, Jawa Timur), "Spiritual father" Walisongo, dalam masyarakat santri Jawa biasanya dipandang sebagai gurunya-guru tradisi pesantren di tanah Jawa. Oral history yang berkembang memberi indikasi bahwa pondok-pondok tua dan besar di luar Jawa juga memperoleh inspirasi dari ajaran Walisongo. Figur Maulana Malik Ibrahim memang sangat populer di luar Jawa pula. Misalnya pesantren Nahdlatul Wathan yang didirikan tahun 1934 di Pancor Lombok Timur NTB dan dewasa ini santrinya tidak kurang dari sepuluh ribu dengan cabangnya di Jakarta, ternyata juga memperoleh inspirasi dari ajaran da`wah Islamiyyah Maulana Malik Ibrahim. Tokoh ini akrab bukan hanya bagi para pemimpin pendiri Nahdlatul Wathan, tapi juga bagi para santri dan alumninya saat ini.
Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa abad 15-16 yang telah berhasil mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. Mereka secara berturut-turut adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunungjati. Wali dalam bahasa Inggeris pada umumnya diartikan “saint,” sementara songo dalam bahasa Jawa berarti sembilan. Diduga Wali yang dimaksud lebih dari sembilan, tapi agaknya bagi masyarakat Jawa angka sembilan memiliki makna tersendiri yang cukup istimewa. Para santri Jawa berpandangan bahwa Walisongo adalah pemimpin umat yang sangat saleh dan dengan pencerahan spiritual relijius mereka, bumi jawa yang tadinya tidak mengenal agama monotheis menjadi bersinar terang. Lebih dari itu, sebagaimana yang dideskripsikan Prof. A.H. John (Australia National University), mereka memiliki keampuhan spiritual healing atau penyembuhan berbagai macam penyakit rakyat dengan dukungan ekonomi mereka yang cukup kuat sebagai merchant. Posisi mereka dalam kehidupan sosio-kultural dan relijius di Jawa demikian memikat hingga bisa dikatakan bahwa Islam tidak akan pernah menjadi “the religion of Java” jika sufisme yang dikembangkan oleh Walisongo tidak mengakar dalam masyarakat. Rujukan ciri-ciri ini akan memungkinkan kita untuk memahami mengapa ajaran Islam yang diperkenalkan Walisongo di tanah Jawa hadir dengan penuh kedamaian, terkesan lamban tapi meyakinkan. Fakta menunjukkan bahwa dengan cara mentolerir tradisi lokal serta memodifikasinya ke dalam ajaran Islam dan tetap bersandar pada prinsip-prinsip Islam, agama baru ini dipeluk oleh bagsawan-bangsawan serta mayoritas masyarakat Jawa di pesisir utara.
Pendekatan Professor A.H. John perlu dikemukakan di sini untuk mengimbangi hasil penelitian Clifford Geertz yang ensiklopedis tapi masih belum mampu menjawab pertanyaan mengapa kemenangan Islam di Jawa demikian konklusif dan meyakinkan sebagaimana yang kita lihat dewasa ini. Penelitian antropologis Geertz sangat mengasosiakan Islam di Jawa dengan warisan-warisan Hindu-Buda. Bahwa Islam di Jawa sinkretis dan superficial sebagimana asumsi Geertz, jelas tidak didasarkan pada pengamatan proses Islamisasi dan transformasi sosial yang panjang serta memisahkan Islam Jawa dari peta dunia Islam secara keseluruhan. Hal ini tentu tidak sah menurut pendekatan sejarah dan dalam waktu yang sama telah mengecilkan peran besar Walisongo yang telah disepakati oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim dan non-Muslim.
Menarik untuk diamati mengapa change dalam bentuk konversi Hindhu-Budha ke Islam justru terjadi pertama di antara masyarakat nelayan bukan kerajaan di pedalaman. Dalam Islam, egalitarianisme, kesamaan hak individu, yang merupakan salah satu ajaran utama Islam agaknya sejalan dengan pandangan masyarakat pesisir yang lebih egalitarian. Keterbukaan dan mobilitas adalah ciri lain masyarakat pesisir yang lebih kondusif terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar maupun dalam. Letak geografis "coastal area" sebagai tempat persinggahan dan pusat kontak masyarakat dunia serta ciri dasar masyarakat pesisir agaknya juga telah membantu mempermudah masuknya Islam di Jawa.
Dari uraian sejarah pesantren di atas, sesungguhnya bisa ditarik benang merah tentang hakikat dan watak dasar pesantren baik sebagai lembaga pendidikan maupun sebagai sosio-kultural politik. Tanpa bertujuan mereduksi peran-peran pesantren dalam segala dimensinya, di bawah ini adalah refleksi pesantren sebagai sebuah budaya yang unik. Karakteristik utama budaya pesantren di antaranya adalah:
a. Modeling
Modeling dalam ajaran Islam bisa diidentikkan dengan uswatun hasanah atau sunnah hasanah yakni contoh yang ideal yang selayaknya atau seharusnya diikuti dalam komunitas ini. Tidak menyimpang dari ajaran dasar Islam, modeling dalam dunia pesantren agaknya lebih diartikan sebagai tasyabbuh:
Jika dalam dunia Islam, Rasulullah adalah pemimpin dan panutan sentral yang tidak perlu diragukan lagi, dalam masyarakat santri Jawa kepemimpinan Rasulullah diterjemahkan dan diteruskan oleh para Walisongo yang dikemudian hari sampai kini menjadikan mereka sebagai kiblat kedua setelah Nabi. Telah dimaklumi bersama bahwa Masjid Demak yang diresmikan oleh Sunan Kalijaga pada tanggal l Dzul Qa`dah 1428, pada umumnya disepakati sebagai masjid pertama di tanah Jawa dan dibangun sebelum Kerajaan Demak berdiri. Upaya mendahulukan pendirian Masjid sebelum negara Demak pada hakikatnya sama dengan upaya Nabi mendirikan Masjid Quba di Madinah sebelum kota suci ini dijadikan negara bagi seluruh penduduknya yang plural. Bagi umat Islam, Masjid adalah lambang dan perwujudan akhirat yang statusnya tentu lebih mulia dari gemerlapan duniawi dalam berbagai macam daya pikatnya. Dengan analogi ini, bisa difahami bila sebagian besar `ulama Jawa menjustifikasi apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dengan pendirian masjidnya sebagai bagian dari pelaksanaan Sunnah Nabi: yakni sebuah modeling par excellence.
Yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa modeling mengikuti seorang tokoh pemimpin merupakan bagian penting dalam filsafat Jawa. Walisongo yang menjadi kiblat kaum santri tentu berkiblat pada guru besar dan pemimpin Muslimin, Nabi Muhammad saw. Kekuatan modeling didukung dan sejalan dengan value sistem Jawa yang mementingkan paternalism dan patron-client relation yang sudah mengakar dalam budaya masyarakat Jawa
Para Walisongo selalu loyal pada missinya sebagai penerus Nabi yang terlibat secara fisik dalam rekayasa sosial. Misi utama mereka adalah menerangkan, memperjelas, dan memecahkan persoalan-persoalan masyarakat, dan memberi model ideal bagi kehidupan sosial agama masyarakat. Model Walisongo yang diikuti para `ulama dikemudian hari telah menunjukkan integrasi antara pemimpin agama dan masyarakat yang membawa mereka pada kepemimpinan protektif dan efektif. Approach dan wisdom Walisongo kini terlembagakan dalam esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejarahannya. Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan filosofis dan keagamaan antara taqlid dan modeling bagi masyarakat santri. Melalui konsep terakhir inilah keagungan Muhammad saw serta kharisma Walisongo, yang dipersonifikasikan oleh para auliya dan kiyai, telah terjunjung tinggi dari masa ke masa. Bahwa pendidikan Islam Walisongo ditujukan pada massa ini bisa dilihat pada rekayasa mereka terhadap pendirian pesantren. Pendidikan yang merakyat ini tidak diragukan lagi adalah induk pendidikan Islam di Indonesia atau the mother of Muslim educational institution. Pendekatan pendidikan Walisongo dewasa ini telah tersosialisasi secara luas dalam komunitas ini seperti kesalehan sebagai cara hidup kaum santri, serta pemahaman dan pengarifan terhadap budaya lokal.
Meskipun demikian pendidikan Islam Walisongo juga ditujukan pada penguasa. Keberhasilan Walisongo terhadap pendekatan yang terakhir ini biasanya terungkap dalam istilah populer “Sabdo Pandito Ratu” yang berarti menyatunya pemimpin agama dan pemimpin negera. Dengan kata lain dikotomi atau gap antara ulama dan raja tidak mendapatkan tempat dalam ajaran dasar Walisongo. Hal ini sesuai dengan watak dasar agama tauhid ini yang tidak memberi ruang pada sekularisme. Ajaran ini adalah warisan Sunan Kalijaga, sebagai grand designer yang telah mewariskan sistem Kabupaten di Jawa tipikal dengan komponen-komponen kabupaten, alun-alun, dan masjid agung. Ajaran ini dikemudian hari dipopulerkan oleh Sultan Agung. Menarik untuk dijadikan renungan sejarah bahwa barangkali masjid-masjid "agung" di Jawa saat ini, adalah bentuk modeling yang tidak disadari atas historisitas peninggalan Sultan Agung. Hubungannya bukan sekedar terdapat pada nama "agung" yang telah menyejarah dan melegenda, melainkan juga pada substansi dan format al-madinah al-fadilah ini.
Seperti yang telah disinggung di atas, pendidikan Walisongo mudah ditangkap dan dilaksanakan. Hal ini selaras dengan ajaran Nabi wa khatibinnas `ala qodri `uqulihim. Pola pendidikan ini terlihat dalam rumusan naskah Islam Jawa klasik “arep atatakena elmu, sakadare den lampahaken”(Carilah ilmu yang bisa engkau praktekan, terapkan). Pendekatan ini pula yang mengantarkan pendidikan Islam melalui media wayang yang begitu merakyat. Ajaran rukun Islam dengan demikian bisa ditemukan dalam cerita perwayangan, seperti syahadatain sering dipersonifikasikan dalam tokoh Puntadewa, tokoh tertua di antara Pandawa dalam kisah Mahabarata. Puntadewa (syahadatain) digambarkan sebagai raja adil yang tulus ikhlas bekerja untuk kesejahteraan rakyat, yakni pemimpin yang konsisten kata dan perbuatannya. Tingkah laku yang tidak munafik ini adalah refleksi tindakan dan ucapan kaum beriman atau “lips of faith.” Ajaran Islam yang diperagakan melalui media wayang merupakan model yang mudah dicontoh. Modeling dalam dunia pesantren memang tidak terbatas pada satu dimensi kehidupan. Hal ini sekaligus memberi indikasi bahwa masyarakat ini senantiasa membutuhkan model kepemimpinan yang ideal dalam segala bentuk dan zaman.
b. Cultural resistance
Mempertahankan budaya dan tetap bersandar pada ajaran dasar Islam adalah budaya pesantren yang sudah berkembang berabad-abad. Sikap ini tidak lain merupakan konsekuensi logis dari modeling. Disayangkan bahwa hampir belum ada ilmuwan yang memusatkan perhatian pada tiga aspek ini secara proporsional. Konsepsi ini bahkan sering disalahfahami oleh sarjana-sarjana Barat seperti penghampiran mereka yang lebih memusatkan perhatian pada sinkretisme Islam atau juga studi yang lebih menekankan wajah Hindhu-Budha sebagai induk budaya Jawa sementara Islam dipandang sebagai anak budaya. Dengan kata lain meskipun Islamisasi telah terjadi di sini sejak abad 14, Islam masih dipandang sebagai baju atau kulit luar budaya Jawa. Kesalahan ini sering disebabkan oleh ketidak mampuan mereka dalam memahami teks-teks standar Sunni Islam, misalnya konsep tentang inovasi al muh}a>faz}at ala> qadi>m al s}a>leh wa al akhz}u bi al jadi>d al as}lah (menjaga suatu tradisi yang baik dan mengambil tradisi yang lebih baik). Hal ini bisa dimaklumi karena sebagian besar mereka yang mempelajari Islam Jawa hanya dilengkapi dengan ilmu-ilmu sosial khususnya antropologi. Dengan kata lain mereka tidak memiliki disiplin ilmu Islamic Studies. Mereka yang banyak belajar kajian ke-Islaman seperti Prof. A.H. John dan Markwood Ward akan menghasilkan kesimpulan lebih simpatik terhadap dinamika budaya Islam Jawa.
Walisongo dan para kiyai Jawa adalah agent of social change melalui pendekatan kultural, bukan politik struktural apalagi kekerasan. Istilah Islam kultural yang selama ini ditujukan pada pendekatan Abbdurrahman Wahid dan Nur Cholis Majid, sesungguhnya secara substansial tidak berbeda dengan pendekatan Walisongo dan `ulama-`ulama terdahulu. Apa yang terjadi bukanlah intervensi melainkan akulturasi dan peaceful coexistence.
Ide cultural resistence juga mewarnai kehidupan intelektual dunia pesantren. Subjek yang diajarkan di lembaga ini melalui hidayah dan berkah seorang kiyai sebagai guru utama atau irsya>du usta>zin. Adalah kitab klasik atau kitab kuning, diolah dan ditransmisikan dari satu generasi ke genarasi berikut, yang sekaligus menunjukkan keampuhan kepemimpinan kiyai. Isi pengajaran kitab kuning menawarkan kesinambungan tradisi yang benar, al-qadim al-salih, yang mempertahankan ilmu-ilmu agama dari sejak periode klasik dan pertengahan. Memenuhi fungsi edukatif, materi yang diajarkan di pesantren bukan hanya memberi akses pada santri rujukan kehidupan keemasan warisan peradaban Islam masa lalu, tapi juga menunjukkan peran masa depan secara konkrit, yakni to live a Javanese Muslim life: cara hidup yang mendambakan damai, harmoni dengan masyarakat, lingkungan, dan Tuhan.
Karena konsepsi cultural resistance pula, dunia pesantren selalu tegar menghadapi hegemoni dari luar. Sejarah menunjukkan bahwa saat penjajah semakin menindas, saat itu pula perlawanan kaum santri semakin keras. Penolakan Sultan Agung dan Diponegoro terhadap kecongkakan Belanda, ketegaran kiyai-kiyai di masa penjajahan, serta kehati-hatian para pemimpin Islam berlatarbelakang pesantren dalam menyikapi kebijaksanaan penguasa yang dirasakan tidak bijaksana atau sistem yang established sehingga menempatkan mereka sebagai kelompok "oposan" adalah bentuk-bentuk cultural resistance dari dulu hingga sekarang. Dalam konteks ini bisa difahami jika pesantren-pesantren tua dan besar selalu dihubungkan dengan kekayaan mereka yang berupa kesinambungan ideologis dan historis, serta mepertahankan budaya lokal: a historical and ideological continuum with its cultural resistance. Denominasi keagamaan dunia pesantren yang Syafi`i-Asy`ari-Ghazalian-Oriented terbukti sangat mendukung terhadap pengembangan dan pelaksaan konsep cultural resistance ini. Menarik diamati bahwa kaum santri tidak pernah menyebut Syafi`i dan Ghazali terlepas dari kata “Imam” di depan tiga nama itu. Bukankah ini tradisi unik dunia pesantren yang tidak dijumpai di negara-negara Islam lain. Modeling terhadap tiga tokoh ini dan cultural resistence dalam bentuk kesinambungan kesejarahan adalah tiga konsep yang telah menyatu dalam illustrasi terakhir ini.

c. Budaya keilmuan yang tinggi
Dunia pesantren senantiasa identik dengan dunia ilmu. Definisi pesantren itu sendiri selalu mengacu pada proses pembelajaran dengan komponen-komponen pendidikan yang mencakup pendidik, santri, murid, serta fasilitas tempat belajar mengajar.
Rujukan ideal keilmuan dunia pesantren cukup komprehensif yang meliputi inti ajaran dasar Islam itu sendiri yang bersumber dari al-Qur'an Hadis, tokoh-tokoh ideal zaman klasik seperti Imam Bukhari, serta tradisi lisan yang berkembang senantiasa mengagungkan tokoh-tokoh `ulama Jawa yang agung seprti Nawawi al-Bantani, Mahfudz al-Tirmisi dan lain-lain. Ayat al-Qur'an pertama kali yang diwahyukan adalah surat iqra' yang menyerukan signifikasi baca dan belajar bagi kaum beriman. Menjadi Muslim berarti menjadi santri, menjadi santri berarti tidak boleh lepas dari kegiatan belajar 24 jam di lembaga pendidikan pesantren. Status santri, bagi komunitas ini, dengan demikian selalu lebih mulia dibanding dengan status non-santri. Rujukannya jelas ayat al-Qur'an yang menjanjikan status mulia dan khusus bagi kaum beriman dan berilmu. Pendidikan sehari semalam penuh dalam dunia pesantren dengan batas waktu yang relatif, serta hubungan guru-murid yang tidak pernah putus adalah implementasi dari ajaran Nabi yang menekankan keharusan mencari ilmu dari bayi sampai mati, minal mahdi ilallahdi. Singkatnya ajaran dasar Islam adalah landasan ideogis kaum santri untuk menekuni agamanya sebagai ilmu dan petunjuk yang bermanfaat di dunia dan akhirat.
Jika dalam zaman keemasan Islam tradisi al-rih}lah fi> ta>lab al-`ilm demikian luar biasa sebagaimana yang tercermin dalam perjalanan intelektual Imam Bukhari, sejarah telah membuktikan bahwa tradisi yang yang sama juga berkembang sepanjang masa dalam masyarakat santri hingga dikenal istilah wandering santris atau santri-santri kelana. Tradisi rihlah ini pula yang telah mengantarkan tiga tokoh utama pesantren: al-Bantani dan al-Tirmisi, mengembara sepanjang hidupnya dan menjadi guru besar di Mekkah dan Madinah. Fenomena dua master intelektual dunia pesantren ini membuktikan bahwa ilmu agama tidak hanya milik dunia Timur Tengah, dan bahwa ilmuwan berlatarbelakang sosio-kultural pesantren mampu menandingi `ulama-`ulama manca negara baik dalam kegiatan tulis menulis berbahasa Arab maupun dalam kegiatan akademik pengajaran di pusat dunia Islam.
Dewasa ini makna penting keilmuan dunia pesantren agaknya tidak bergeser. Seorang tokoh modernis, Dawam Rahardjo, misalnya, menaruh kepercayaan besar terhadap alumni-alumni pesantren yang memperoleh pendidikan di dunia Barat dan bekerja di berbagai sektor dan kantor swasta dan negara di Indonesia.
Dengan merujuk pada dinamika keilmuan pesantren dalam sejarah, agaknya istilah "konservatif" yang dialamatkan pada komunitas atau tradisi pesantren selama ini perlu ditinjau kembali. "Konservatif" pada umumnya identik dengan statis, jumud, serta implikasi-implikasi fatalis lainnya. Lebih dari itu "konservatif" adalah kata impor dari kamus Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian tradisionalitas pesantren selayaknya ditujukan pada satu tradisi luhur dalam berbagai hal, termasuk tradisi intelektual pesantren yang belum pernah terhenti sampai sekarang

F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Rancangan Penelitian
Pendekatan merupakan kerangka berfikir/kerangka kerja, term of work, term of thinking yang mendasari dari penelitian ini. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran mendalam tentang sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan dari latar yang alami (natural setting) sebagai sumber data langsung. Pemaknaan terhadap data dihasilkan dari kedalaman atas fakta yang diperoleh.
Penelitian ini diharapkan dapat menemukan sekaligus mendeskripsikan data secara menyuluh dan utuh mengenai sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren. Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat membangun teori secara induktif dari abstraksi-abstraksi data yang dikumpulkan tentang sistem nilai budaya organisasi pesantren berdasarkan temuan makna dalam latar yang alami.
Pesantren yang menjadi obyek penelitian ini adalah Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang.. Kedua pesantren tersebut memiliki kekhasan masing-masing dalam mengekspresikan sistem nilai dalam pendidikannya.
Penelitian ini menggunakan rancangan studi kasus. Sebagaimana ditegaskan oleh Bodgan dan Biklen (1998:62) bahwa:
When research study two or more subjects, setting or depositories of data they are usually doing what we call multi-case studies. Multi-case studies take a variety of forms. Some start as a single case only to have the original work serve as the first in series of studies or as the pilot for a multi-case study. Other studies are primarily single-case studies but include less intense, less extensive observations at other sites for the purpose of addressing the question of generalizability. Other researchers do comparative case studies. Two or more case studies are done and then compared and contrasted.

Karakteristik utama studi kasus adalah apabila peneliti meneliti dua atau lebih subjek, latar atau tempat penyimpanan data. Kasus yang diteliti adalah sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yang memiliki latar berbeda. Pesantren Raudlatuttolibin Semarang hampir sebagian besar santrinya adalah mahasiswa. Keberadaan santri sebagai mahasiswa ini menjadikan pola pembelajaran di pondok dan sistem penentuan kurikulum pondok lebih akomodatif. Sebagian besar program pembelajaran di pondok dirancang bersama antara kyai dan santri. Kemudian Pesantren Luhur Mangkang Semarang merupakan pesantren salafiyah. Ada dua bagian dalam pondok ini, yakni santri mahasiswa yang berada di ‘komplek’ dan santri yang hanya mondok. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus kajian adalah santri yang hanya mondok. Pola pembelajaran di sini mengikuti model salaf murni, dimana para santri hanya diberi materi pembelajaran kitab-kitab kuning tanpa sekolah. Mereka tinggal di pondok secara full time.
Rancangan studi kasus dilakukan sebagai upaya pertanggungjawaban ilmiah berkenaan dengan logis antara penelitian, pengumpulan data yang relevan, dan analisis data penelitian.
Memperhatikan keberadaan masing-masing pesantren tersebut di atas, kasus dan karakteristik keduanya berbeda-beda, terutama dari segi nilai-nilai yang dianut, maka penelitian ini cocok untuk menggunakan rancangan studi kasus. Penerapan rancangan studi multi kasus dimulai dari kasus tunggal (sebagai kasus pertama) terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan pada kasus kedua.
Sebagai penelitian studi kasus, maka langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) melakukan pengumpulan data pada kasus pertama, yaitu Pesantren Raudlattolibin Semarang. Penelitian ini dilakukan sampai pada tingkat kejenuhan data, dan selama itupula dilakukan kategorisasi dalam tema-tema untuk menemukan konsepsi tematik menganai sistem nilai dalam budaya orgnisasi di pesantren tersebut; (2) melakukan pengamatan pada kasus kedua, yaitu Pesantren Luhur Mangkang Semarang. Tujuannya adalah untuk memperoleh temuan konseptual mengenai sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren tersebut.
Berdasarkan temuan konseptual dari kedua pesantren tersebut, selanjutnya dilakukan analisis komparasi dan pengembangan konseptual untuk mendapatkan abstraksi tentang karakteristik budaya organisasi, ragam nilai, dan sistem nilai dari kedua pesantren tersebut. Dalam hal ini dilakukan analisis termodifikasi sebagai suatu cara mengembangkan teori dan mengujinya .
Dalam penelitian ini berusaha untuk memahami makna peristiwa serta interaksi orang dalam situasi tertentu. Untuk dapat memahami makna peristiwa dan interaksi orang, digunakan orientasi teoritik atau perspektif teoritik dengan pendekatan fenomenologis (phenomenological approarch).
Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengamati fenomena-fenomena dunia konseptual subjek yang diamati melalui tindakan dan pemikirannya guna memahami makna yang disusun oleh subjek sekitar kejadian sehari-hari. Peneliti berusaha memahami subjek dari sudut pandang subjek itu sendiri, dengan tidak mengabaikan penafsiran, dengan membuat skema konseptual. Menurut Weber, pendekatan fenomenologi disebut verstehen apabila mengemukakan hubungan antara gejala-gejala sosial yang dapat diuji, bukan pemahaman empirik semata. Dengan menggunakan metode Verstehen ini, peneliti dapat memahami secara emik konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai, ide-ide, gagasan-gagasan, dan norma-norma yang berlaku di tiga pesantren tersebut, sehingga tidak terjadi kekeliruan penafsiran atas makna objek yang diteliti.
Kecuali pendekatan fenomenologis, mengingat penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren, maka untuk memahami perbedaan budaya yang muncul pada masing-masing pesantren digunakan pula orientasi teoritik dengan pendekatan budaya untuk memahami hakekat sudut pandangnya, keterkaitan dengan kehidupan, dan untuk mengungkap visinya mengenai dunianya.

2. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, peneliti memakai tiga prosedur, yaitu wawancara mendalam, observasi partisipan dan studi dokumentasi.
a. Wawancara Mendalam
Wawancara digunakan untuk mengungkap makna secara mendasar dalam interaksi yang spesifik. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak terstuktur (unstandarized interview) yang dilakukan tanpa menyusun suatu daftar pertanyaan yang ketat. Selanjutnya wawancara yang tidak terstandar ini dikembangkan dalam tiga teknik, yaitu (1) wawancara tidak terstruktur (unstructured interview atau passive interview), (2) wawancara agak terstruktur (some what structured interview atau active interview), dan (3) wawancara sambil lalu (casual interview).
Wawancara ini dilakukan terhadap kyai, pengasuh pondok pesantren, pengurus dan sebagian santri. Isi pokok yang ingin digali dari wawancara antara lain; (1) pandangan tentang keunggulan pesantren yang menjadi objek penelitian; (2) pandangan dan keyakinan tentang nilai-nilai sebagai acuan dalam berkarya; (3) upaya-upaya yang dilakukan untuk memajukan pesantren berdasarkan nilai-nilai yang diyakini.
b. Observasi Partisipan
Observasi partisipan merupakan karakteristik interaksi sosial antara peneliti dengan subjek-subjek penelitian. Dengan kata lain, proses bagi peneliti memasuki latar dengan tujuan melakukan pengamatan tentang bagaimana peristiwa-peristiwa dalam latar saling berhubungan. Observasi partisipan dilakukan untuk melengkapi data hasil wawancara yang diberikan oleh informan yang mungkin belum menyeluruh atau belum mampu menggambarkan segala macam situasi atau bahkan melenceng. Ada tiga tahap observasi, yaitu observasi deskriptif (untuk mengetahui gambara umum), observasi terfokus (untuk menemukan kategori-kategori), dan observasi selektif (untum mencari perbedaan di antara kategori-kategori).
c. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk mengumpulkan data-data yang mendukung untuk memahami dan menganalisis sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren. Data tersebut meliputi; data santri, data ketenagaan, sarana-prasarana, organisasi, manajemen, pedoman peraturan, proses belajar-mengajar, sejarah pondok pesantren dan sebagainya.
3. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang telah dihimpun oleh peneliti. Kegiatan analisis dilakukan dengan menelaah data, menata, membagi menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, mensintesis, mencari pola, menemukan apa yang bermakna, dan apa yang diteliti dan dilaporkan secara sistematik.
Data tersebut terdiri dari deskripsi-deskripsi yang rinci mengenai situasi, peristiwa, orang, interaksi, dan perilaku. Dengan kata lain, data merupakan deskripsi dari pernyataan-pernyataan seseorang tentang perspektif, pengalaman, atau sesuatu hal, sikap, keyakinan, dan pikirannya serta petikan-petikan isi dokumen yang berkaitan dengan suatu program.
Mengingat penelitian ini menggunakan rancangan studi multi kasus, maka dalam menganalisis data dilakukan tiga tahap, yaitu (1) analisis data kasus individu dan (2) analisis data lintas kasus.
Menurut Miles dan Huberman (1992) analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data (menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tiodak perlu dan mengorganisir data), penyajian data (menemukan pola-pola hubungan yang bermakna serta memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan) dan penarikan kesimpulan/verifikasi (membuat pola makna tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi).
d. Pengecekan Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan data adalah bagian yang sangat penting dan tidak terpisahkan dari penelitian kualitatif. Pelaksanaan pengecekan keabsahan data didasarkan pada empat kreteria yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability) (Moleong, 1994).
Menurut Lincoln dan Guba (1985), bahwa untuk memperoleh data yang valid dapat ditempuh teknik pengecekan data melalui: (1) observasi yang dilakukan secara terus-menerus (persistent observation); (2) trianggulasi (triangulation) sumber data, metode dan peneliti lain; (3) pengecekan anggota (member check), diskusi teman sejawat (peer reviewing); dan (4) pengecekan mengenai kecukupan refernesi (referencial adequacy check)
Transferibilitas atau keteralihan dalam penelitian kualitatif dapat dicapai dengan cara “uraian rinci”. Untuk itu maka dalam penelitian ini peneliti berusaha melaporkan hasil penelitiannya secara rinci. Uraian laporan diusahakan dapat mengungkap secara khusus segala sesuatu yang diperlukan oleh pembaca, agar para pembaca dapat memahami temuan-temuan yang diperoleh. Penemuan itu sendiri bukan bagian dari uraian rinci melainkan penafsirannya yang diuraikan secara rinci dengan penuh tangngungjawab berdasarkan kejadian-kejadian nyata.
Dependedabilitas atau kebergantungan dilakukan untuk menanggulangi kesalahan-kesalahan dan konseptualisasi rencana penelitian, pengumpulan data, interpretasi temuan, dan pelaporan hasil penelitian. Untuk diperlukan dependent auditor atau para ahli di bidang pokok persoalan penelitian ini.
Konfirmabilitas atau kepastian diperlukan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh obyektif atau tidak. Hal ini tergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat, dan temuan seseorang. Jika telah disepakati oleh beberapa atau banyak orang dapat dikatakan obyektif, namun penekanannya tetap pada Tanya. Untuk menentukan kepastian data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengkonfirmasikan data dengan para informan atau para ahli.

F. Jadual Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan selama 6 (enam) bulan, dengan perincian waktu sebagai berikut :
1. 1 – 15 Juli 2006 Penyusunan Proposal
2. 16 – 31 Juli 2007 Studi kelayakan lapangan
3. 1 – 15 Agustus 2007 Pendalaman Pustaka
4. 15 Agustus 2007 Penelitian Lapangan
5. 1 – 15 September 2007 Penulisan Draft laporan
6. 15 – 31 Seeptember 2007 Perbaikan laporan
7. 1 – 15 Oktober 2007 Penggandaan laporan

G. Rancangan Biaya
Semua anggaran yang berkaitan dengan penelitian ini diambilkan dari PUSLIT IAIN Walisongo yang berjumlah Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah).
Dengan perincian sebagai berikut :
1. Pembelian buku-buku / foto copi Rp 2.750.000,00
2. Pembelian ATK Rp 2.000.000,00
3. Transportasi dan Akomodasi Rp 750.000,00
4. Komputerisasi & Penulisan Rp 1.000.000,00
6. Penjilidan/penggandaan laporan Rp 1.000.000,00

Jumlah Rp 7.500.000,00

(Tujuh Juta Lima Ratus Ribu Rupiah)

G. Daftar Pustaka (Sementara)

Brannen, Julia, 2002, Memadu Metode Penelitian – Kualitatif & Kuantitatif. Terjemahan H. Nuktah Arfawie Kurde, dkk. Samarinda dan Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari dan Pustaka Pelajar.
Bull, Ronald Alan Lukens. 2004. Jihad ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika. Yogyakarta: Gama Media.
Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung:CV. Pustaka Setia.
Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.
Dirdjosanjoto, Pradjarta. 1999. Memelihara Ummat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa. Yogyakarta: LKIS.
Faisal Sanapiah. 1990. Penelitian Kualitatif – Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang YA3 Malang.
Frances Hesselbein etc. 1996. The Leader of the Future. San Fransico: Jossey-Bass Publisher.
Fuad Riyadi, Muhammad. 2001. Kampung Santri, Yogyakarta: Ittaqa Press.
Ismail SM. Dkk. editor. 1999. Dinamika Pesantren dan Madrasah. Semarang-Yogyakarta. Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo kerjasama dengan Pustaka Pelajar.
John W. Best. 1981. Research in Education. Canada: Prentice-Hall of Canada, Ltd.
Marzuki Wahid dkk. Editor. 1999. Pesantren Masa Depan. Bandung. Pustaka Hidayah.
Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.
Masyhud, Sulthon, Muh. Khusnurridlo. 2003. Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka.
Mc.Millan, James H. and Sally Schumacher. 2001 Research in Education – A Conceptual Introduction. New York: Longman.
Moleong, Lexy J. 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya.
Mulyono, Rohmat.2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: CV Alfabeta.
Nurkhalik Ridwan. 2004. Santri Baru, Yogyakarta: Gerigi Pustaka.
Razik, Taher A. 1995. Fundamental Concepts of Educational Leadership and Management. Ohio: Englewed Cliffs, New Jersey.
Robbins, Stephen P. 2001. Organizational Behavior. U.S.A: Prentice Hall International, Inc.
Steenbrink, Karel A. 1985. Pesantren Madrasah Sekolah. Jakarta: LP3ES.
Sugiono. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sujuthi, Mahmud. 2001. Politik Tarekat, Yogyakarta: Galang Press.
Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren. Jakarta: Ciputat Press.
Zulkifli. 2002. Sufism in Java, The Role of the Pesantren in the Maintenance of Sufism in Java. Jakarta:INIS.