25 Januari 2008

Penelitian,


Proposal Penelitian Individual

SISTEM NILAI DALAM BUDAYA ORGANISASI PENDIDIKAN DI PESANTREN
(Studi Tentang Interaksi Edukatif Kyai, Santri dan Keluarga Pesantren)

















Oleh
Drs. H. Fatah Syukur, M.Ag.
NIP. 150267028
Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo











Diajukan Untuk Memperoleh Dana Bantuan Penelitian DIPA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
Semarang Tahun 2007

SISTEM NILAI DALAM BUDAYA
ORGANISASI PENDIDIKAN DI PESANTREN
(Studi Tentang Interaksi Edukatif Kyai, Santri dan Keluarga Pesantren)


Abstraksi
Dunia pesantren merupan fenomena yang sangat menarik untuk diteliti. Lembaga yang dikatakan ‘Tradisional’ ini memiliki nilai-nilai pendidikan yang tinggi yang tidak banyak disadari dan diperhatikan oleh dunia pendidikan formal pada umumnya. Keberhasilan pendidikan bukan hanya ditentukan oleh komunikasi formal antara pendidikan dan anak didik, akan tetapi komunikasi informal dan komunikasi non formal justru merupakan faktor penting penentu keberhasilan pendidikan.
Dalam pesantren bangunan komunikasi terjadi secara formal, non formal dan informal. Selama dua puluh empat jam komunikasi dan interaksi terbangun di antara warga pesantren, baik antara kyai-santri, santri-santri, santri-keluarga kyai dan santri-masyarakat pesantren. Dalam interaksi tersebut, nilai-nilai pendidikan yang dibentuk oleh pesantren mempunyai andil besar dalam menentukan keberhasilan belajar santri. Hubungan santri-kyai-keluarga kyai-sesama santri terbentuk secara sosialogis, ideologios dan informal. Berbeda dengan komuniasi ‘modern’, pola komunikasi dan interaksi lebih didasarkan kepada kepentingan dan formalitas. Kehampaan komunikasi ‘modern’ antara lain karena hanya didasarkan pada bentuk komunikasi formal, sedangkan komunikasi informal dan non formal yang lebih humanis kurang mendapatkan perhatian yang memadai.
Penelitian ini bermaksud mengkaji karakteristik nilai pendidikan pesantren, ragam nilai pendidikan pesantren dan sistem nilai pendidikan dalam budaya organisasi di pesantren. Dengan nilai-nilai tersebut diharapkan dapat diadopsi ke dalam dunia pendidikan pada umumnya.
Fokus yang diteliti dalam penelitian ini adalah : Sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren yang meliputi Pesantren Raudlatuttolibin, dan Pesantren Luhur Kota Semarang. Di dua pesantren tersebut sebagian besar para santri adalah mahasiswa. Sebagai santri, mereka mengikuti system budaya yang ada di pesantren pada umumnya, misalnya budaya paternalistic dan sami’na wa atho’na. Namun sebagai mahasiswa, mereka selalu berinteraksi dengan nilai-nilai demokratisasi dan liberalisasi pemikiran. Bagaimana karakteristik budaya organisasi pesantren, ragam nilai dalam budaya organisasi pesantren dan bagaimana sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang.
Secara praktis diharapkan bermanfaat memberi gambaran tentang sistem nilai pada pesantren sehingga dapat menjadi acuan para penyelenggara dan pengelola pesantren khususnya dan pendidikan pada umumnya. Memberi masukan kepada Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional, Yayasan Pendidikan, dan Organisasi Keagamaan yang menyelenggarakan pendidikan dalam memajukan lembaga pendidikan berdasarkan sistem nilai.
Secara Teoritis diharapkan bermanfaat memperkaya teori manajemen pendidikan (pesantren) terutama yang berkaitan dengan sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yang dibangun dari dua kasus dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini semoga dapat dijadikan acuan bagi peneliti berikutnya / peneliti lain yang ingin mengkaji lebih mendalam dengan topik dan fokus serta setting yang lain untuk memperoleh perbandingan sehingga memperkaya temuan-temuan penelitian
Penelitian ini menggunakan kerangka studi kasus. Dalam penelitian ini berusaha untuk memahami makna peristiwa serta interaksi orang dalam situasi tertentu. Untuk dapat memahami makna peristiwa dan interaksi orang, digunakan orientasi teoritik atau perspektif teoritik dengan pendekatan fenomenologis (phenomenological approarch). Adapun metode dalam pengumpulan data dipergunakan interviw mendalam, observasi partisipan dan studi dokumentasi. Data tersebut kemudian dianalisis dengan menelaah data. Pelaksanaan pengecekan keabsahan data didasarkan pada empat kreteria yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability). Data tersebut kemudian ditata, dibagi menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, disintesis, dicari pola, ditemukan apa yang bermakna, dan apa yang diteliti dan dilaporkan secara sistematik.


A. Latar Belakang
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (pasal 15). Kemudian dalam pasal 30 (ayat 4) dijelaskan bahwa pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, samanera, dan bentuk lain yang sejenis. Dengan adanya ketentuan ini, maka secara formal pesantren adalah bagian dari sistem pendidikan nasional yang berhak mendapatkan perhatian yang serius sebagaimana sub sistem pendidikan nasional yang lain.
Kendatipun secara resmi pesanten di Indonesia baru masuk dalam sistem pendidikan nasional tahun 2003, namun peranan pesantren dalam pendidikan dan pembentukan karakter bangsa Indonesia sudah dimulai sejak berdirinya pesantren itu sendiri.
Peranan lembaga-lembaga pendidikan pesantren di Indonesia cukup besar dalam membina masyarakat. Lebih signifikan lagi adalah kiprah dunia pesantren dalam mempertahankan bangsa dan negara dari tangan penjajah selama berabad-abad yang berpuncak pada fatwa resolusi jihad Oktober 1945. Namun perhatian yang diberikan kepadanya, baik oleh pemerintah, para ahli pendidikan, dan kalangan masyarakat belum memadahi. Penilaian masyarakat terhadap lembaga pesantren masih lekat sebagai tempat mempelajari agama melulu. Begitu juga pada level internasional, studi mengenai dunia pesantren masih sangat langka. Sampai saat ini, baru ada tiga disertasi berbahasa Inggris yang membahas topik dunia pesantren. Pertama "The Pesantren Tradition" (Tradisi Pesantren) yang ditulis pada tahun 1980 oleh Dr. Zamakhsyari Dhofier dari the Department of Anthropology and Sociology, Australian National University, Camberra. Disertasi ketiga muncul tujuh belas tahun kemudian, Maret 1997 dengan judul "The Pesantren Architects and Their Sosio-Religious Teachings" (Para Pelopor Dunia Pesantren dan Ajaran-ajaran Sosial Keagamaan Mereka) oleh Abdurrahman Mas'ud dari University of California Los Angeles, USA. Kebetulan kedua disertasi tersebut ditulis oleh sarjana dari lingkungan pesantren sendiri. Dan desertasi ketiga adalah ditulis sarjana Amerika Serikat, Ronald Alan Lukens-Bull, dari North Florida University, AS, dengan judul Peaceful Jihad, di bawah bimbingan antropolog ahli Islam Jawa, Prof. Mark Woodward.
Komunitas pesantren juga telah memainkan peran penting dalam. perkembangan ilmu di tanah air dari dulu hingga kini. Saffina Belanda di abad sembilan belas, Berg, melaporkan bahwa aspek moral akhlaq, serta tasawuf adalah bagian terpenting yang diajarkan dalam institusi ini. (Lihat LM.C. Van den Berg, "Het Godsdientonderwijs op Java an Madoera en de Daarbij Gebmikte Arabische Boeken," in Tijdshrift voor Indische Twd, Land en Volkenkimde 31, 1886, p. 519-555). Selain itu pada umumnya pesantren-pesantren yang berpengaruh menawarkan ajaran dan praktek tariqat bagi murid-murid yang tidak menetap di pondok. Kegiatan yang terakhir ini biasanya ditangani oleh seorang guru sufi yang masyhur dan diikuti ratusan atau ribuan santri yang cukup usia.
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam telah membuktikan keberadaannya dan keberhasilannya dalam peningkatan sumber daya manusia atau human resources development. Dalam abad terakhir ini telah terbukti bahwa dari pesantren telah lahir banyak pemimpin bangsa dan pemimpin masyarakat. Pesantren juga telah memberikan nuansa dan mewarnai corak dan pola kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain, pesantren juga merupakan benteng pertahanan yang kokoh dalam menghadapi dahsyatnya gelombang budaya dan peradaban yang tidak sesuai dengan nilal-nilai Ilahiyyah. Sejarah telah mencatat prestasi pesantren sebagai pembentuk kultur unik Islami yang terkenal dengan sebutan "kultur santri Jawa".
Keunikan pesantren terletak pada kecerdikannya dalam mengkombinasikan budaya lokal dengan substansi dan ruh kehidupan yang serba Islam. Pesantren sebagai lembaga pendidikan sangat potensial dan eksepsional. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dunia pesantren memiliki akar historis, ideologis, kultur yang cukup solid. Kekuatan pesantren terletak pada konsistensinya melawan penjajah dalam. bentuk apapun dengan landasan keagamaan seperti "perang jihad mempertahankan bangsa dan negara melawan kafir".
Yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa Walisongo dan Nabi Muhammad merupakan kiblat utama kaum santri, dan bahwa modeling mengikati tokoh pemimpin, uswatun hasanah, merupakan bagian penting dalam filsafat Jawa. Kekuatan modeling ditopang dan sejalan dengan value sistem Jawa yang mementingkan paternalism dan patron-client relation yang sudah mengakar dalam budaya masyarakat Jawa. Pendekatan dan kebijaksanaan (approach & wisdom) Walisongo kini terlembagakan dalam esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejarahannya. Melalui konsep terakhir inilah keagungan Muhammad saw. serta kharisma Walisongo yang dipersonifikasikan oleh para auliya dan kyai, terjunjung tinggi dari masa ke masa.
Dari sejarah dapat diambil suatu pelajaran bahwa semakin besar tantangan dunia pesantren yang dihadapi, semakin resistan dan piawai dunia pesantren dalam merespons tantangan tersebut. Di saat Belanda semakin mempersempit kehidupan sosial religius-kultural bangsa paruh ketiga abad 19, justru muncul ulama'-ulama' pesantren kaliber internasional seperti Nawawi al Bantani (meninggal 1997) dan Mahfud Termaz (1868-1919) yang ketiganya dikenal sebagai Imam al-Haramain, guru besar di Mekkah dan Madinah dengan karya-karya tulis mereka semuanya dalam bahasa Arab. Tiga ulama' produktif ini merupakan fenomena pesantren yang jarang disentuh sekaligus menghapuskan kesan bahwa dunia pesantren adalah dunia pidato, lisan dan podium. Dengan demikian kesan tersebut merupakan kesan yang tidak diimbangi dengan pembacaan sejarah secara utuh, atau dalam istilah ilmiah disebut ovesimplification atau bahkan stereotyping.
Di saat tantangan Belanda semakin membabi buta ini pulalah, mucul pesantren induk, the mother of pesantrens, seperti Tebuireng di penghujuang abad 19. Jelas sekali bahwa tumbuh dan berkembangnya pesantren-pesantren ini tidak lepas dari ikatan ideologis kultural dan edukasional.
Besarnya peran yang dimainkan oleh pesantren tersebut bukan suatu kebetulan, tetapi ada nilai-nilai yang mendasarinya. Owens (1995:81) menyodorkan dimensi soft yang berpengaruh terhadap kinerja individu dan organisasi, yaitu nilai-nilai (values), keyakinan (biliefs), budaya (culture), dan norma perilaku. Nilai-nilai adalah pembentuk budaya, dan merupakan dasar atau landasan bagi perubahan dalam hidup pribadi atau kelompok.
Dalam hubungannya dengan pesantren, pemahaman santri terhadap ajaran agamanya, menuntut mereka untuk berperilaku sesuai dengan esensi ajaran agamanya, dalam kajian budaya (organisasi), wujud kebudayaan tingkat pertama, yaitu kebudayaan ideal, termasuk dalam hal ini ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Sedang lapisan yang paling tinggi tingkatannya disebut dengan sistem nilai budaya yang biasanya berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Sistem nilai budaya sebagai wujud kebudayaan ideal yang paling abstrak berada dalam pikiran warga masyarakat (pesantren) di mana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Dalam dimensi ini, sistem nilai budaya yang berkembang dalam alam pikiran umat beragama itulah yang menuntun perilaku mereka, termasuk dalam pengelolaan pesantren dan interaksinya dengan komunitas internal dan eksternal pesantren.
Berangkat dari latar belakang masalah tersebut banyak hal-hal menarik dan perlu dikaji dari dunia pesantren terutama yang menyangkut sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren yang mendasari pola fikir dan akitivitas dalam merespon perkembangan budaya di pesantren dan di luar pesantren. Secara lebih spesifik, pola fikir dan aktivitas yang terpancar dari sistem nilai tersebut antara lain tercermin dalam: (1) Pola pembelajaran di pesantren, (2) Semangat pengabdian di pesantren, (3) Pola hubungan santri dengan kyai, santri dengan keluarga kyai, santri dengan santri dan santri dengan masyarakat, dan (4) Pola pemikiran dunia pesantren dalam merespon perubahan sosial, ekonomi, dan politik.

B. Fokus Penelitian
Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka fokus yang diteliti dalam penelitian ini adalah : Sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren yang meliputi Pesantren Raudlatuttolibin, dan Pesantren Luhur Kota Semarang.
Fokus tersebut kemudian dirinci menjadi tiga sub fokus, yaitu:
Karakteristik budaya organisasi pada dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang
Ragam nilai dalam budaya organisasi pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang
Sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang.

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian, secara umum tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah menemukan sekaligus mendeskripsikan sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren, yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang
Tujuan tersebut kemudian dijabarkan ke dalam tujuan khusus, yakni sebagai berikut:
1. Ingin mengetahui karakteristik budaya organisasi di dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang.
2. Ingin mengetahui ragam nilai dalam budya organisasi di dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang
3. Ingin mengetahui sistem nilai dalam budaya organisasi di dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang
4. Ingin mengetahui perbedaan sistem nilai dalam budaya organisasi di Pesantren Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang.

D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis :
a. Memberi gambaran tentang sistem nilai pada pesantren dan yang dikembangkan sehingga dapat menjadi acuan para penyelenggara dan pengelola pesantren khususnya dan pendidikan pada umumnya.
b. Memberi masukan kepada Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional, Yayasan Pendidikan, dan Organisasi Keagamaan yang menyelenggarakan pendidikan dalam memajukan lembaga pendidikan berdasarkan sistem nilai.
2. Manfaat Teoritis :
a. Secara konseptual dapat memperkaya teori manajemen pendidikan (pesantren) terutama yang berkaitan dengan sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yang dibangun dari dua kasus dalam penelitian ini.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi peneliti berikutnya / peneliti lain yang ingin mengkaji lebih mendalam dengan topik dan fokus serta setting yang lain untuk memperoleh perbandingan sehingga memperkaya temuan-temuan penelitian.

E. Kerangka Konseptual
a. Budaya Organisasi
Istilah “budaya” mula-mula berkembang dalam disiplin antropologi sosial. Budaya sebagaimana software yang berada dalam otak manusia, yang menuntun persepsi, mengidentifikasikan apa yang dilihat, mengarahkan fokus pada suatu hal, serta menghindar dari orang lain.
Budaya diartikan sebagai “totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan suatu masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama” (Kotter&Heskett, 1992:4). Selain itu kebudayaan juga diartikan sebagai norma-norma perilaku yang disepakati olek sekelompk orang uuntuk bertahan hidup dan berada bersama (Farid, E.&Philip, RH. 1997). Secara sederhana, kebudayaan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan yang digunakan oleh manusia sebagai pedoman untuk memahami lingkungannya dan sebagai pedoman untuk mewujudkan tindakan dalam menghadapi lingkungannya.
Koentjaraningrat (1989) menyebutkan unsur-unsur universal dari kebudayaan adalah meliputi: (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi kemasyarakat, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian, (7) sistem teknologi dan peralatan. Selanjutnya dijelaskan bahwa budaya mempunyai tiga wujud, yaitu kebudayaan sebagai: (1) suatu komplek ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (2) suatu kompleks aktivitas kelakuan dari manusia dalam masyarakat; dan (3) sebagai benda-benda karya manusia.
Tiga macam wujud budaya di atas, dalam konteks organisasi disebut dengan budaya organisasi (organizational culture). Dalam kontek perusahaan, diistilahkan dengan budaya perusahaan (corporate culture), dalam lembaga pendidikan/sekolah disebut dengan budaya sekolah (school culture) dan dalam pesantren dapat dikatakan sebagai budaya pesantren (pesantren culture).
Budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu.
Riset terbaru mengemukakan tujuh karakteristik primer berikut yang bersama-sama, menangkap hakekat dari budaya suatu organisasi (J.A. Chatman dan K.A. John, 1994):
1. Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauhmana para karyawan didorong untuk inovasi dan mengambil resiko.
2. Perhatian ke rincian. Sejauhmana para karyawan diharapkan memperhatikan presisi (kecermatan), analisis, dan perhatian kepada rincian.
3. Orientasi hasil. Sejauhmana manajemen memfokus pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil.
4. Orientasi orang. Sejauhmana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu.
5. Orientasi tim. Sejauhmana kegiatan kerja diorganisasikan sekita tim-tim, bukannya individu-individu.
6. Keagresifan. Sejauhmana orang-orang itu agresif dan kometitif dan bukannya santai-santai.
7. Kemantapan. Sejauhmana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.
Masing-masing ciri ini dalam sebuah kontinum dari rendah sampai tinggi. Oleh karena itu dengan menilai organisasi tersebut dari ketujuh dimensi ini orang akan mendapatkan gambaran mejemuk tentang budaya organisasi tersebut.
Pengaruh budaya terhadap kinerja organisasi dapat dilihat dari dimensi manajemen, anggota secara kelompok, dan anggota secara individual. Budaya organisasi merupakan determinan bagi perilaku manajemen, disamping struktur, kepemimpinan, dan lingkungan eksternal.
Dari sudut anggota secara kelompok, budaya organisasi akan memberikan arah (direction) dalam menemukan cara-cara untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini budaya organisasi dapat memberikan pengaruh positif atau negatif, tergantung kecocokan (compatible) atau tidaknya budaya tersebut dengan perkembangan lingkungan internal maupun eksternal. Selain itu, budaya organisasi yang tersebar merata pada semua anggota organisasi, akan memberikan citra mengenai lembaga tersebut di mata customer.
Secara individual, budaya organisasi yang meresap dengan kita pada masing-masing anggota, akan menumbuhkan komitmen, sebagaimana dicontohkan suatu sekte keagamaan dapat mempengaruhi pengikutnya untuk melakukan bunuh diri secara sukarela. Komitmen di sini diartikan sebagai suatu kondisi di mana anggota organisasi memberikan kemampuan dan loyalitas tertingginya kepada organisasi, yang dengan itu mereka mendapatkan kepuasan (Hodge & Anthony, 1988).

b. Sistem Nilai Dalam Budaya Organisasi
Menurut Rokeach dan Bank (Chabib Thoha, 1996) nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dimana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Ini berarti berhubungan dengan pemaknaan atau pemberian arti suatu obyek.
Nilai juga dapat diartikan sebagai sebuah pikiran (idea) atau konsep mengenai apa yang dianggap penting bagi seseorang dalam kehidupannya. Selain itu, kebenaran sebuah nilai juga tidak menuntut adanya pembuktian empirik, namun lebih terkait dengan penghayatan dan apa yang dikehendaki atau tidak dikehendaki, disenangi atau tidak disenangi oleh seseorang. Allport, sebagaimana dikutip oleh Kadarusmadi (1996:55) menyatakan bahwa nilai merupakan kepercayaan yang dijadikan preferensi manusia dalam tindakannya. Manusia menyeleksi atau memilih aktivitas berdasarkan nilai yang dipercayainya.
Oleh karena itu, nilai terdapat dalam setiap pilihan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang baik berkaitan dengan hasil (tujuan) maupun cara untuk mencapainya. Dalam hal ini terkandung pemikiran dan keputusan seseorang mengenai apa yang dianggap benar, baik atau diperbolehkan.
Nilai-nilai penting untuk mempelajari perilaku organisasi karena nilai meletakkan fondasi untuk memahami sikap dan motivasi serta mempengaruhi persepsi kita. Individu-individu memasuki suatu organisasi dengan gagasan yang dikonsepsikan sebelumnya mengenai apa yang seharusnya dan tidak seharusnya.
DR. Rohmad Mulyono (2004:25) mengklasifikasi nilai ke dalam empat macam: (1) nilai instrumental dan nilai terminal; (2) nilai instrinksik dan nilai ekstrinsik; (3) nilai personal dan nilai sosial; dan (4) nilai subyektif dan nilai obyektif.
Selanjtunya Spranger (Allport, 1964) menjelaskan adanya enam orientasi nilai yang sering dijadikan rujukan oleh manusia dalam kehidupannya. Dalam pemunculannya, enam nilai tersebut cenderung menampilkan sosok yang khas terhadap pribadi seseorang. Karena itu, Spanger merancang teori nilai itu dalam istilah tipe manusia (the types of man), yang berarti setiap orang memiliki orientasi yang lebih kuat pada salah satu di antara enam nilai yang terdapat dalam teorinya. Enam nilai yang dimaksud adalah nilai teoretik, nilai ekonomis, nilai estetik, nilai sosial, nilai politik, dan nilai agama.
Perilaku manusia sehari-hari pada dasarnya ditentukan, didorong atau diarahkan oleh nilai-nilai budayanya. Nilai yang dominan akan memunculkan perilaku yang dominan dalam kehidupan manusia yang membuat manusia berbudaya. Menurut Koentjaraningrat, (1994), dalam kontek yang lebih mendasar, perilaku individu maupun masyarakat pada hakekatnya dipengaruhi oleh sistem nilai yang diyakininya. Sistem nilai tersebut merupakan jawaban yang dianggap benar mengenai berbagai masalah dalam dalam hidup.
Dalam dunia pesantren, nilai-nilai yang dikembangkan dirujukkan kepada sumber-sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an, Hadits dan Ijtihad. Pemahaman terhadap sumber-sumber ajaran Islam tersebut kemudian melahirkan disiplin ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf. Aspek fiqih mazhab, tauhid dan tasawuf sangat mengakar dalam kultur pesantren yang selanjutnya dilihat sebagai suatu bangunan sistem nilai yang dikenal dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Yasmadi, 2002:92). Konsep-konsep tentang tawazun (keseimbangan dan harmoni masyarakat), dan juga al-adalah (berkeadilan), tawasuth (moderat), dan tasammuh (menjaga perbedaan dan pluralisme dengan penuh toleransi) merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai sebuah sistem nilai yang dianut oleh sebagian besar pesantren banyak mempengaruhi terhadap pola pikir dan perilaku yang dipraktekkan di pesantren, baik dalam interaksi internal maupun eksternal pesantren.

c. Budaya Pesantren
Asal usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad. Maulana Malik Ibrahim (meninggal 1419 di Gresik, Jawa Timur), "Spiritual father" Walisongo, dalam masyarakat santri Jawa biasanya dipandang sebagai gurunya-guru tradisi pesantren di tanah Jawa. Oral history yang berkembang memberi indikasi bahwa pondok-pondok tua dan besar di luar Jawa juga memperoleh inspirasi dari ajaran Walisongo. Figur Maulana Malik Ibrahim memang sangat populer di luar Jawa pula. Misalnya pesantren Nahdlatul Wathan yang didirikan tahun 1934 di Pancor Lombok Timur NTB dan dewasa ini santrinya tidak kurang dari sepuluh ribu dengan cabangnya di Jakarta, ternyata juga memperoleh inspirasi dari ajaran da`wah Islamiyyah Maulana Malik Ibrahim. Tokoh ini akrab bukan hanya bagi para pemimpin pendiri Nahdlatul Wathan, tapi juga bagi para santri dan alumninya saat ini.
Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa abad 15-16 yang telah berhasil mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. Mereka secara berturut-turut adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunungjati. Wali dalam bahasa Inggeris pada umumnya diartikan “saint,” sementara songo dalam bahasa Jawa berarti sembilan. Diduga Wali yang dimaksud lebih dari sembilan, tapi agaknya bagi masyarakat Jawa angka sembilan memiliki makna tersendiri yang cukup istimewa. Para santri Jawa berpandangan bahwa Walisongo adalah pemimpin umat yang sangat saleh dan dengan pencerahan spiritual relijius mereka, bumi jawa yang tadinya tidak mengenal agama monotheis menjadi bersinar terang. Lebih dari itu, sebagaimana yang dideskripsikan Prof. A.H. John (Australia National University), mereka memiliki keampuhan spiritual healing atau penyembuhan berbagai macam penyakit rakyat dengan dukungan ekonomi mereka yang cukup kuat sebagai merchant. Posisi mereka dalam kehidupan sosio-kultural dan relijius di Jawa demikian memikat hingga bisa dikatakan bahwa Islam tidak akan pernah menjadi “the religion of Java” jika sufisme yang dikembangkan oleh Walisongo tidak mengakar dalam masyarakat. Rujukan ciri-ciri ini akan memungkinkan kita untuk memahami mengapa ajaran Islam yang diperkenalkan Walisongo di tanah Jawa hadir dengan penuh kedamaian, terkesan lamban tapi meyakinkan. Fakta menunjukkan bahwa dengan cara mentolerir tradisi lokal serta memodifikasinya ke dalam ajaran Islam dan tetap bersandar pada prinsip-prinsip Islam, agama baru ini dipeluk oleh bagsawan-bangsawan serta mayoritas masyarakat Jawa di pesisir utara.
Pendekatan Professor A.H. John perlu dikemukakan di sini untuk mengimbangi hasil penelitian Clifford Geertz yang ensiklopedis tapi masih belum mampu menjawab pertanyaan mengapa kemenangan Islam di Jawa demikian konklusif dan meyakinkan sebagaimana yang kita lihat dewasa ini. Penelitian antropologis Geertz sangat mengasosiakan Islam di Jawa dengan warisan-warisan Hindu-Buda. Bahwa Islam di Jawa sinkretis dan superficial sebagimana asumsi Geertz, jelas tidak didasarkan pada pengamatan proses Islamisasi dan transformasi sosial yang panjang serta memisahkan Islam Jawa dari peta dunia Islam secara keseluruhan. Hal ini tentu tidak sah menurut pendekatan sejarah dan dalam waktu yang sama telah mengecilkan peran besar Walisongo yang telah disepakati oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim dan non-Muslim.
Menarik untuk diamati mengapa change dalam bentuk konversi Hindhu-Budha ke Islam justru terjadi pertama di antara masyarakat nelayan bukan kerajaan di pedalaman. Dalam Islam, egalitarianisme, kesamaan hak individu, yang merupakan salah satu ajaran utama Islam agaknya sejalan dengan pandangan masyarakat pesisir yang lebih egalitarian. Keterbukaan dan mobilitas adalah ciri lain masyarakat pesisir yang lebih kondusif terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar maupun dalam. Letak geografis "coastal area" sebagai tempat persinggahan dan pusat kontak masyarakat dunia serta ciri dasar masyarakat pesisir agaknya juga telah membantu mempermudah masuknya Islam di Jawa.
Dari uraian sejarah pesantren di atas, sesungguhnya bisa ditarik benang merah tentang hakikat dan watak dasar pesantren baik sebagai lembaga pendidikan maupun sebagai sosio-kultural politik. Tanpa bertujuan mereduksi peran-peran pesantren dalam segala dimensinya, di bawah ini adalah refleksi pesantren sebagai sebuah budaya yang unik. Karakteristik utama budaya pesantren di antaranya adalah:
a. Modeling
Modeling dalam ajaran Islam bisa diidentikkan dengan uswatun hasanah atau sunnah hasanah yakni contoh yang ideal yang selayaknya atau seharusnya diikuti dalam komunitas ini. Tidak menyimpang dari ajaran dasar Islam, modeling dalam dunia pesantren agaknya lebih diartikan sebagai tasyabbuh:
Jika dalam dunia Islam, Rasulullah adalah pemimpin dan panutan sentral yang tidak perlu diragukan lagi, dalam masyarakat santri Jawa kepemimpinan Rasulullah diterjemahkan dan diteruskan oleh para Walisongo yang dikemudian hari sampai kini menjadikan mereka sebagai kiblat kedua setelah Nabi. Telah dimaklumi bersama bahwa Masjid Demak yang diresmikan oleh Sunan Kalijaga pada tanggal l Dzul Qa`dah 1428, pada umumnya disepakati sebagai masjid pertama di tanah Jawa dan dibangun sebelum Kerajaan Demak berdiri. Upaya mendahulukan pendirian Masjid sebelum negara Demak pada hakikatnya sama dengan upaya Nabi mendirikan Masjid Quba di Madinah sebelum kota suci ini dijadikan negara bagi seluruh penduduknya yang plural. Bagi umat Islam, Masjid adalah lambang dan perwujudan akhirat yang statusnya tentu lebih mulia dari gemerlapan duniawi dalam berbagai macam daya pikatnya. Dengan analogi ini, bisa difahami bila sebagian besar `ulama Jawa menjustifikasi apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dengan pendirian masjidnya sebagai bagian dari pelaksanaan Sunnah Nabi: yakni sebuah modeling par excellence.
Yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa modeling mengikuti seorang tokoh pemimpin merupakan bagian penting dalam filsafat Jawa. Walisongo yang menjadi kiblat kaum santri tentu berkiblat pada guru besar dan pemimpin Muslimin, Nabi Muhammad saw. Kekuatan modeling didukung dan sejalan dengan value sistem Jawa yang mementingkan paternalism dan patron-client relation yang sudah mengakar dalam budaya masyarakat Jawa
Para Walisongo selalu loyal pada missinya sebagai penerus Nabi yang terlibat secara fisik dalam rekayasa sosial. Misi utama mereka adalah menerangkan, memperjelas, dan memecahkan persoalan-persoalan masyarakat, dan memberi model ideal bagi kehidupan sosial agama masyarakat. Model Walisongo yang diikuti para `ulama dikemudian hari telah menunjukkan integrasi antara pemimpin agama dan masyarakat yang membawa mereka pada kepemimpinan protektif dan efektif. Approach dan wisdom Walisongo kini terlembagakan dalam esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejarahannya. Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan filosofis dan keagamaan antara taqlid dan modeling bagi masyarakat santri. Melalui konsep terakhir inilah keagungan Muhammad saw serta kharisma Walisongo, yang dipersonifikasikan oleh para auliya dan kiyai, telah terjunjung tinggi dari masa ke masa. Bahwa pendidikan Islam Walisongo ditujukan pada massa ini bisa dilihat pada rekayasa mereka terhadap pendirian pesantren. Pendidikan yang merakyat ini tidak diragukan lagi adalah induk pendidikan Islam di Indonesia atau the mother of Muslim educational institution. Pendekatan pendidikan Walisongo dewasa ini telah tersosialisasi secara luas dalam komunitas ini seperti kesalehan sebagai cara hidup kaum santri, serta pemahaman dan pengarifan terhadap budaya lokal.
Meskipun demikian pendidikan Islam Walisongo juga ditujukan pada penguasa. Keberhasilan Walisongo terhadap pendekatan yang terakhir ini biasanya terungkap dalam istilah populer “Sabdo Pandito Ratu” yang berarti menyatunya pemimpin agama dan pemimpin negera. Dengan kata lain dikotomi atau gap antara ulama dan raja tidak mendapatkan tempat dalam ajaran dasar Walisongo. Hal ini sesuai dengan watak dasar agama tauhid ini yang tidak memberi ruang pada sekularisme. Ajaran ini adalah warisan Sunan Kalijaga, sebagai grand designer yang telah mewariskan sistem Kabupaten di Jawa tipikal dengan komponen-komponen kabupaten, alun-alun, dan masjid agung. Ajaran ini dikemudian hari dipopulerkan oleh Sultan Agung. Menarik untuk dijadikan renungan sejarah bahwa barangkali masjid-masjid "agung" di Jawa saat ini, adalah bentuk modeling yang tidak disadari atas historisitas peninggalan Sultan Agung. Hubungannya bukan sekedar terdapat pada nama "agung" yang telah menyejarah dan melegenda, melainkan juga pada substansi dan format al-madinah al-fadilah ini.
Seperti yang telah disinggung di atas, pendidikan Walisongo mudah ditangkap dan dilaksanakan. Hal ini selaras dengan ajaran Nabi wa khatibinnas `ala qodri `uqulihim. Pola pendidikan ini terlihat dalam rumusan naskah Islam Jawa klasik “arep atatakena elmu, sakadare den lampahaken”(Carilah ilmu yang bisa engkau praktekan, terapkan). Pendekatan ini pula yang mengantarkan pendidikan Islam melalui media wayang yang begitu merakyat. Ajaran rukun Islam dengan demikian bisa ditemukan dalam cerita perwayangan, seperti syahadatain sering dipersonifikasikan dalam tokoh Puntadewa, tokoh tertua di antara Pandawa dalam kisah Mahabarata. Puntadewa (syahadatain) digambarkan sebagai raja adil yang tulus ikhlas bekerja untuk kesejahteraan rakyat, yakni pemimpin yang konsisten kata dan perbuatannya. Tingkah laku yang tidak munafik ini adalah refleksi tindakan dan ucapan kaum beriman atau “lips of faith.” Ajaran Islam yang diperagakan melalui media wayang merupakan model yang mudah dicontoh. Modeling dalam dunia pesantren memang tidak terbatas pada satu dimensi kehidupan. Hal ini sekaligus memberi indikasi bahwa masyarakat ini senantiasa membutuhkan model kepemimpinan yang ideal dalam segala bentuk dan zaman.
b. Cultural resistance
Mempertahankan budaya dan tetap bersandar pada ajaran dasar Islam adalah budaya pesantren yang sudah berkembang berabad-abad. Sikap ini tidak lain merupakan konsekuensi logis dari modeling. Disayangkan bahwa hampir belum ada ilmuwan yang memusatkan perhatian pada tiga aspek ini secara proporsional. Konsepsi ini bahkan sering disalahfahami oleh sarjana-sarjana Barat seperti penghampiran mereka yang lebih memusatkan perhatian pada sinkretisme Islam atau juga studi yang lebih menekankan wajah Hindhu-Budha sebagai induk budaya Jawa sementara Islam dipandang sebagai anak budaya. Dengan kata lain meskipun Islamisasi telah terjadi di sini sejak abad 14, Islam masih dipandang sebagai baju atau kulit luar budaya Jawa. Kesalahan ini sering disebabkan oleh ketidak mampuan mereka dalam memahami teks-teks standar Sunni Islam, misalnya konsep tentang inovasi al muh}a>faz}at ala> qadi>m al s}a>leh wa al akhz}u bi al jadi>d al as}lah (menjaga suatu tradisi yang baik dan mengambil tradisi yang lebih baik). Hal ini bisa dimaklumi karena sebagian besar mereka yang mempelajari Islam Jawa hanya dilengkapi dengan ilmu-ilmu sosial khususnya antropologi. Dengan kata lain mereka tidak memiliki disiplin ilmu Islamic Studies. Mereka yang banyak belajar kajian ke-Islaman seperti Prof. A.H. John dan Markwood Ward akan menghasilkan kesimpulan lebih simpatik terhadap dinamika budaya Islam Jawa.
Walisongo dan para kiyai Jawa adalah agent of social change melalui pendekatan kultural, bukan politik struktural apalagi kekerasan. Istilah Islam kultural yang selama ini ditujukan pada pendekatan Abbdurrahman Wahid dan Nur Cholis Majid, sesungguhnya secara substansial tidak berbeda dengan pendekatan Walisongo dan `ulama-`ulama terdahulu. Apa yang terjadi bukanlah intervensi melainkan akulturasi dan peaceful coexistence.
Ide cultural resistence juga mewarnai kehidupan intelektual dunia pesantren. Subjek yang diajarkan di lembaga ini melalui hidayah dan berkah seorang kiyai sebagai guru utama atau irsya>du usta>zin. Adalah kitab klasik atau kitab kuning, diolah dan ditransmisikan dari satu generasi ke genarasi berikut, yang sekaligus menunjukkan keampuhan kepemimpinan kiyai. Isi pengajaran kitab kuning menawarkan kesinambungan tradisi yang benar, al-qadim al-salih, yang mempertahankan ilmu-ilmu agama dari sejak periode klasik dan pertengahan. Memenuhi fungsi edukatif, materi yang diajarkan di pesantren bukan hanya memberi akses pada santri rujukan kehidupan keemasan warisan peradaban Islam masa lalu, tapi juga menunjukkan peran masa depan secara konkrit, yakni to live a Javanese Muslim life: cara hidup yang mendambakan damai, harmoni dengan masyarakat, lingkungan, dan Tuhan.
Karena konsepsi cultural resistance pula, dunia pesantren selalu tegar menghadapi hegemoni dari luar. Sejarah menunjukkan bahwa saat penjajah semakin menindas, saat itu pula perlawanan kaum santri semakin keras. Penolakan Sultan Agung dan Diponegoro terhadap kecongkakan Belanda, ketegaran kiyai-kiyai di masa penjajahan, serta kehati-hatian para pemimpin Islam berlatarbelakang pesantren dalam menyikapi kebijaksanaan penguasa yang dirasakan tidak bijaksana atau sistem yang established sehingga menempatkan mereka sebagai kelompok "oposan" adalah bentuk-bentuk cultural resistance dari dulu hingga sekarang. Dalam konteks ini bisa difahami jika pesantren-pesantren tua dan besar selalu dihubungkan dengan kekayaan mereka yang berupa kesinambungan ideologis dan historis, serta mepertahankan budaya lokal: a historical and ideological continuum with its cultural resistance. Denominasi keagamaan dunia pesantren yang Syafi`i-Asy`ari-Ghazalian-Oriented terbukti sangat mendukung terhadap pengembangan dan pelaksaan konsep cultural resistance ini. Menarik diamati bahwa kaum santri tidak pernah menyebut Syafi`i dan Ghazali terlepas dari kata “Imam” di depan tiga nama itu. Bukankah ini tradisi unik dunia pesantren yang tidak dijumpai di negara-negara Islam lain. Modeling terhadap tiga tokoh ini dan cultural resistence dalam bentuk kesinambungan kesejarahan adalah tiga konsep yang telah menyatu dalam illustrasi terakhir ini.

c. Budaya keilmuan yang tinggi
Dunia pesantren senantiasa identik dengan dunia ilmu. Definisi pesantren itu sendiri selalu mengacu pada proses pembelajaran dengan komponen-komponen pendidikan yang mencakup pendidik, santri, murid, serta fasilitas tempat belajar mengajar.
Rujukan ideal keilmuan dunia pesantren cukup komprehensif yang meliputi inti ajaran dasar Islam itu sendiri yang bersumber dari al-Qur'an Hadis, tokoh-tokoh ideal zaman klasik seperti Imam Bukhari, serta tradisi lisan yang berkembang senantiasa mengagungkan tokoh-tokoh `ulama Jawa yang agung seprti Nawawi al-Bantani, Mahfudz al-Tirmisi dan lain-lain. Ayat al-Qur'an pertama kali yang diwahyukan adalah surat iqra' yang menyerukan signifikasi baca dan belajar bagi kaum beriman. Menjadi Muslim berarti menjadi santri, menjadi santri berarti tidak boleh lepas dari kegiatan belajar 24 jam di lembaga pendidikan pesantren. Status santri, bagi komunitas ini, dengan demikian selalu lebih mulia dibanding dengan status non-santri. Rujukannya jelas ayat al-Qur'an yang menjanjikan status mulia dan khusus bagi kaum beriman dan berilmu. Pendidikan sehari semalam penuh dalam dunia pesantren dengan batas waktu yang relatif, serta hubungan guru-murid yang tidak pernah putus adalah implementasi dari ajaran Nabi yang menekankan keharusan mencari ilmu dari bayi sampai mati, minal mahdi ilallahdi. Singkatnya ajaran dasar Islam adalah landasan ideogis kaum santri untuk menekuni agamanya sebagai ilmu dan petunjuk yang bermanfaat di dunia dan akhirat.
Jika dalam zaman keemasan Islam tradisi al-rih}lah fi> ta>lab al-`ilm demikian luar biasa sebagaimana yang tercermin dalam perjalanan intelektual Imam Bukhari, sejarah telah membuktikan bahwa tradisi yang yang sama juga berkembang sepanjang masa dalam masyarakat santri hingga dikenal istilah wandering santris atau santri-santri kelana. Tradisi rihlah ini pula yang telah mengantarkan tiga tokoh utama pesantren: al-Bantani dan al-Tirmisi, mengembara sepanjang hidupnya dan menjadi guru besar di Mekkah dan Madinah. Fenomena dua master intelektual dunia pesantren ini membuktikan bahwa ilmu agama tidak hanya milik dunia Timur Tengah, dan bahwa ilmuwan berlatarbelakang sosio-kultural pesantren mampu menandingi `ulama-`ulama manca negara baik dalam kegiatan tulis menulis berbahasa Arab maupun dalam kegiatan akademik pengajaran di pusat dunia Islam.
Dewasa ini makna penting keilmuan dunia pesantren agaknya tidak bergeser. Seorang tokoh modernis, Dawam Rahardjo, misalnya, menaruh kepercayaan besar terhadap alumni-alumni pesantren yang memperoleh pendidikan di dunia Barat dan bekerja di berbagai sektor dan kantor swasta dan negara di Indonesia.
Dengan merujuk pada dinamika keilmuan pesantren dalam sejarah, agaknya istilah "konservatif" yang dialamatkan pada komunitas atau tradisi pesantren selama ini perlu ditinjau kembali. "Konservatif" pada umumnya identik dengan statis, jumud, serta implikasi-implikasi fatalis lainnya. Lebih dari itu "konservatif" adalah kata impor dari kamus Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian tradisionalitas pesantren selayaknya ditujukan pada satu tradisi luhur dalam berbagai hal, termasuk tradisi intelektual pesantren yang belum pernah terhenti sampai sekarang

F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Rancangan Penelitian
Pendekatan merupakan kerangka berfikir/kerangka kerja, term of work, term of thinking yang mendasari dari penelitian ini. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran mendalam tentang sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan dari latar yang alami (natural setting) sebagai sumber data langsung. Pemaknaan terhadap data dihasilkan dari kedalaman atas fakta yang diperoleh.
Penelitian ini diharapkan dapat menemukan sekaligus mendeskripsikan data secara menyuluh dan utuh mengenai sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren. Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat membangun teori secara induktif dari abstraksi-abstraksi data yang dikumpulkan tentang sistem nilai budaya organisasi pesantren berdasarkan temuan makna dalam latar yang alami.
Pesantren yang menjadi obyek penelitian ini adalah Pesantren Raudlatuttolibin dan Pesantren Luhur Semarang.. Kedua pesantren tersebut memiliki kekhasan masing-masing dalam mengekspresikan sistem nilai dalam pendidikannya.
Penelitian ini menggunakan rancangan studi kasus. Sebagaimana ditegaskan oleh Bodgan dan Biklen (1998:62) bahwa:
When research study two or more subjects, setting or depositories of data they are usually doing what we call multi-case studies. Multi-case studies take a variety of forms. Some start as a single case only to have the original work serve as the first in series of studies or as the pilot for a multi-case study. Other studies are primarily single-case studies but include less intense, less extensive observations at other sites for the purpose of addressing the question of generalizability. Other researchers do comparative case studies. Two or more case studies are done and then compared and contrasted.

Karakteristik utama studi kasus adalah apabila peneliti meneliti dua atau lebih subjek, latar atau tempat penyimpanan data. Kasus yang diteliti adalah sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yang memiliki latar berbeda. Pesantren Raudlatuttolibin Semarang hampir sebagian besar santrinya adalah mahasiswa. Keberadaan santri sebagai mahasiswa ini menjadikan pola pembelajaran di pondok dan sistem penentuan kurikulum pondok lebih akomodatif. Sebagian besar program pembelajaran di pondok dirancang bersama antara kyai dan santri. Kemudian Pesantren Luhur Mangkang Semarang merupakan pesantren salafiyah. Ada dua bagian dalam pondok ini, yakni santri mahasiswa yang berada di ‘komplek’ dan santri yang hanya mondok. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus kajian adalah santri yang hanya mondok. Pola pembelajaran di sini mengikuti model salaf murni, dimana para santri hanya diberi materi pembelajaran kitab-kitab kuning tanpa sekolah. Mereka tinggal di pondok secara full time.
Rancangan studi kasus dilakukan sebagai upaya pertanggungjawaban ilmiah berkenaan dengan logis antara penelitian, pengumpulan data yang relevan, dan analisis data penelitian.
Memperhatikan keberadaan masing-masing pesantren tersebut di atas, kasus dan karakteristik keduanya berbeda-beda, terutama dari segi nilai-nilai yang dianut, maka penelitian ini cocok untuk menggunakan rancangan studi kasus. Penerapan rancangan studi multi kasus dimulai dari kasus tunggal (sebagai kasus pertama) terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan pada kasus kedua.
Sebagai penelitian studi kasus, maka langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) melakukan pengumpulan data pada kasus pertama, yaitu Pesantren Raudlattolibin Semarang. Penelitian ini dilakukan sampai pada tingkat kejenuhan data, dan selama itupula dilakukan kategorisasi dalam tema-tema untuk menemukan konsepsi tematik menganai sistem nilai dalam budaya orgnisasi di pesantren tersebut; (2) melakukan pengamatan pada kasus kedua, yaitu Pesantren Luhur Mangkang Semarang. Tujuannya adalah untuk memperoleh temuan konseptual mengenai sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren tersebut.
Berdasarkan temuan konseptual dari kedua pesantren tersebut, selanjutnya dilakukan analisis komparasi dan pengembangan konseptual untuk mendapatkan abstraksi tentang karakteristik budaya organisasi, ragam nilai, dan sistem nilai dari kedua pesantren tersebut. Dalam hal ini dilakukan analisis termodifikasi sebagai suatu cara mengembangkan teori dan mengujinya .
Dalam penelitian ini berusaha untuk memahami makna peristiwa serta interaksi orang dalam situasi tertentu. Untuk dapat memahami makna peristiwa dan interaksi orang, digunakan orientasi teoritik atau perspektif teoritik dengan pendekatan fenomenologis (phenomenological approarch).
Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengamati fenomena-fenomena dunia konseptual subjek yang diamati melalui tindakan dan pemikirannya guna memahami makna yang disusun oleh subjek sekitar kejadian sehari-hari. Peneliti berusaha memahami subjek dari sudut pandang subjek itu sendiri, dengan tidak mengabaikan penafsiran, dengan membuat skema konseptual. Menurut Weber, pendekatan fenomenologi disebut verstehen apabila mengemukakan hubungan antara gejala-gejala sosial yang dapat diuji, bukan pemahaman empirik semata. Dengan menggunakan metode Verstehen ini, peneliti dapat memahami secara emik konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai, ide-ide, gagasan-gagasan, dan norma-norma yang berlaku di tiga pesantren tersebut, sehingga tidak terjadi kekeliruan penafsiran atas makna objek yang diteliti.
Kecuali pendekatan fenomenologis, mengingat penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren, maka untuk memahami perbedaan budaya yang muncul pada masing-masing pesantren digunakan pula orientasi teoritik dengan pendekatan budaya untuk memahami hakekat sudut pandangnya, keterkaitan dengan kehidupan, dan untuk mengungkap visinya mengenai dunianya.

2. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, peneliti memakai tiga prosedur, yaitu wawancara mendalam, observasi partisipan dan studi dokumentasi.
a. Wawancara Mendalam
Wawancara digunakan untuk mengungkap makna secara mendasar dalam interaksi yang spesifik. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak terstuktur (unstandarized interview) yang dilakukan tanpa menyusun suatu daftar pertanyaan yang ketat. Selanjutnya wawancara yang tidak terstandar ini dikembangkan dalam tiga teknik, yaitu (1) wawancara tidak terstruktur (unstructured interview atau passive interview), (2) wawancara agak terstruktur (some what structured interview atau active interview), dan (3) wawancara sambil lalu (casual interview).
Wawancara ini dilakukan terhadap kyai, pengasuh pondok pesantren, pengurus dan sebagian santri. Isi pokok yang ingin digali dari wawancara antara lain; (1) pandangan tentang keunggulan pesantren yang menjadi objek penelitian; (2) pandangan dan keyakinan tentang nilai-nilai sebagai acuan dalam berkarya; (3) upaya-upaya yang dilakukan untuk memajukan pesantren berdasarkan nilai-nilai yang diyakini.
b. Observasi Partisipan
Observasi partisipan merupakan karakteristik interaksi sosial antara peneliti dengan subjek-subjek penelitian. Dengan kata lain, proses bagi peneliti memasuki latar dengan tujuan melakukan pengamatan tentang bagaimana peristiwa-peristiwa dalam latar saling berhubungan. Observasi partisipan dilakukan untuk melengkapi data hasil wawancara yang diberikan oleh informan yang mungkin belum menyeluruh atau belum mampu menggambarkan segala macam situasi atau bahkan melenceng. Ada tiga tahap observasi, yaitu observasi deskriptif (untuk mengetahui gambara umum), observasi terfokus (untuk menemukan kategori-kategori), dan observasi selektif (untum mencari perbedaan di antara kategori-kategori).
c. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk mengumpulkan data-data yang mendukung untuk memahami dan menganalisis sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren. Data tersebut meliputi; data santri, data ketenagaan, sarana-prasarana, organisasi, manajemen, pedoman peraturan, proses belajar-mengajar, sejarah pondok pesantren dan sebagainya.
3. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang telah dihimpun oleh peneliti. Kegiatan analisis dilakukan dengan menelaah data, menata, membagi menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, mensintesis, mencari pola, menemukan apa yang bermakna, dan apa yang diteliti dan dilaporkan secara sistematik.
Data tersebut terdiri dari deskripsi-deskripsi yang rinci mengenai situasi, peristiwa, orang, interaksi, dan perilaku. Dengan kata lain, data merupakan deskripsi dari pernyataan-pernyataan seseorang tentang perspektif, pengalaman, atau sesuatu hal, sikap, keyakinan, dan pikirannya serta petikan-petikan isi dokumen yang berkaitan dengan suatu program.
Mengingat penelitian ini menggunakan rancangan studi multi kasus, maka dalam menganalisis data dilakukan tiga tahap, yaitu (1) analisis data kasus individu dan (2) analisis data lintas kasus.
Menurut Miles dan Huberman (1992) analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data (menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tiodak perlu dan mengorganisir data), penyajian data (menemukan pola-pola hubungan yang bermakna serta memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan) dan penarikan kesimpulan/verifikasi (membuat pola makna tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi).
d. Pengecekan Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan data adalah bagian yang sangat penting dan tidak terpisahkan dari penelitian kualitatif. Pelaksanaan pengecekan keabsahan data didasarkan pada empat kreteria yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability) (Moleong, 1994).
Menurut Lincoln dan Guba (1985), bahwa untuk memperoleh data yang valid dapat ditempuh teknik pengecekan data melalui: (1) observasi yang dilakukan secara terus-menerus (persistent observation); (2) trianggulasi (triangulation) sumber data, metode dan peneliti lain; (3) pengecekan anggota (member check), diskusi teman sejawat (peer reviewing); dan (4) pengecekan mengenai kecukupan refernesi (referencial adequacy check)
Transferibilitas atau keteralihan dalam penelitian kualitatif dapat dicapai dengan cara “uraian rinci”. Untuk itu maka dalam penelitian ini peneliti berusaha melaporkan hasil penelitiannya secara rinci. Uraian laporan diusahakan dapat mengungkap secara khusus segala sesuatu yang diperlukan oleh pembaca, agar para pembaca dapat memahami temuan-temuan yang diperoleh. Penemuan itu sendiri bukan bagian dari uraian rinci melainkan penafsirannya yang diuraikan secara rinci dengan penuh tangngungjawab berdasarkan kejadian-kejadian nyata.
Dependedabilitas atau kebergantungan dilakukan untuk menanggulangi kesalahan-kesalahan dan konseptualisasi rencana penelitian, pengumpulan data, interpretasi temuan, dan pelaporan hasil penelitian. Untuk diperlukan dependent auditor atau para ahli di bidang pokok persoalan penelitian ini.
Konfirmabilitas atau kepastian diperlukan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh obyektif atau tidak. Hal ini tergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat, dan temuan seseorang. Jika telah disepakati oleh beberapa atau banyak orang dapat dikatakan obyektif, namun penekanannya tetap pada Tanya. Untuk menentukan kepastian data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengkonfirmasikan data dengan para informan atau para ahli.

F. Jadual Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan selama 6 (enam) bulan, dengan perincian waktu sebagai berikut :
1. 1 – 15 Juli 2006 Penyusunan Proposal
2. 16 – 31 Juli 2007 Studi kelayakan lapangan
3. 1 – 15 Agustus 2007 Pendalaman Pustaka
4. 15 Agustus 2007 Penelitian Lapangan
5. 1 – 15 September 2007 Penulisan Draft laporan
6. 15 – 31 Seeptember 2007 Perbaikan laporan
7. 1 – 15 Oktober 2007 Penggandaan laporan

G. Rancangan Biaya
Semua anggaran yang berkaitan dengan penelitian ini diambilkan dari PUSLIT IAIN Walisongo yang berjumlah Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah).
Dengan perincian sebagai berikut :
1. Pembelian buku-buku / foto copi Rp 2.750.000,00
2. Pembelian ATK Rp 2.000.000,00
3. Transportasi dan Akomodasi Rp 750.000,00
4. Komputerisasi & Penulisan Rp 1.000.000,00
6. Penjilidan/penggandaan laporan Rp 1.000.000,00

Jumlah Rp 7.500.000,00

(Tujuh Juta Lima Ratus Ribu Rupiah)

G. Daftar Pustaka (Sementara)

Brannen, Julia, 2002, Memadu Metode Penelitian – Kualitatif & Kuantitatif. Terjemahan H. Nuktah Arfawie Kurde, dkk. Samarinda dan Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari dan Pustaka Pelajar.
Bull, Ronald Alan Lukens. 2004. Jihad ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika. Yogyakarta: Gama Media.
Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung:CV. Pustaka Setia.
Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.
Dirdjosanjoto, Pradjarta. 1999. Memelihara Ummat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa. Yogyakarta: LKIS.
Faisal Sanapiah. 1990. Penelitian Kualitatif – Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang YA3 Malang.
Frances Hesselbein etc. 1996. The Leader of the Future. San Fransico: Jossey-Bass Publisher.
Fuad Riyadi, Muhammad. 2001. Kampung Santri, Yogyakarta: Ittaqa Press.
Ismail SM. Dkk. editor. 1999. Dinamika Pesantren dan Madrasah. Semarang-Yogyakarta. Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo kerjasama dengan Pustaka Pelajar.
John W. Best. 1981. Research in Education. Canada: Prentice-Hall of Canada, Ltd.
Marzuki Wahid dkk. Editor. 1999. Pesantren Masa Depan. Bandung. Pustaka Hidayah.
Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.
Masyhud, Sulthon, Muh. Khusnurridlo. 2003. Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka.
Mc.Millan, James H. and Sally Schumacher. 2001 Research in Education – A Conceptual Introduction. New York: Longman.
Moleong, Lexy J. 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya.
Mulyono, Rohmat.2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: CV Alfabeta.
Nurkhalik Ridwan. 2004. Santri Baru, Yogyakarta: Gerigi Pustaka.
Razik, Taher A. 1995. Fundamental Concepts of Educational Leadership and Management. Ohio: Englewed Cliffs, New Jersey.
Robbins, Stephen P. 2001. Organizational Behavior. U.S.A: Prentice Hall International, Inc.
Steenbrink, Karel A. 1985. Pesantren Madrasah Sekolah. Jakarta: LP3ES.
Sugiono. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sujuthi, Mahmud. 2001. Politik Tarekat, Yogyakarta: Galang Press.
Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren. Jakarta: Ciputat Press.
Zulkifli. 2002. Sufism in Java, The Role of the Pesantren in the Maintenance of Sufism in Java. Jakarta:INIS.

Peradaban Islam

KISI-KISI SOAL UJIAN
SEJARAH PERADABAN ISLAM

Soal-soal :
1. Apa yang anda ketahui tentang sejarah Islam, jelaskan ?
2. Jelaskan yang dimaksud dengan kebudayaan, hasil kebudayaan dan peradaban Islam ?
3. Jelaskan bagaimana sebuah peradaban Islam terbentuk ?
4. Jelaskan fungsi dan manfaat mempelajari sejarah ?
5. Apa yang kau ketahui tentang gelar ”Ummi” pada diri Nabi Muhammad saw ?
6. Nabi dilahirkan di Makkah, namun kenapa beliau kurang sukses berdakwah di sana ?
7. Jelaskan makna hijrah Nabi ke Madinah ?
8. Apa yang kau ketahui tentang PIAGAM MADINAH !
9. Kenapa Nabi tidak meniggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin ummat setelah beliau wafat ? Jelaskan !
10. Kenapa dalam menentukan pemimpin sebagai pengganti Nabi, ummat Islam hampir terjadi perpecahan, dan kemudian memilih Abu Bakar r.a. ?
11. Kenapa masa kepemimpinan empat kholifah; Abu Bakar, ra., Umar, ra., Utsman, ra., dan Ali k.w. disebut masa khulafaurrosyidin ?
12. Jelas sejarah munculnya golongan Syi’ah ! mana yang lebih dahulu, konflik politik, atau konflik teologi, jelaskan !
13. Jelaskan secara sosiologis dan antroplogis, kenapa kelompok Muawiyah dapat menang ?
14. Kenapa Muawiyah berkeras untuk memperoleh kekuasaan dan melanggengkannya kepada anak turunnya ?
15. Jelaskan bagaimana Bani Abbasiyah dapat merebut kekuasaan dari Bani Umaiyah ?
16. Apa kunci kesuksesan / kemajuan peradaban pada masa Bani Abbasiyah periode pertama ?
17. Tunjukkan bukti-bukti kemajuan yang dicapai Bani Abbasiyah ?
18. Jelaskan factor-faktor kemunduran Bani Abbasiyah !
19. Jelaskan perbedaan kemajuan yang dicapai pada masa tiga kerajaan besar dengan masa klasik !
20. Kenapa usaha-usaha pembaharuan yang dijalankan di Turki Ustmani mengalami kegagalan ?
21. Kenapa Islam di Spanyol dan India akhirnya dapat dikalahkan / musnah ? jelaskan kondisi Islamisasi pada saat itu !
22. Apa yang dimaksud dengan renaissance dan bagaimana kaitannya dengan penjajahan negara-negara Muslim ?
23. Jelaskan misi penjajahan ke negara-negara Muslim ? banding dengan ekspansi yang pernah dilakukan pada masa kejayaan Islam !
24. Bagaimana akibat penjajahan Barat terhadap dunia Islam dulu dan sekarang ? berikan contoh perkasus !
25. Kenapa Inggris dapat dengan mudah menguasi India, padahal semula dalam kekuasaan Kerajaan Mughal ?
26. Jelaskan factor-faktor yang mempengaruhi gerakan kemerdekaan negara-negera Islam ?
27. Jelaskan gerakan kemerdekaan yang ada di Indonesia ? siapa yang paling awal mengadakan gerakan nasionalisme ? kenapa hari kebangkitan nasional diperinganti pada tanggal 20 Mei ?

13 Januari 2008

Pengajaran Sejarah


PENGAJARAN SEJARAH DAN PROBLEMATIKANYA

Drs. H. Fatah Syukur NC, M.Ag.

Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo

Pendahuluan
Sejarah merupakan bagian penting dari perjalanan sebuah ummat, bangsa, negara, maupun individu. Keberadaan sejarah merupakan bagian dari proses kehidupan itu sendiri.. Oleh karena itu tanpa mengetahui sejarah, maka proses kehidupan tidak akan dapat diketahui. Dengan demikian melalui sejarah itu pulalah manusia dapat mengambil banyak pelajaran dari proses kehidupan suatu ummat, bangsa, negara dan sebagainya. Di antara pelajaran penting yang dapat diambil dari sejarah adalah mengambil sesuatu yang baik dari suatu ummat, bangsa dan negara untuk senantiasa dilestarikan dan dikembangkan. Sedangkan terhadap hal-hal yang tidak baik, sedapat mungkin ditinggalkan dan dihindari.
Melalui sejarah kita dapat mengetahui betapa ummat Islam pernah mencapai suatu kejayaan yang diakui oleh dunia international. Pada saat itu banyak orang-orang non Mslam yang belajar kepada ilmuwan Muslim, baik secara langsung maupun tidak. Banyak karya-karya tokoh ilmuwan Muslim yang dipakai sebagai referensi ilmuwan Eropa sampai hampir tujuh abad, misalnya karya Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, Alhawarijmi dan sebagainya. Kejayaan itu tentu tidak dapat dicapai begitu saja, tanpa adanya suatu sebab yaitu usaha maksimal dari para ilmuwan Muslim dan dukungan sarana dan prasarana dara donatur dan birokrat, sebagaimana kejayaan yang pernah dicapai masa Abasiyah periode awal.
Pentingnya belajar sejarah ini pernah disampaikan oleh Presiden RI yang pertama, Ir. Soekarno, dalam sebuah pidato kenegaraan yang diberi title JASMERAH (Jangan Lupakan Sejarah). Mengapa kita tidak boleh melupakan sejarah ? Karena melupakan sejarah berarti melupakan suatu proses. Ibarat perjalanan seorang manusia, melupakan sejarah berarti melupakan wetone (hari dan tanggal kelahiran). Melalui sejarah, manusia dapat mentransformasikan pengalaman dan pengetahuannya dari generasi terdahulu kepada generasi muda dan seterusnya.

Pentingnya Sejarah
Bagi ummat Islam, sejarah memiliki nilai-nilai yang amat penting. Menurut Prof. Dr. Nourozzaman ash Shiddiqie, paling tidak ada empat aspek penting yang dapat diambil dari sejarah; pertama, adalah kewajiban kaum Muslimin untuk meneladani Rasulullah. Oleh karena itu rekaman tentang perilaku kearifan dan kebijakan Rasul perlu diketahui dan diteladani. Kedua, untuk menafsirkan dan memahami maksud al-Qur’an dan Hadits, perlu memahami setting sosial histories dan kondisi psikologis masyarakat Islam pada saat itu. Atau dalam bahasa yang popular adalah asbab al nuzul dan asbab al wurud. Ketiga, sebagai alat ukur sanad. Untuk mengetahui keautentikan sebuah hadits, apakah dhobit atau tidak, bagaimana perikalu keseharian seorang sanad dan sebagainya. Semua itu dapat dilihat dalam sejarah. Oleh karena itu penulis sejarah yang pertama sesungguhnya adalah orang Islam, yakni al-Tabari, dengan bukunya yang dikenal dengan Tarekh al-Tabari. Keempat, untuk merekam peristiwa-peristiwa penting yang terjadi, baik sebelum maupun sesudah kedatangan Islam. Di samping itu, sejarah juga berfungsi untuk mengenal diri sendiri, juga sebagai cermin masa lalu untuk dijadikan pedoman masa kini dan masa yang akan datang, untuk diteladani dan dipakai sebagai alat analisis.
Kendatipun demikian penting arti sejarah dalam kehidupan manusia, namun dalam realitas kehidupan itu sendiri, termasuk dalam dunia akademik, keberadaan materi pelajaran sejarah kurang mendapatkan respon yang memadahi. Sejarah sering dianggap hanya sebagai peristiwa masa lalu yang tidak memiliki rangkaian dengan masa kini dan masa yang akan datang. Bahkan dengan pola pengajaran yang monoton, yang menekankan pada pada aspek kognitif, hafalan, maka pelajaran sejarah semakin tampil membosankan dan terkesan hanya mengulang-ulang saja. Di sisi lain sumber-sumber materi sejarah yang lebih menekankan pada aspek politis, menjadikan kesan yang semakin angker dan menyeramkan bahwa perjalanan daulat-daulat Islam selalu diwarnai dengan tindakan-tindakan kekerasan dan pertumpahan darah. Sebagaimana yang ditulis oleh sebagian orientalis, Islam disebarkan dengan pedang di tangan kanan dan al-Qur’an di tangan kiri. Sementara Barat dimunculkan sebagai bangsa yang beradab dan berperadaban.
Distorsi informasi ini bukan hanya memanipulasi informasi sejarah, namun sangat berimplikasi terhadap aspek politis, sosiologis dan psikologis ummat Islam sendiri.
Keterpurukan ummat Islam dalam kondisi inferiority complex, perasaan minder, rendah diri terhadap keberadaan nilai-nilai Islami, dan di sisi lain perasaan yang begitu bangga terhadap produk-produk Barat, merupakan bagian dari keberhasilan dominasi Barat secara politis maupun cultural terhadap dunia Islam. Proses pemutusan mata rantai sejarah Islam telah dilakukan oleh beberapa orientalis Barat abad ke-18, ke-19 sampai pertengahan abad ke-20. Mata rantai yang secara obyektif harus diakui oleh Barat, bahwa kemajuan Barat sebagaimana sekarang ini adalah bagian dari proses sejarah yang diambil dari dunia Islam, baik lewat Perang Salib, lewat kemajuan Islam di Spanyol Islam maupun lewat referensi / karya-karya ilmuwan Muslim.
Beberapa problematika inilah yang perlu mendapat perhatian serius dari ummat Islam, terutama tokoh-tokoh yang bergelut dengan dunia akademik, khususnya guru-guru sejarah Islam.

Hakekat Sejarah dan Kebudayaan
Apa yang dimaksud dengan sejarah dan kebudayaan ? Kata sejarah dalam bahasa Indonesia memiliki kesamaan filosofis dengan kata syajarah dalam bahasa Arab yang berarti pohon. Pohon merupakan gambaran suatu rangkaian geneologi, yaitu pohon keluarga yang mempunyai keterkaitan erat antara akar, batang, cabang, ranting dan daun serta buah. Keseluruhan elemen pohon ini memiliki keterkaitan erat, kendatipun yang sering dilihat oleh manusia pada umumnya hanya batang pohon saja, atau buahnya saja, akan tetapi adanya pohon dan buah tidak terlepas dari peran akar. Itulah filosofi sejarah, yang mempunyai keterkaitan erat antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Kata sejarah dalam bahasa Indonesia mempunyai kesamaan arti dengan Tarikh dalam bahasa Arab, Geschichte (bahasa Jerman) dan History (bahasa Inggris) yang berasal dari bahasa Yunani Istoria (ilmu tentang kronologi hal ikhwal manusia).
Menurut Ibnu Khaldun, dalam hakekat sejarah terkandung pengertian observasi dan usaha mencari kebenaran (tahqiq), keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal benda wujudi, serta pengertian dan pengetahuan tentang substansi, esensi dan sebab-sebab terjadinya peristiwa. Sedang menurut Franz Rosental, sejarah adalah deskripsi tentang aktivitas manusia yang terus menerus baik dalam bentuk individu maupun kelompok. Dari dua pengertian tersebut menunjukkan bahwa definisi pertama lebih bernuansa filosofis yang berkaitan dengan hakekat sesuatu, sedang definisi kedua lebih operasional. Menurut Profesor Nourozzaman ash Shiddiqie, sejarah adalah persitiwa masa lampau yang tidak sekedar informasi tentang terjadinya peristiwa, tetapi juga memberikan interpretasi atas peristiwa yang terjadi dengan melihat kepada hukum sebab akibat. Dengan adanya interpretasi ini, maka sejarah sangat terbuka apabila diketemukan adanya bukti-bukti baru. Definisi ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Sayyid Quttub, bahwa sejarah bukanlah peristiwa-peristiwa, melainkan tafsiran peristiwa-peristiwa dan pengertian mengenai hubungan-hubungan nyata dan tidak nyata yang menjalin seluruh bagian serta memberikan dinamisme dalam waktu dan tempat.
Jadi sejarah bukan sekedar catatan bagi orang-orang yang lahir dan orang-orang yang mati dan sekedar mengungkap kehidupan para penguasa dan biografi para pahlawan, akan tetapi sejarah sejarah juga merupakan suatu ilmu yang membentangkan perkembangan masyarakat, yaitu suatu proses yang panjang sekali. Sejarah berbeda dengan hikayat, legenda, kisah dan sebagainya. Sejarah harus dapat dibuktikan kebenarannya dan logis. Oleh karena itu, cerita yang tidak masuk akal, apalagi tidak dapat dibuktikan kebenarannya, maka tidak dapat dikategorikan sebagai sejarah. Sejarah adalah suatu kisah manusia dalam perjuangannya untuk merealisasikan tujuan peperangan yang diterjuninya, pengetahuan yang ia peroleh dari dirinya dan dari alam sekitarnya, penemuan-penemuan yang ia capai, kota-kota yang ia bangun, pemerintah-pemerintah yang ia dirikan, perundang-undangan yang menjadi pedomannya, manifes-manifes ekonomi, aktivitas yang ia lakukan, peninggalan-peninggalan peradaban yang ia tinggalkan, ide-ide pemikiran yang ia anut kemudian mungkin menggantinya dengan yang lain. Semua itu dikenal dengan apa yang dinamakan “kebudayaan manusia” yang mana kebudayaan manusia itu menjadi obyek sejarah.
Apabila manusia telah memahami asal-usul kebudayaannya, faktor-faktor pertumbuhan dan fase perkembangan kebudayaannya, maka ia benar-benar telah memahami hakekat kekiniannya, niscaya ia mampu mengambil pelajaran dari pemahamannya dan pengalaman-pengalaman itu dalam menghadapi masa depan. Yang demikian itu disebabkan bahwa sejarah suatu ummat adalah merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Setelah mendiskusikan tentang sejarah, maka selanjut adalah tentang kebudayaan. Di Indonesia, istilah kebudayaan dan peradaban sering disinonimkan. Peradaban Islam adalah terjemahan dari al-Hadharah al-Islamiyah. Kata Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan Kebudayaan Islam. “Kebudayaan” dalam bahasa Arab adalah al-Tsaqofah. Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata “kebudayaan” (Arab al-Tsaqofah, Inggris, culture) dan “peradaban” (Arab al-Hadharah, Inggris, civilization). Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Di dalam kebudayaan terdapat pengetahuan dan ide-ide untuk memahami lingkungannya dan sebagai pedoman dalam melakukan suatu tindakan. Sedangkan manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, maka peradaban terefleksikan dalam politik, ekonomi dan teknologi.
Menurut Kuntjaraningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu komplek ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.
Secara sederhana kebudayaan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia dan digunakan sebagai pedoman untuk memahami lingkungannya dan sebagai pedoman untuk mewujudkan tindakan dalam menghadapi lingkungannya. Landasan peradaban Islam adalah kebudayaan Islam terutama wujud idealnya, sementara landasan kebudayaan Islam adalah agama.
Karena kebudayaan Islam sumber pokoknya adalah agama Islam, maka kebudayaan Islam memiliki beberapa keunikan dibandingkan dengan budaya lain. Keunikan itu sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Abdurrahman Mas’ud, M.A. sebagai berikut :
Adanya konsep tauhid / Oneness of God / Unity of God
Universalitas pesan dan missi peradaban yakni persaudaraan Islam
Prinsip moral dijunjung tinggi
Budaya toleransi yang cukup tinggi – wilayah Islam relatif aman
Prinsip keutamann belajar dan memperoleh ilmu.

Problematika Pengajaran Sejarah dan Kebudayaan Islam
Sejarah Kebudayaan Islam merupakan pelajaran penting sebagai upaya untuk membentuk watak dan kepribadian ummat. Dengan mempelajari sejarah, generasi muda akan mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari perjalanan suatu tokoh atau generasi terdahulu. Dari proses itu dapat diambil banyak pelajaran, sisi-sisi mana yang perlu dikembangkan dan sisi-sisi mana yang tidak perlu dikembangkan. Keteladan dari tokoh-tokoh / pelaku sejarah inilah yang ingin ditransformasikan kepada generasi muda, disamping nilai informasi sejarah penting lainnya.
Kendatipun demikian penting materi sejarah bagi pengembangan kepribadian suatu bangsa, Namun dalam realitasnya sering kurang disadari, sehingga mata pelajaran sejarah kurang diminati. Mata pelajaran sejarah justru hanya dipandang sebagai mata pelajaran pelengkap, baik oleh siswa maupun oleh guru. Ini terbukti dengan jam pelajaran untuk Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) di sekolah (baca Madrasah) hanya 1 jam pelajaran dalam seminggu. Padahal materi SKI cukup banyak.
Disamping masalah jam pelajaran, ada masalah-masalah lain yang berkaitan dengan metodologi pengajaran sejarah Islam, yaitu :
1. Baru menekankan pada aspek sejarah politik para elite penguasa pada zamannya. Sementara aspek sosial, aspek ekonomi, budaya dan pendidikan kurang mendapatkan porsi yang memadai.
2. Apresiasi siswa terhadap kebudayaan masih rendah. Bahkan beberapa guru sejarah Islam juga menunjukkan apresiasi yang rendah terhadap mata pelajaran ini. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya perhatian mereka terhadap pengajaran sejarah.
3. Sikap inferiority complex, perasaan rendah diri yang komplek. Sikap inferiority complex ummat Islam terhadap nilai-nilai sejarah budayanya sendiri ini merupakan bagian dari masalah dalam pengajaran sejarah. Generasi muda pada umumnya lebih bangga terhadap hasil kebudyaan Barat, sementara terhadap kebudayaan Islam sendiri, mereka merasa malu untuk mengakuinya, apalagi menirunya. Sikap inferiority complex kaum Muslimin ini juga terefleksi dalam sikap dan reaksi kaum Muslim terhadap budaya Barat;
a. Sikap kelompok Muslim yang secara total menerima dan meniru budaya Barat. Mereka menghendaki budaya Islam diganti dengan budaya Barat.
b. Sikap kelompok Muslim yang anti sama sekali, xenophobia yang berlebihan. Sehingga segala sesuatu yang datang dari Barat harus ditolak sama sekali.
c. Sikap kelompok Muslim yang realistis dan kristis dengan landasan pemikiran bahwa budaya bersifat relatif yang mengandung plus – minus. Dalam pandangan ini, maka darimanapun sebuah kebaikan, apakah dari Barat atau dari Timur, maka hal itu dapat diterima.
4. Metode yang dipergunakan oleh guru masih monoton; sejarah hanya disampaikan dengan ceramah, padahal materi sejarah Islam sudah diperoleh siswa dalam setiap jenjang pendidikan Islam dan dari informasi lain. Oleh karena itu perlu adanya metode dan media yang bervariasi, misalnya field study, study lapangan langsung, pemakaian peta, VCD dan sebagainya.
5. Penjelasan guru atau nara sumber kurang memperhatikan aspek-aspek lain, misalnya faktor sosiologis, faktor antropologis, ekonomis, geografis dan sebagainya. Dalam menjelaskan satu materi dapat diterangkan dengan beberapa sudut pandang yang berbeda, sehingga pemahaman siswa menjadi lebih komprehensif. Materi-materi yang perlu dijelaskan secara komprehensif tersebut misalnya tentang; apa yang dimaksud dengan jahiliyah, apa yang dimaksud dengan sifat ummi pada Nabi, kenapa Islam diturunkan di Makkah, bagaimana awal mula konflik dalam Islam, bagaimana konflik yang terjadi antara Ali k.a dan Muawiyah, Ali k.a dengan Aisyah, Talkhah dan Zubair, bagaimana tuduhan terhadap al-Ghazali sebagai penyebab kemunduran peradaban Islam, apa arti masa keemasan Islam dan pengaruhnya terhadap renaissance di Barat.

Problematika Metodologi Penulisan Sejarah
Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., secara substansial, metode penulisan sejarah dapat dikategorikan menjadi dua, Old History (Sejarah Konvensional) dan New History (Sejarah Sosial). Penulisan sejarah yang bertipe old history mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
Berpegang teguh kepada metodologi sejarah an-sich. Dokumen menjadi pedoman dan sumber utama.
Uraiannya cenderung naratif dan diskriptif.
Bersifat ensiklopedis, sehingga kurang memperhatikan kedalaman informasi.
Lebih berorientasi kepada kepentingan politik dan elite penguasa.
Orientasinya ke Timur Tengah (Middle East).
Dengan beberapa ciri penulisan sejarah konvensional ini mengakibatkan suatu citra bahwa belajar sejarah itu membosankan, mengulang-ulang, identik dengan dunia Arab, Islam penuh dengan kekerasan dan Islam hanya di Timur-Tengah dan yang kelihatan hanya kelompok elite saja.
Oleh karena itu muncul model penulisan sejarah baru, New History (Sejarah Sosial). Disebut sejarah sosial, karena aspek-aspek sosial yang ditonjolkan komprehensif menyangkut masalah-masalah sosial. Adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut :
Munculnya relatif baru.
Tidak terlalu terikat dengan arsip-arsip / dokumen resmi. Sehingga sangat memungkinkan terbuka terhadap data-data baru yang lebih kuat.
Dalam menguraikan data disertai dengan analisis / interpretasi dengan memanfaatkan ilmu-ilmu lain, terutama ilmu-ilmu sosial sebagai pendukung.
Imaginatif, mengaitkan satu peristiwa dengan peristiwa lain.
Tidak berorientasi kepada politik dan dunia Timur Tengah. Obyek pembahasan meliputi dunia Islam secara keseluruhan.
Model penulisan sejarah New History ini merupakan alternatif penulisan sejarah baru. Penulisan sejarah ini selalu memperhatikan ilmu-ilmu lain sebagai bahan analisis. Ilmu-ilmu tersebut antara lain; Sosiologi, Antropologi, Geografi, Ekonomi dan sebagainya. Obyek yang ditulis dalam sejarah ini, bukan hanya pada kalangan elite saja, tetapi juga masyarakat pinggiran dan kalangan bawah, sejarah pembentukan kota, trend mode pakaian (jilbab) dan sebagainya.

Pendekatan Inquiry Discovery Learning
Di antara kelemahan metode dalam pengajaran sejarah Islam adalah berawal dari pendekatan yang dipakai. Pelajaran sejarah di sekolah cenderung disampaikan dengan pendekatan ekspositori. Dalam pendekatan ekspositori, guru memegang peranan yang sangat dominan dan sentral. Sementara siswa hanya aktif mencatat atau menghafal fakta-fakta historis yang terdapat dalam buku teks. Akibatnya siswa kurang mengerti apa sebetulnya yang diinginkan / tujuan mempelajari sejarah Islam. Pendekatan ekspositori dalam pengajaran sejarah menjadikan anak tidak kreatif , dan bosan dengan materi yang selalu diulang-ulang.
Untuk menutup kekurangan pada pendekatan di atas, maka muncul paradigma baru dalam pengajaran sejarah, yakni dengan Pendekatan Inquiry Discovey Learning. Pendekatan ini diilhami oleh Inquiry Training model dari Richard Suchman. Pada awalnya pendekatan ini diterapkan untuk pengajarn ilmu-ilmu eksakta, namun kemudian dikembangkan untuk pengajaran ilmu-ilmu social. Pendekatan ini sangat mengedepankan keaktifan dan kreativitas anak. Pendekatan ini bermanfaat terutama untuk pembentukan kemampuan berfikir induktif yang banyak diperlukan dalam kegiatan akademik.
Inquiry Discovery Learning adalah belajar mencari dan menemukan sendiri. Dalam system belajar-mengajar ini guru menyajikan bahan pelajaran tidak dalam bentuk yang final, dalam hal ini anak didik diberi peluang untuk mencari dan menemukan sendiri dengan mempergunakan teknik pendekatan pemecahan masalah.
Adapun garis besar prosedur pendekatan itu adalah sebagai berikut :
Simulation. Guru mulai bertanya dengan mengajukan beberapa persoalan kepada para siswa, atau siswa disuruh membaca buku untuk memecahkan persoalan yang diajukan oleh guru.
Problem Statement. Anak didik diberi kesempatan untuk mengidentifikasi beberapa masalah. Di antara masalah / problem yang paling banyak adalah yang menarik dan fleksibel untuk dipecahkan. Permasalahan yang dipilih itu kemudian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan (statement) sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan.
Data Collection. Untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan kebenaran hipotesis tersebut, siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literature, mengamati obyek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba dan sebagainya.
Data Processing. Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi dan sebagainya, kemudian diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasikan, kemudian ditafsirkan pada tinggkat kepercayaan tertentu.
Verification atau pembuktian. Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu kemudian dicek, apakah sudah terjawab, atau tidak, terbukti atau tidak.
Generalization. Tahap selanjutnya setelah verifikasi adalah diajak menarik sebuah kesimpulan atau generalisasi.
Dengan pendekatan ini siswa lebih mudah menghafal atau mengingat materi pelajaran. Daur proses pembelajaran dengan menjadikan siswa aktif dan merasa terikat untuk memperoleh informasi-informasi baru, sehingga hasil yang diperolehnya menjadi puas. Hanya kelemahannya adalah waktu yang diperlukan cukup lama dan perlu instruksi yang jelas. Oleh karena itu apabila instruksinya tidak jelas, dan tidak terarah, dapat menjurus ke kekacauan dan kekaburan materi yang dipelajari. Disamping itu, bahan-bahan penunjang, seperti kelengkapan buku diperpustakaan, dan kalau bisa ada VCD dan internet sehingga informasi yang dibutuhkan siswa lebih lengkap.

Penutup
Sejarah adalah bagian dari proses kehidupan. Suatu generasi akan dapat menghayati nilai-nilai kebaikan kalau mereka juga menghayati terhadap pentingnya sejarah. Untuk itu , materi sejarah sangat penting bagi pembentukan karakteristik siswa. Di antara faktor yang menentukan keberhasilan pengajaran sejarah Islam adalah pendekatan dan metode yang tepat dalam proses pengajaran. ***




DAFTAR PUSTAKA

· Amin, M. Masyhur, Dinamika Islam (Sejarah Transformasi dan Kebangkitan), Yogyakarta: LKPSM, 1995.
· Badri Yatim, Dr., M.A., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
· Badri Yatim, Drs., M.A., Materi Pokok Sejarah Kebudayaan Islam II, Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Depag RI bekerjasama dengan Universitas Terbuka, 1996.
· Fatah Syukur, Drs., M.Ag. Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Aliyah, makalah disampaikan dalam Penataran Metodologi Pembelajaran Madrasah Aliyah se-Jawa Tengah, di Magelang, 25 Nopember 1999.
· Haswinar, Drs., M.A., Antropologi Agama I; Ruang Lingkup Kajian Antropologi Agama, makalah disampaikan dalam Pelatihan Calon Tenaga Peneliti Agama, Jakarta: Balitbang Depag RI, 28 September 1996.
· Mahfudz Junaidi, Drs, M.Ag., Metodologi Pengajaran SKI Madrasah Aliyah, makalah disampaikan dalam Penataran Metodologi Pembelajaran Madrasah Aliyah se-Jawa Tengah, di Magelang, 25 Nopember 1999.
· Mas’ud, Abdurrahman, Ph.D., Pengajaran Kebudayaan Islam, dalam Metodologi Pengajaran Agama, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1999.

10 Januari 2008

Bulletin



Bulletin
NURUL JADID
Menuju Masyarakat Madani


Volume 2, No. 01, Januari 2008

MODERNISASI, DAN KENESTAPAAN MANUSIA MODERN

Modernisasi sering di identikkan dengan suatu tahap pencapaian peradaban suatu bangsa. Misalnya bangsa ini sudah modern cara hidupnya, karena peradabannya sudah tinggi. Namun dalam perkembangan nya istilah modernisasi sering ditafsirkan sebagai westerni sasi. Suatu bangsa dikata kan modern apabila cara hidupnya sebagaimana dilaku kan oleh orang-orang Barat. Pada awalnya mungkin tidak terlalu salah, karena secara realistis Dunia Barat sekarang ini menunjukkan keunggulan nya di bidang Ilmu Pengeta huan dan Teknologi sehing ga peradabannya juga tinggi. Akan tetapi bila modernisasi yang mengarah kepada westernisasi itu mencakup pola prilaku dan filsafat hidup dunia Barat, maka inilah yang akan menimbulkan problem baru.
Keunggulan intelektual Barat terutama terlihat dalam ilmu dan teknologinya. Sehingga peradaban Barat dipuja dan dinyatakan sebagai peradaban ideal. Dalam studinya, The Reformers of Egypt, M.N. Zaki Badawi mencatat dua jenis kelompok masyarakat yang menganggap peradaban Barat sebagai peradaban ideal, yaitu yang "Membaratkan Diri" dan “Golongan Sekularis” (Ziauddin Sardar, 1991:77). Reaksi pemba ratan diri adalah menerima secara total budaya Barat bersama dengan adopsi ilmu dan teknologinya. Pandangan ini antara lain dikemukakan oleh Thaha Hussain :"Mari kita ambil peradaban Barat ini dalam totalitasnya dan bersama seluruh aspeknya, semua yang baik maupun yang buruk". Panda ngan yang mendasar di sini adalah keyakinan mereka bahwa "kemajuanlah" yang penting, bukan agama. Karena itu agama dibatasi bidangnya, yaitu hanya dalam hubungan antara manusia sebagai individu dengan Tuhannya. Contoh lain adalah seperti yang dilakukan oleh Mustafa Kamal At Taturk, dengan sekularisasi di Turki.
minat terhadap agama sedang meningkat karena ilmu pengetahuan telah gagal mengawasi terhadap penyalah gunaan hasil pengetahuan itu sendiriSementara itu di antara tokoh-tokoh Barat sendiri justru banyak mengakui tentang kondisi kebobrokan mental akibat filsafat materi alisme yang dianut oleh Barat. Seperti yang dikata kan oleh Dr. Wern Vanbravoon dari Jerman, minat terhadap agama sedang meningkat karena ilmu penge tahuan telah gagal menga wasi terhadap penyalah gunaan ha-sil pengeta huan itu sendiri Menurut Dr.John A Stroner dari Amerika, , makro problema yang dihadapai Amerika sekarang ini, bukanlah masalah politik, apalagi ekonomi, tetapi masalah rohani, masalah spiritual yang paling mence maskan adalah kehancuran akhlaq yang merupakan wabah di kalangan generasi muda. Ini semua membuat mereka kehilangan makna dari tujuan hidup, mereka hanya mencari kesenangan (comfort) bukan kebahagiaan (happines). Dr. Mulder seorang guru besar dari Belanda mengatakan, bahwa peranan agama belum selesai (seperti yang dikatakan oleh bangsa Barat bahwa Tuhan telah mati), dengan alasan karena dunia Barat sekarang ini justru ada gejala beragama sebagai pengaruh agama timur seperti India, Jepang dan Indonesia. Ada kecenderungan yang menunjuk kan bahwa peranan agama semakin kuat (Nasikun, 1989).
Masalah sekularisme ada lah suatu yang sering diidentikkan dengan modernisasi oleh semen-tara orang yang terlalu terpengaruh oleh penga-laman seja-rah bangsa Barat. Faham ini dirintis dari Aliran Liberalis. Dari sini timbul segala ideologi-ideologi dari sistem sosial yang pada pada masyarakat. Tokoh Liberalis ini adalah John Locke, yang karena teori politiknya mendasarkan atas perlindungan kepada hak milik, maka faham ini akhirnya melahirkan sistem kapitalisme di negara-negara Barat. Dimana dalam pemerin tahan John Locke orang-orang, yang karena teori politiknya mendasarkan atas perlindungan kepada hak milik, maka faham ini akhrinya melahirkan sistem kapitalisme di negara-negara Barat. Orang-orang yang tidak mempunyai hak milik tidak memperoleh hak kewarganegaraan yang penuh. Hak milik dalam masyarakat industri yang maju sering diperoleh dengan cara tidak halal yang mirip dengan penindasan dan ekploitasi.
makro problema yang kita hadapai sekarang ini, bukanlah masalah politik, apalagi ekonomi, tetapi masalah rohani, masalah spiritual yang paling mencemaskan adalah kehancuran akhlaq yang merupakan wabah di kalangan generasi muda. Ini semua membuat mereka kehilangan makna dari tujuan hidup, mereka hanya mencari kesenangan (comfort) bukan kebahagiaan (happines).Faham kapitalisme yang lahir di Barat ini telah melahirkan revolusi industri dengan segala dampak positif dan negatifnya. Keadaan inilah yang telah merubah jaman feodal yang memberi ke-pastian peranan tiap orang, diganti dengan persaingan dan ketidakpastian. Ketenang an jiwa telah diganti dengan kegelisahan. Sebaliknya penderita penyakit jiwa yang mengganggu, atas nama kemanusiaan harus dilindungi. Setiap orang diha dapkan pada ketidakpastian terhadap dirinya dan anak cucunya. Mereka berlomba mencari harta sebanyak mungkin untuk melindungi diri dari ketidakpastian yang akan datang. Sikap hidup yang dipenuhi dengan kegelisahan inilah yang nampaknya menjadi fenomena manusia modern.
Ketegangan-ketegangan yang terjadi pada jaman modern ini antara lain disebabkan karena; kebutuhan hidup yang meningkat tajam, rasa indivi-uaistis dan egois, persa-ngan hidup semakain ketat dan keadaan yang tidak stabil. Akibat meningkatnya kebutuhan pada masya rakat modern itu maka orang dalam kehidupannya selalu me-ngejar waktu, mengejar benda, mengejar prestise. Semuanya itu akan mem bawanya kepada hidup seperti mesin, tidak mengenal istirahat dan ketentraman. Hidupnya dipenuhi oleh ketegangan perasaan (tension) karena keinginannya untuk meng-hindari perasaan tertekan, jika tidak tercapai semua yang tampak menggembirakan itu. Akibat lebih lanjut adalah timbulnya kegelisahan-kegelisa han yang kadang-gadang tidak jelas ujung pangkalnya. Kegelisahan (anxiety) itu akan menghilangkan kemampuan untuk merasakan kebaha-giaan di dalam hidupnya.
Hilangnya persaudaraan murni, akan membawa orang kepada rasa kesepian di tengah-tengah orang banyak. Perasaan kesepian ini akan menghilangkan rasa aman, yang membawa kepada kegelisahan dan kecurigaan dalam hidup.Ketika rasa untuk memenuhi kebutuhan priba-dinya sudah meningkat, maka yang muncul biasanya adalah rasa individualistis dan egois. Orang lebih mementingkan diri sendiri atau merasa bahwa ia perlu lebih terdahulu memikirkan kepentingan dirinya. Hubu-ngan persaudaraan yang berdasarkan kasih sayang dan cinta mencintai dalam masyarakat modern menjadi barang langka. Hu-bungan yang lazim adalah hubungan kepentingan , apakah itu hubungan bisnis, relasi jual-beli, dsb. Hilang-nya persaudaraan murni, akan membawa orang kepada rasa kesepian di tengah-tengah orang banyak. Perasaan kesepian ini akan menghilangkan rasa aman, yang membawa kepada kegelisahan dan kecurigaan dalam hidup. Psikiater Dadang Hawary (1993) mengemukakan, perubahan-perubahan yang cepat di satu fihak dengan ketidakmampuan manusia untuk mengikuti atau menyesuaikan diri dengan kecepatan perubahan-perubahan itu dapat menimbulkan ketegangan atau konflik psiko sosial (stres) dalam masyarakat, yang dapat dibagai dalam tiga golongan, yaitu ; perubahan nilai-nilai kultural, perubahan sistem okupa sional (peker jaan) dan konflik antar idealisme ser ta realita.
Di negara maju, akibat modernisasi dan industri alisasi, maka cara berfikir, berperasan dan berprilaku manusia telah mengalami proses dehumani sasi. Gejala the agony of modernization, yaitu azab sengsara karena modernisasi dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat antara lain : tidak adanya jaminan sosial, pengangguran, kriminalitas yang semakin meningkat, kekerasan, penyalah gunaan narkotika, zat ediktif, dan alkohol, kenakalan remaja, kehamilan remaja, prostitusi, judi, bunuh diri, gangguan jiwa, perkosaan, dan lain-lain
(Drs. H. Fatah Syukur NC, M.A.)
Bulletin Nurul Jadid diterbitkan secara berkala oleh Takmir Masjid Nurul Jadid Beringin Putih, Ngaliyan Semarang. Redaksi menerima artikel dan masukan yang bersifat membangun. Redkasi berhak mengedit tanpa mengurangi isi. Isi tulisan tidak mesti merepresentasikan pandangan redaksi.

09 Januari 2008

HIJRAH NABI

HIJRAH NABI, PENDIDIKAN ISLAM
DI MADINAH DAN PIAGAM MADINAH
Drs. H. Fatah Syukur NC, M.A.*)

Pendahuluan
Dalam perjalanannya mengemban wahyu Allah, Nabi memerlukan suatu strategi yang berbeda dimana pada waktu di Makkah Nabi lebih menonjolkan dari segi tauhid dan perbaikan akhlaq tetapi ketika di Madinah Nabi banyak berkecimpung dalam pembinaan/pendidikan sosial masyarakat karena di sana beliau di angkat sebagai Nabi dan kepala negara.
Persoalan yang dihadapi oleh Nabi ketika di Madinah jauh lebih komplek dibanding ketika di Makah. Di sini ummat Islam sudah berkembang pesat dan harus hidup berdampingan dengan sesama pemeluk agama yang lain, seperti Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu pendidikan yang diberikan oleh Nabi juga mencakup urusan-urusan muamalah atau tentang kehidupan bermasyarakat dan politik.

Hijrah Nabi ke Madinah (Yatsrib)
Setelah pristiwa Isra’ dan Mi’raj, suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah Islam. Perkembangan mana datang dari sejumlah penduduk Yatsrib yang berhaji ke Makkah. Mereka, yang terdiri dari suku ‘Aus dan Khazraj, masuk Islam dalam tiga gelombang. Pertama, pada tahun kesepuluh kenabian, beberapa orang Khazraj berkata kepada Nabi: “Bangsa kami telah lama terlibat dalam permusuhan, yaitu antara suku Khazraj dan ‘Aus. Mereka benar-benar merindukan perdamaian. Kiranya Tuhan mempersatukan mereka kembali dengan perantaraan engkau dan ajaran-ajaran yang engkau bawa. Oleh karena itu, kami akan berdakwah agar mereka mengetahui agama yang kami terima dari engkau ini”. Mereka giat mendakwahkan Islam di Yatsrib. Kedua, pada tahun kedua belas keNabian delegasi Yatsrib, terdiri dari sepuluh orang suku Khazraj dan dua orang suku ‘Aus serta seorang wanita menemui Nabi di suatu tempat bernama Aqabah. Di hadapan Nabi mereka menyatakan ikrar kesetiaan. Rombongan ini kemudian kembali ke Yatsrib sebagai juru dakwah dengan ditemani oleh Mus’ab bin Umair yang sengaja diutus Nabi atas permintaan mereka. Ikrar ini disebut dengan perjanjian “Aqabah pertama”. Pada musim haji berikutnya, jamaah haji yang datang dari Yatsrib berjumlah 73 orang. Atas nama penduduk Yatsrib, mereka meminta pada Nabi agar berkenan pinda ke Yatsrib. Mereka berjanji akan membela Nabi dari segala macam ancaman. Nabi pun menyetujui Aqabah kedua.
Tatkala gejala-gejala kemenangan di Yatsrib (Madinah) Nabi menyuruh para sahabatnya untuk berpindah ke sana. Dalam waktu dua bulan hampir semua kaum muslimin, kurang lebih 150 orang, telah meninggalkan kota makkah untuk mencari perlindungan kepada kaum muslimin yang baru masuk di Yatsrib.
Kaum Quraisy sangat terperanjat sekali setelah mereka mengetahui bahwa Nabi mengadakan perjanjian dengan kaum Yatsrib sehingga mereka khawatir kalau-kalau Muhammad dapat bergabung dengan pengikut-pengikutnya di Madinah dan dapat membuat markas yang kuat di sana. Kalau demikian terjadi, maka soalnya bukan hanya mengenai soal agama semata-mata, tetapi juga menyinggung soal ekonomi yang mungkin saja mengakibatkan kehancuran perniagaan dan kerobohan rumah tangga mereka karena kota Yatsrib terletak pada lin perniagaan mereka antara Makkah dengan Syam.
Bila penduduk Yatsrib bermusuhan dengan mereka maka perniagaan mereka dapat saja mengalami keruntuhan. Oleh karena itu salah satu jalan yang harus mereka tempuh ialah melakukan sesuatu tindakan yang menentukan agar dapat menumpas “keadaan buruk ini” yang akan mendatangkan bencana bagi agama dan pintu-pintu rizki mereka.
Setelah melihat dampak yang sangat besar yang dapat merugikan ekonomi dan perniagaan mereka maka mereka melakukan sidang untuk permasalahan tindakan apa yang harus mereka lakukan. Setelah melakukan persidangan akhirnya jalan satu-satunya ialah dengan membunuh Muhammad, tetapi bagaimana membunuhnya? Kaum keluarga Muhammad tentu tidak akan diam begitu saja mereka tentu saja akan membunuh pula siapa yang membunuh Muhammad. Akhirnya Abu Jahal menemukan ide yang paling aman yaitu: masing-masing kabila harus memilih seorang pemuda yang akan membunuh bersama-sama. Dengan demikian seluruh kabilah bertanggung jawab atas kematian Muhammad dan Bani Abu Manaf tidak mampu menuntut bela terhadap seluruh kabilah. Akirnya Bani Abu manaf akan menerima saja pembayaran yang dibayarkan oleh seluruh kabilah kepada mereka.
Fikiran ini mereka anggap paling aman, karena itu mereka siapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Pada suatu malam, waktu mereka mengetahui bahwa Muhammad berada di rumahnya, maka mereka mengirim pemuda-pemuda pilihan untuk mengepung rumahnya, dan bersiap untuk menyerbu dan membunuh Muhammad bilamana para penduduk telah tidur nyenyak. Akan tetapi perundingan dan komplotan mereka sudah disampaikan oleh Allah swt kepada Nabi, Allah memerintahkan Nabi hijrah ke Yatsrib. Nabi memberitahukan akan hal ini kepada Abu Bakar, dan Abu Bakar meminta kepada Nabi, supaya diizinkan menemani beliau dalam perjalanan ke Yatsrib. Nabi setuju, dan Abu Bakar mempersiapkan untuk perjalanannya. Kemudian Nabi menyuruh Ali bin Abi Tholib menempati tempat tidur beliau, supaya kaum musyrikin mengira bahwa beliau masih tidur. Kepada Ali diperintahkan juga, supaya mengembalikan barang-barang yang ditumpangkan kepada beliau, kepada pemiliknya masing-masing.
Ketika Nabi dan Abu Bakar keluar dari rumah, Nabi menserakkan pasir ke hadapan para kafir qurais dengan berkata: “Alangkah kejinya mukamu” seketika kafir Quraisy tak sadarkan diri dan mereka tidak mengetahui bahwa Nabi dan Abu Bakar telah keluar rumah.

Perjalanan dari Makkah ke Yatsrib (Madinah)
Adapun acara perjalan yang dilakukan Nabi itu, digambarkan oleh Ibnu Hisyam, sebagai berikut: Rasulullah datang dengan sembunyi-sembunyi ke rumah Abu Bakar, kemudian mereka berdua keluar dari pintu kecil di belakang pintu rumah, menuju sebuah Gua di bukit Tsur sebelah selatan kota Makkah lalu mereka masuk ke gua itu.
Dalam perjalanan ke Yatsrib Nabi ditemani oleh Abu Bakar. Ketika tiba di Quba, sebuah desa yang jaraknya sekitar lima kilometer dari Yatsrib, Nabi istirahat beberapa hari lamanya. Dia menginap di rumah Kalsum bin Hindun. Di halaman rumah ini Nabi membangun sebuah mesjid. Inilah masjid pertama yang dibangun Nabi, sebagai pusat peribadatan, tak lama kemudian, Ali menggabungkan diri dengan Nabi, setelah menyelesaikan segala urusan di Makkah. Semetera itu, penduduk Yatsrib menunggu-nunggu kedatanganya. waktu yang mereka tunggu-tunggu itu tiba. Nabi memasuki Yatsrib dan penduduk kota ini mengelu-elukan kedatangan beliau dengan penuh kegembiraan. Sejak itu, sebagai penghormatan terhadap Nabi, nama kota Yatsrib diubah menjadi Madinatul Muhawwarah (kota yang bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam memancar ke seluruh dunia. Dalam istilah sehari-hari, kota ini cukup disebut Madinah saja. Ketika Nabi sampai di Yatsrib dengan perasaan rindu dan perasaan yang amat mendalam mereka melayukan sebuah nyanyian yang terkenal
طلع البدر علينا من ثنيّا ت الوداع
وجب الشكر علينا ما دعا لله داع
أيّها المبعو ث فينا جئت بالا مر المطاع

Pendikan Islam di Madinah
Tanggapan orang-orang Madinah tentang kedatangan Nabi sangat di idam-idamkan. Orang-orang Madinah memeluk agama Islam dengan hati yang ikhlas, serta dengan tulus membantu Nabi dalam mensyiarkan agama Islam.
Matahari Islam pun bersinar di atas langit bersih kota Madinah dan cahayanya mulai memancar luas. Salah satu hasil pertamanya adalah keadaan perang yang telah lama mencekam dua kabila ‘Aus dan Khazaraj berubah menjadi keadaan damai dan persahabatan. Orang-orang muknim Madinah berkumpul di sekeliling Nabi dan perlahan-lahan kabilah-kabilah di wilayah Madinah pun memeluk agama Islam. Undang-undang Allah pun di wahyukan dan kemudian di wujudkan serta dipraktekan satu demi satu. Setiap hari, satu bentuk prilaku jahat tentu di basmi dan diganti dengan kesalehan dan keadilan. Perlahan-lahan orang-orang mukmin di Makkah yang dapat banyak gangguan dari orang-orang kafir setelah hijrahnya Rasulullah, meninggalkan rumah dan kehidupan mereka lalu pindah ke Madinah mereka di sambut hangat oleh saudara-saudara seagama di sana.
Orang-orang muslim yang tinggal di Makkah dan berangsur-angsur ke Madinah di kenal sebagai kaum Muhajirin (mereka yang hijrah) dan orang-orang muslim Madinah di kenal sebagai kaum Ansor (penolong). Kemajuan Islam yang pesat di Madinah itu menghawatirkan orang-orang kafir Makkah. Kebencian mereka terhadap Rasul dan kaum muslimin kian hari semakin bertambah dan orang-orang kafir itu berusha mencerai-beraikan mereka. Kaum muslimin, khususnya kaum muhajirin sangat marah terhadap orang-orang kafir Makkah. Mereka menunggu ijin dari Allah guna membahas orang-orang sang penindas itu, dan membebaskan wanita-wanita dan anak-anak yang tak berdosa serta orang-orang muslim yang malang yang masih disiksa di Makkah.
Adapun titik tekan pendidikan Islam pada periode Madinah adalah
a. Pembentukan dan Pembinaan masyarakat baru, menuju satu kesatuan sosial dan politk. Dalam hal ini Nabi melaksanakan pendidikan sebagai berikut :
1) Nabi mengikis habis sisa-sisa pemusuhan dan pertengkaran antar suku, dengan jalan mengikat tali persaudaraan di antara mereka.
2) Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, nabi menganjurkan kepada kaum Muhajirin untuk usaha dan bekerja sesuai dengan kemampuan dan pekerjaan masing-masing seperti waktu di Makkah.
3) Menjalin kerjasama dan tolong-menolong dalam membentuk tata kehidupan masyarakat yang adil dan makmur.
4) Shalat jum’at sebagai media komunikasi seluruh ummat Islam.
b. Pendidikan sosial dan kewarganegaraan. Pendidikan ini dilaksanakan melalui :
1) Pendidikan ukhuwah (persaudaraan) antar kaum muslimin.
2) Pendidikan kesejahteraan sosial dan tolong menolong.
3) Pendidikan kesejahteraan keluarga kaum kerabat.
c. Pendidikan anak dalam Islam. Rasullah selalu mengingatkan kepada ummatnya, antara lain
1) Agar kita selalu menjaga diri dan anggota keluarga dari api neraka.
2) Agar jangan meninggalkan anak dan keturunan dalam keadaan lemah dan tidak berdaya menghadapi tantangan hidup.
3) Orang yang dimuliakan Allah adalah orang yang berdoa agar dikaruniai keluarga dan anak keturunan yang menyenangkan hati.
Adapun bentuk-bentuk pendidikan anak dalam Islam sebagaimana digambarkan dalam Surat Luqman 13-19 sebagai berikut; 1) Pendidikan tauhid, 2) Pendidikan shalat, 3) Pendidikan sopan santun dalam keluarga, 4) Pendidikan sopan santun dalam m,asyarakat, 5) Pendidikan kepribadian.
d. Pendidikan Hankam dakwah Islam
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu, ia segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat. Dasar pertama, pembangunan mesjid, selain untuk tempat salat juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, di samping sebagai tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Mesjid pada masa Nabi bahkan juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan.
Dasar kedua, adalah ukhuwah Islamiyyah, persaudaraan sesama muslim. Nabi mempersaudarakan antara golongan Muhajirin, orang-orang yang hijrah dari Makkah ke Madinah, dan Anshar, penduduk Madinah yang sudah masuk Islam dan ikut membantu kaum muhajirin tersebut. Dengan demikian, diharapkan, setiap muslim merasa terikat dalam suatu persaudaraan dan kekeluargaan. Apa yang dilakukan Rasulullah ini berarti menciptakan suatu bentuk persaudaraan yang baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan darah.
Dasar ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, di samping orang-orang Arab Islam, juga terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Dalam hijrah Nabi ke Madinah inilah puncak kejayaan Islam pada zamannya Rasulullah.

Piagam Madinah
Agar stabilitas masyarakat dapat di wujudkan Nabi Muhammad mengadakan ikatan perjanjian dengan Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas yang di keluarkan. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin, dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan negeri dari serangan luar. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa Rasulullah menjadi kepala pemerintahan karena menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas mutlak di berikan pada beliau. Dalam bidang sosial, dia juga meletakan dasar persamaan antara sesama manusia. Perjanjian ini, dalam pandangan ketatanegaraan sekarang, sering disebut dengan konstitusi Madinah.
Mengenai kapan penyusunan naskah piagam atau perjanjian tertulis itu dilakukan oleh Nabi tidak pasti, mengenai waktu dan tanggalnya. Apakah waktu pertama hijriyah atau sebelum waktu perang badar atau sesudahnya. Menurut Watt. Para sejarah umumnya berpendapat bahwa piagam itu dibuat pada permulaan periode Madinah tahun pertama hijrah. Well Husen menetapkannya sebelum perang badar sedangkan Hurbert Grimne berpendapat bahwa piagam itu dibuat setelah perang badar. Dan masih banyak lagi orang yang berpendapat tentang kapan penyusunan piagam Madinah.

Isi piagam
Ini adalah sebuah shahifah (piagam) dari Muhammad Rasulullah (yang mengatur hubungan) antara mu’min Quraisy dan Yatsrib (Madinah) dan orang-orang yang mengikuti, bergabung dan berjuang (jahadu) bersama-sama dengan mereka.
1. Mereka adalah satu masyarakat (ummah) yang mandiri, berbeda dari yang lain.
2. Muhajirin Quraisy, seperti kelaziman mereka masa lalu, bersama-sama (secara kelompok) membayar diyat di kalangan mereka sendiri, dan mereka (sebagai satu kelompok) menerima uang tebusan atas tawanan (tawanan) mereka, (ini harus dilaksanakan) dengan benar dan adil di antara para mu’minin.
3. Banu ‘Awf, seperti kelaziman mereka masa lalu bersama-sama (secara kelompok) membayar diyat. Setiap thaifah (sub-clan) menerima tebusan tawanan (tawanan) mereka. (ini harus dilakukan) dengan benar dan adil di kalangan semasa Mu’minin.
4. Banu al-Hadits, seperti kelaziman mereka masa lalu, bersama-sama (secara kelompok) membayar diyat. Setiap thaifah (sub clan) menerima tebusan tawanan (tawanan) mereka” : (ini barus dilakukan) dengan benar dan adil di kalangan sesama Mu’minin.
5. Banu Sa’idah, seperti kelaziman mereka masa lalu, bersama-sama (secara kelompok) membayar diyat. Setiap thaifah (sub-clan) menerima tebusan tawanan (-tawanan) mereka” : (ini barus dilakukan) dengan benar dan adil di kalangan sesama Mu’minin.
6. Banu Jusham, seperti kelaziman mereka masa lalu, bersama-sama (secara kelompok) membayar diyat. Setiap thaifah (sub-clan) menerima tebusan tawanan (-tawanan) mereka” : (ini barus dilakukan) dengan benar dan adil di kalangan sesama Mu’minin.
7. Banu al-Najar, seperti kelaziman mereka masa lalu, bersama-sama (secara kelompok) membayar diyat. Setiap thaifah (sub-clan) menerima tebusan tawanan (-tawanan) mereka” : (ini barus dilakukan) dengan benar dan adil di kalangan sesama Mu’minin.
8. Banu Amir ibn Awf, seperti kelaziman mereka masa lalu, bersama-sama (secara kelompok) membayar diyat. Setiap thaifah (sub-clan) menerima tebusan tawanan (-tawanan) mereka” : (ini barus dilakukan) dengan benar dan adil di kalangan sesama Mu’minin.
9. Banu al-Nabit, seperti kelaziman mereka masa lalu, bersama-sama (secara kelompok) membayar diyat. Setiap thaifah (sub-clan) menerima tebusan tawanan (-tawanan) mereka” : (ini barus dilakukan) dengan benar dan adil di kalangan sesama Mu’minin.
10. Banu al-Aws, seperti kelaziman mereka masa lalu, bersama-sama (secara kelompok) membayar diyat. Setiap thaifah (sub-clan) menerima tebusan tawanan (-tawanan) mereka” : (ini barus dilakukan) dengan benar dan adil di kalangan sesama Mu’minin.
11. Mu’minin tidak (diperkenankan) menyingkirkan orang yang berhutang tapi harus memberinya (bantuan) menurut kewajaran, bak untuk, (membayar) tebusan maupun untuk (membayar) diyat.
12. setiap Mu’min tidak diperkenankan mengangkat sebagai keluarga (halif) mawla (klien) dari seorang mu’min lainnya tanpa kerelaan (induk semangnya).
13. Mu’min yang takwa kepada Allah akan bermusuhan dengan siapa saja yang berbuat salah, atau merencanakan berbuat keonaran, dan/atau yang menyebarkan kejahatan, dan/atau yang berbuat dosa, dan/atau bersikap bermusuhan, dan/atau membuat kerusakan di kalangan Mu’minin. Semua orang akan turun tangan walaupun dia (yang berbuat jahat itu adalah) salah seorang anak mereka sendiri.
14. seorang mu’min tidak (perkenankan) membunuh seseorang Mu’min untuk kepentingan kafir, dan tidak (diperkenankan) juga berpihak kepada kafir ( dalam sengketanya dengan) seorang Mu’min.
15. lindungan Allah adalah satu, namun seseorang boleh memberikan perlindungan terhadap orang asing atas tanggung jawabannya sendiri. Sesama Mu’min adalah bersaudara; antara satu sama lain (wajib) bersama-sama menghadapi pengecilan orang luar.
16. siapa saja yahudi yang mau bergabung (berhak) mendapat bantuan dan persamaan (hak). Dia tidak boleh diperlakukan secara buruk dan tidak boleh pula memberikan bantuan kepada musuh-musuh mereka.
17. perdamaian (silm) (di kalangan) Mu’minin tidak dapat dibagi-bagi (dipecah-pecah). Tidak diperkenankan membuat perdamaian terpisah di kalangan orang-orang Mu’minin sedang perang di jalan Allah. Persyaratan haruslah benar dan adil terhadap semua pihak.
18. dalam peperangan, setiap prajurit (kaveleri) harus mengambil gilirannya, saling susul-menyusul.
19. Mu’minin harus menuntut balas darah yang tertumpah di jalan Allah. Mu’min yang takwa kepada Allah akan mendapat nikmat bimbingan yangterbaik dan yang paling mulia.
20. Tidak ada musyrik (polytheis) yang akan mengambil milik atau diri oarng-orang Quraisy yang berada di bawah proteksinya, tidak pula dia campur tangan terhadap seseorang Mu’min.
21. Siapa saja yang menyebabkan terjadinya pembunuhan terhadap seseorang Mu’min tanpa alasan yang benar akan diambil tuntut balas, kecuali keluarganya rela dengan menerima diyat, dan Mu’min akan menghadapinya sebagai seorang oknum, dan mereka terikat untuk mengambil tindakan terhadapnya.
22. Adalah suatu perbuatan yang tidak diperkenankan (melanggar hukum) bagi Mu’min yang diberlakukan piagama ini dan beriman kepada Allah serta hari Kiamat, membantu kejahatan dan atau melindunginya. Jika dia melakukannya, maka laknat dan kemurkaan Allah akan menimpa dirinya pada hari bangkit nanti; dan tidak ada taubat serta tebusan yang diterima lagi darinya.
23. Kapan saja terjadi perselisihan paham tentang sesuatu masalah di antara anda (orang-orang yang terikat dengan piagam ini), haruslah dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya (untuk diselesaikan).
24. Yahudi akan menyokong biaya perang selama (dan sepanjang) mereka (ikut) berperang bersama-sama Mu’min.
25. Yahudi Banu Awf adalah satu umat dengan Mu’min (Yahudi berada dalam agama mereka dan Muslim dalam agama mereka sendiri), (termasuk) orang-orang merdeka di kalangan mereka dan pribadi-pribadi mereka, kecuali mereka yang berperilaku tidak benar dan jahat, karena mereka mengikuti orang-orang yang di luar mereka dan keluarga mereka.
26. Hal yang sama (seperti tersebut pada pasal 25) diberlakukan juga terhadap orang-orang Yahudi Banu al-Najjar.
27. hal yang sama (seperti tersebut pada pasal 25) diberlakukan juga terhadap orang-orang yahudi banu al-Harits.
28. hal yang sama (seperti tersebut pada pasa 25) diberlakukan juga terhadap orang-orang banu Sa’idah.
29. Hal yang sama (seperti tersebut pada pasal 25) diberlakukan juga terhadap orang-orang Yahudibanu Jusham
30. Hal yang sama (seperti tersebut pada pasal 25) diberlakukan juga terhadap orang-orang Yahudi banu al-Aws
31. Hal yang sama (seperti tersebut pada pasal 25) diberlakukan juga terhadap orang-orang Yahudi banu Tsa’labah.
32. Hal yang sama (seperti tersebut pada pasal 25) diberlakukan juga terhadap orang-orang Yahudi banu Jafnah thehaifah (Sub-clan) dari banu Tsa’labah, (dan) ; 33.
33. Hal yang sama (seperti tersebut pada pasal 25) diberlakukan juga terhadap orang-orang Yahudi as Syutaibah.

Loyalitas adalah satu perlindungan terhadap pengkhianatan.
34. Mawla Banu Tsa’labah adalah seperti mereka sendiri.
35. Teman dekat (bithanah) orang-orang yahudi adalah seperti mereka sendiri.
36. Tidak boleh seorang pun (anggota ummah) pergi berperang tanpa izin Muhammad saw., namun mereka tidak dicegah mengambil tindakan balas terhadap luka yang diderita oleh seseorang (di antara mereka). Orang yang membunuh seseorang tanpa peringatan (terlebih dahulu sama artinya dengan)membunuh dirinya sendiri dan anak isterinya, kecuali (pembunuhan itu dilakukan) terhadap seseorang yang telah berbuat jahat terhadapnya; karena (hal seperti itu) Allah akan menerimanya.
37. Yahudi memikul beban biaya mereka sendiri, demikian juga Muslim memikul beban biaya mereka sendiri pula. Setiap pihak harus membantu pihak lain terhadap siapa pun yang menyerang orang-orang yang tersebut dalam piagam ini. Mereka harus nasehat menasehati dan berkonsultasi yang saling menguntungkan; (dan)
Loyalitas adalah satu perlindungan terhadap pengkhianatan.
38. Seorang angota aliansi tidak mempunyai tanggung jawab hukum terhadap kejahatan yang dilakukan oleh orang aliansinya orang yang dizalimi harus dibantu.
39. Yatsrib akan menjadi tempat suci (pusat pemerintahan) bagi orang-orang tersebut dalam piagam ini.
40. Orang asing yang berada di bawah perlindungan (jar) sama seperti si pelindungnya (sendiri), tidak melakukan hal-hal yang berbahaya dan terlibat dalam kejahatan.
41. Seseorang perempuan hanya bisa diberikan perlindungan (tujar) jika ada kerelaan dari keluarganya.
42. Seandainya ada perselisihan, atau perdebatan yang berkepanjangan yang bisa menimbulkan kesulitan haruslah dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah menerima apa yang paling dekat kepada kesalehan dan kebajikan dalam piagam ini.
43. Quraisy (jahili) dan penolong-penolongnya tidak boleh diberikan perlindungan.
44. Pihak-pihak yang terikat dalam persetujuan (ini), berkewajiban untuk saling membantu melawan penyerangan terhadap Yatsrib.
45. jika mereka diminta untuk membuat perdamaian dan menjaga perdamaian, mereka haruslah melakukannya; dan jika mereka membuat sebuah tuntutan yang sama terhadap muslim, maka harus (pula) dilaksanakan, kecuali dalam hal jihad. Setiap orang akan mendapat bagiannya dari pihak di mana dia berada.
46. Yahudi dari al-‘Aws, orang-orang merdeka (di kalangan) mereka dan mereka sendiri, mempunyai kedudukan yang sama dengan orang-orang yang terikat Piagam ini dalam loyalitas yang murni dari orang-orang yang tersebut dalam piagam ini.
Loyalitas adalah sebuah perlindungan terhadap penghianatan
47. Seseorang yang memperoleh sesuatu (boleh) memilikinya sendiri.
Tuhan berkenan akan piagam ini. Piagam ini tidak akan melindungi orang yang berbuat jahat dan berdosa.
Orang yang pergi berperang dan orang yang tinggal di rumah di dalam kota adalah aman, kecuali yang berbuat jahat dan berdosa.
Allah adalah pelindung yang baik (baik) orang-orang yang takwa dan Muhammad adalah Rasul Allah.
Dari Piagam 47 butir Piagam Madinah menurut penomoran Schacht jelas terlihat beberapa asas yang dianut:
Pertama, Asas kebebasan beragama. Negara mengakui dan melindungi setiap kelompok untuk beribadah menurut agamanya masing-masing.
Kedua, Asas persamaan.
Semua orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat, wajib saling membantu dan tidak boleh seorang pun diperlakukan secara buruk. Bahkan orang yang lemah harus dilindungi dan dibantu.
Ketiga, Asas kebersamaan
Semua anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap negara.
Keempat, Asas keadilan.
Setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama dihadapa hukum. Hukum harus ditegakkan. Siapa pun yang melanggar harus terkena hukuman. Hak individu diakui.
Kelima, Asas perdamaian yang berkeadilan.
Keenam, Asas musyawarah.

*) Drs. H. Fatah Syukur NC., M.A. Dosen Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo (http//citraedukasi.blogspot.com atau e-mail citraedukasi@yahoo.com)