Ahlus Sunnah wal Jama'ah Sebuah Konsep Manhaji
Drs. H. Fatah Syukur NC, M.Ag.
Mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah 'Alaihi Asholatu wa Sallam dan para Sahabatnya r.a. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi saw dan para Sahabatnya r.a.
Ini merupakan salah satu aliran teologi dalam Islam yang timbul karena reaksi terhadap paham golongan Muktazilah, merupakan nama bagi aliran Asy'ariyah dan Maturidiah. Paham Muktazilah (aliran teologi Islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal) yang disebarkan pertama kali oleh Wasil bin Ata (80 H/699 M - 131 H/746 M) pada tahun 100 H/718 M berpengaruh dalam masyarakat. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada masa khalifah Abbasiyah, yaitu al-Ma'mun(198 H/813 M - 218 H/833 M), al-Mu'tasim (218 H/842 M-227 H/833 M), dan al-Wasiq(227 H/842 M - 233 H/847 M). Pengaruh ini semakin kuat ketika aliran Muktazilah dijadikan sebagai mazhab resmi yang dianut negara pada masa Khalifah al-Ma'mun.
Dalam penyebaran paham Muktazilah terjadi peristiwa yang membuat lembaran hitam dalam sejarah perkembangan Muktazilah itu sendiri. Khalifah al-Ma'mun dalam menerapkan prinsip amar ma'ruf nahi munkar melakukan pemaksaan paham Muktazilah kepada seluruh jajaran pemerintahannya, bahkan juga seluruh masyarakat Islam. Dalam pemaksaan paham Muktazilah ini banyak ulama yang menjadi panutan masyarakat menjadi korban penganiayaan. hal ini misalnya terjadi pada Imam Ahmad bin Hanbal, seorang yang berpegang teguh pada hadis Nabi SAW dan tidak mau menerima logika dalam pembuktian-pembuktian masalah-masalah akidah, yang harus mendapatkan siksaan karena sikap kuat dan konsistennya dalam mempertahankan prinsip bahwa Al-Qur'an itu bukanlah makhluk sebagaimana yang dianut oleh paham Muktazilah.
A. as-Sunnah
Secara etimologi berasal dari bahasa arab yaitu; ahlun berarti keluarga nabi, sahabat nabi dan orang yang berkompeten,arti dari assunnah adl. Ketentuan-ketentuan nabi, hadist, sedangkan al-jama’ah berarti kelompok, aliran, golongan.Secara istilah berarti suatu aliran atau golongan yang menganut dan berjalan dijalan nabi beserta sahabatnya.
Hubungan dengan PMII: Aswaja adalah sebagai manhaj alfiqr bagi PMII sehingga setiap tindakan dan gerakan PMII berlandaskan dari aswaja. Ciri-ciri aliran aswaja menurut Hasyim As’ary: Menganut empat madhab fiqih; imam Maliki, imam Hanafi, imam Hambali, imam Syafi’I, dan untuk madzhab tasawuf adalah imam Ghozali dan al-Khusairi sedang madzhab tauhid Abu al-Hasan al-asa’ry dan Abu Mansur al-Maturidzi.
As-Sunnah menurut bahasa adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk[1].
Sedangkan menurut ulama ‘aqidah, as-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah as-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengiku-tinya akan dipuji dan orang-orang yang menyalahinya akan dicela.[2]
Pengertian as-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbaly Rahimahullah (wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashry (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’iy (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H).” [3]
B. al-Jama'ah
Menurut bahasa disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haq/kebenaran, tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah.[4]
Jama’ah menurut ulama ‘aqidah adalah generasi pertama dari umat ini, yaitu kalangan Sahabat Nabi, Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran.[5]
Menurut Imam Abu Syammah: Kata Imam Abu Syammah as-Syafi’i Rahimahullah (wafat th. 665 H): “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya ialah ber-pegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallamj dan para Sahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka.”
Menurut Ibnu Mas'ud; Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud[6]:
“Artinya : Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.”[7]
Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mem-punyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.
Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaifah al-Manshuurah (golongan yang mendapatkan pertolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), Ghuraba’ (orang asing).
C. at-Thaifah al-Manshuurah
Tentang at-Thaifah al-Manshuurah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Senantiasa ada segolongan dari umatku yang selalu dalam kebenaran menegakkan perintah Allah, tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak menolongnya dan orang yang menyelisihinya sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.”[8]
D. al-Ghurabaa'
Tentang al-Ghurabaa’, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya : Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagai-mana awalnya, maka beruntunglah bagi al-Ghuraba’ (orang-orang asing).” [9]
Sedangkan makna al-Ghuraba’ adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu 'anhu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam suatu hari menerangkan tentang makna dari al-Ghuraba’, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya : Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada yang mentaatinya.” [10]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda mengenai makna al-Ghuraba’:
“Artinya : Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya manusia.” [11]
Dalam riwayat yang lain disebutkan:
“Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) sesudah dirusak oleh manusia.”[12]
E. Ahlul Hadits
Ahlus Sunnah, at-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan Ahlus Sunnah, at-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah dengan Ahlul Hadist suatu hal yang masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena penyebutan itu merupakan tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Hal ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti, ‘Abdullah Ibnul Mubarak, ‘Ali Ibnul Madiiny, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhary, Ahmad bin Sinan dan yang lainnya, Rahimahullah.[13]
Imam asy-Syafi’i[14] (wafat th. 204 H) Rahimahullah berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha mereka.”[15]
Imam Ibnu Hazm az-Zhahiri (wafat th. 456 H) menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah, “Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah Ahlul Haq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Shahabat Radhiyallahu Ajma'in dan setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih, kemudian Ash-habul Hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam yang mengikuti mereka baik di timur maupun di barat.” [16]
F. Profil PMII
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972, PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Di antara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE (seorang jurnalis sekaligus politikus legendaris).
Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.
Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.
“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).
Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45.
Referensi
1. Lisanul ‘Arab (VI/399)
2. Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah (hal. 16)
3. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikaam (hal. 495) oleh Ibnu Rajab, tahqiq dan ta’liq Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, cet. II, Daar Ibnul Jauzy, th. 1420 H
4. Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqiidah
5. Syarah Khalil Hirras, hal. 61
6. Seorang Sahabat Nabi, nama lengkapnya ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib al-Hadzali, Abu ‘Abdirrahman, pimpinan Bani Zahrah. Beliau masuk Islam pada awal-awal Islam di Makkah, yaitu ketika Sa’id bin Zaid dan isterinya, Fathimah binti Khattab, masuk Islam. Beliau melakukan dua kali hijrah, mengalami shalat di dua kiblat, ikut serta dalam perang Badar dan perang lainnya. Beliau termasuk orang yang paling ‘alim tentang al-Qur'an dan tafsirnya sebagai-mana telah diakui oleh Nabi diakui oleh Nabi. Beliau dikirim oleh Umar bin Khattab ke Kufah untuk mengajar kaum muslimin dan diutus oleh Utsman bin Affan ke Madinah. Beliau wafat tahun 32 H. Lihat al-Ishaabah (II/368 no. 4954)
7. Al-Baa’its ‘alaa Inkaaril Bida’ wal Hawaadits hal. 91-92, tahqiq oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman, Syarah Ushuulil I’tiqaad karya al-Laalika-iy no. 160
8. HR. Al-Bukhari (no. 3641) dan Muslim (no. 1037 (174)), dari Muawiyah
9. HR. Muslim no. 145 dari Abu Hurairah
10. HR. Ahmad (II/177, 222), Ibnu Wadhdhah no. 168. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad (VI/207 no. 6650). Lihat juga Bashaairu Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajas Salaf hal. 125
11. HR. Abu Ja’far ath-Thahawy dalam Syarah Musykilul Atsaar (II/170 no. 689), al-Laalika-iy dalam Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah no. 173 dari Shabahat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhu. Hadits ini shahih li ghairihi karena ada beberapa syawahidnya. Lihat Syarah Musykiilul Atsaar (II/170-171) dan Silsilah Ahaadits as-Shahiihah no. 1273
12. HR. At-Tirmidzi no. 2630, beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dari ‘Amr bin ‘Auf
13. Sunan at-Tirmidzi, Kitaabul Fitan no. 2229. Lihat Silsilah Ahaadits ash-Shahiihah karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany Rahimahullah (I/539 no. 270) dan Ahlul Hadits Humuth Thaifah al-Manshurah karya Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly
14. Nama lengkap beliau, Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas al-Qurasyi asy-Syafi’i Rahimahullah, yang terkenal dengan sebutan Imam asy-Syafi’i, beliau punya hubungan nasab dengan anak paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang bertemu dengannya pada silsilah ‘Abdi Manaf. Beliau dilahirkan tahun 150 H. Para ulama sepakat bahwa beliau adalah orang yang tsiqah, amanah, adil, zuhud, wara’, ‘alim, faqih dan dermawan. Beliau wafat di Mesir th. 204 H dalam usia 54 tahun. Di antara kitab-kitab karya beliau adalah kitab al-Umm dalam bidang fiqih, ar-Risaalah dalam ushul fiqih dan lainnya. Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (X/5-99). Untuk menge-tahui lebih jelas tentang manhaj Imam asy-Syafi’i dalam masalah ‘aqidah dapat dilihat pada kitab Manhajul Imam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah karya Dr. Muham-mad bin ‘Abdil Wahhab al-‘Aqiil, cet. I-1419 H, dalam dua jilid.
15. Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (X/60)
16. Al-Fishaal fil Milaal wal Ahwaa’ wan Nihaal II/271-Daarul Jiil, Beirut.
31 Desember 2007
Sistem Nilai Budaya Pesantren
SISTEM NILAI DALAM BUDAYA ORGANISASI PENDIDIKAN DI PESANTREN
(Studi Tentang Interaksi Edukatif Kyai, Santri dan Keluarga Pesantren)
Oleh : Drs. H. Fatah Syukur, M.Ag.
A. Latar Belakang
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh dunia pendidikan dewasa ini adalah keringnya pendidikan nilai. Proses belajar yang terjadi di dalam lembaga pendidikan sudah didominasi oleh transfer of knowledge. Guru merasa selesai tugasnya setelah menyampaikan materi kepada siswanya. Sementara apakah apa yang dikatakan kepada siswa tersebut tercermin dalam prilakunya atau tidak itu urusan ke sekian. Contohnya guru menganjurkan berbuat baik pada orang lain, sementara ia sendiri tidak memberi teladan yang demikian. Guru melarang murid berkatan bohong, sementara ia sendiri sering berbohong, guru menganjurkan untuk hidup bersih dan rapi, tetapi dia tidak bisa memberi contoh yang baik. Kondisi semacam ini tentu sangat memprihatinkan.
Pendidikan nilai dalam proses pendidikan sangat penting. Sesuatu yang membedakan antara pengetahuan Barat dengan pengetahuan lain adalah terletak pada nilai. Muatan materi mungkin sama, namun nilainya belum tentu sama. Untuk menanamkan pendidikan nilai, maka proses penanamnya juga harus menggunakan pendekatan nilai. Ini berarti bahwa seorang guru akhlak, maka mutlak harus seorang yang berakhlak baik, demikian pula seorang guru hadits, maka ia harus orang yang percaya terhadap kebenaran hadits dan mampu melaksanakan isinya. Barangkali itulah yang dimaksud oleh pepatah Jawa, Guru hendaknya dapat digugu dan ditiru.
Di tengah kondisi krisis nilai dalam bidang pendidikan, barangkali pesantren merupakan alernatif yang perlu dikaji dan dijadikan contoh menerapkan pendidikan nilai dalam pembentukan kepribadian para santri. Proses pendidikan di pesantren berlangsung selama 24 jam dalam situasi formal, informal dan non formal. Kyai bukan hanya mentransfer pengetahuan, ketrampilan dan nilai, tetapi sekaligus menjadi model atau contoh bagi para santrinya. Dengan pendidikan nilai yang sedemikian rupa, pesantren telah banyak melahirkan para alumni yang memiliki pengetahuan keagamaan dan melaksanakan pengetahuan tersebut dalam kehidupannya, atau dengan kata lain ada integrasi antara ilmu dan amal.
Keberhasilan pesantren dalam mendidikan santrinya tersebut bukan suatu kebetulan, tetapi ada nilai-nilai yang mendasarinya. Owens (1995:81) menyodorkan dimensi soft yang berpengaruh terhadap kinerja individu dan organisasi, yaitu nilai-nilai (values), keyakinan (biliefs), budaya (culture), dan norma perilaku. Nilai-nilai adalah pembentuk budaya, dan merupakan dasar atau landasan bagi perubahan dalam hidup pribadi atau kelompok.
Dalam hubungannya dengan pesantren, pemahaman santri terhadap ajaran agamanya, menuntut mereka untuk berperilaku sesuai dengan esensi ajaran agamanya, dalam kajian budaya (organisasi), wujud kebudayaan tingkat pertama, yaitu kebudayaan ideal, termasuk dalam hal ini ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Sedang lapisan yang paling tinggi tingkatannya disebut dengan sistem nilai budaya yang biasanya berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Sistem nilai budaya sebagai wujud kebudayaan ideal yang paling abstrak berada dalam pikiran warga masyarakat (pesantren) di mana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Dalam dimensi ini, sistem nilai budaya yang berkembang dalam alam pikiran umat beragama itulah yang menuntun perilaku mereka, termasuk dalam pengelolaan pesantren dan interaksinya dengan komunitas internal dan eksternal pesantren.
Berangkat dari latar belakang masalah tersebut banyak hal-hal menarik dan perlu dikaji dari dunia pesantren terutama yang menyangkut sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren yang mendasari pola fikir dan akitivitas dalam merespon perkembangan budaya di pesantren dan di luar pesantren. Secara lebih spesifik, pola fikir dan aktivitas yang terpancar dari sistem nilai tersebut antara lain tercermin dalam: (1) Pola pembelajaran di pesantren, (2) Semangat pengabdian di pesantren, (3) Pola hubungan santri dengan kyai, santri dengan keluarga kyai, santri dengan santri dan santri dengan masyarakat, dan (4) Pola pemikiran dunia pesantren dalam merespon perubahan sosial, ekonomi, dan politik.
B. Fokus Penelitian
Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka fokus yang diteliti dalam penelitian ini adalah : Sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren yang meliputi Pesantren Raudlatuth Thalibin, dan Pesantren Luhur Kota Semarang.
Fokus tersebut kemudian dirinci menjadi tiga sub fokus, yaitu:
Karakteristik budaya organisasi pada dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang
Ragam nilai dalam budaya organisasi pesantren yaitu Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang
Sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yaitu Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang.
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian, secara umum tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah menemukan sekaligus mendeskripsikan sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren, yaitu Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang
Tujuan tersebut kemudian dijabarkan ke dalam tujuan khusus, yakni sebagai berikut:
1. Ingin mengetahui karakteristik budaya organisasi di dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang.
2. Ingin mengetahui ragam nilai dalam budya organisasi di dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang
3. Ingin mengetahui sistem nilai dalam budaya organisasi di dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang
4. Ingin mengetahui perbedaan sistem nilai dalam budaya organisasi di Pesantren Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis :
a. Memberi gambaran tentang sistem nilai pada pesantren dan yang dikembangkan sehingga dapat menjadi acuan para penyelenggara dan pengelola pesantren khususnya dan pendidikan pada umumnya.
b. Memberi masukan kepada Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional, Yayasan Pendidikan, dan Organisasi Keagamaan yang menyelenggarakan pendidikan dalam memajukan lembaga pendidikan berdasarkan sistem nilai.
2. Manfaat Teoritis :
a. Secara konseptual dapat memperkaya teori manajemen pendidikan (pesantren) terutama yang berkaitan dengan sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yang dibangun dari dua kasus dalam penelitian ini.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi peneliti berikutnya / peneliti lain yang ingin mengkaji lebih mendalam dengan topik dan fokus serta setting yang lain untuk memperoleh perbandingan sehingga memperkaya temuan-temuan penelitian.
E. Metode Penelitian
Sebagai penelitian studi kasus, maka langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) melakukan pengumpulan data pada kasus pertama, yaitu Pesantren Raudlattolibin Semarang. Penelitian ini dilakukan sampai pada tingkat kejenuhan data, dan selama itupula dilakukan kategorisasi dalam tema-tema untuk menemukan konsepsi tematik menganai sistem nilai dalam budaya orgnisasi di pesantren tersebut; (2) melakukan pengamatan pada kasus kedua, yaitu Pesantren Luhur Mangkang Semarang. Tujuannya adalah untuk memperoleh temuan konseptual mengenai sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren tersebut.
Berdasarkan temuan konseptual dari kedua pesantren tersebut, selanjutnya dilakukan analisis komparasi dan pengembangan konseptual untuk mendapatkan abstraksi tentang karakteristik budaya organisasi, ragam nilai, dan sistem nilai dari kedua pesantren tersebut. Dalam hal ini dilakukan analisis termodifikasi sebagai suatu cara mengembangkan teori dan mengujinya .
Dalam penelitian ini berusaha untuk memahami makna peristiwa serta interaksi orang dalam situasi tertentu. Untuk dapat memahami makna peristiwa dan interaksi orang, digunakan orientasi teoritik atau perspektif teoritik dengan pendekatan fenomenologis (phenomenological approarch).
Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengamati fenomena-fenomena dunia konseptual subjek yang diamati melalui tindakan dan pemikirannya guna memahami makna yang disusun oleh subjek sekitar kejadian sehari-hari. Peneliti berusaha memahami subjek dari sudut pandang subjek itu sendiri, dengan tidak mengabaikan penafsiran, dengan membuat skema konseptual. Menurut Weber, pendekatan fenomenologi disebut verstehen apabila mengemukakan hubungan antara gejala-gejala sosial yang dapat diuji, bukan pemahaman empirik semata. Dengan menggunakan metode Verstehen ini, peneliti dapat memahami secara emik konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai, ide-ide, gagasan-gagasan, dan norma-norma yang berlaku di tiga pesantren tersebut, sehingga tidak terjadi kekeliruan penafsiran atas makna objek yang diteliti.
Kecuali pendekatan fenomenologis, mengingat penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren, maka untuk memahami perbedaan budaya yang muncul pada masing-masing pesantren digunakan pula orientasi teoritik dengan pendekatan budaya untuk memahami hakekat sudut pandangnya, keterkaitan dengan kehidupan, dan untuk mengungkap visinya mengenai dunianya.
Dalam mengumpulkan data, peneliti memakai tiga prosedur, yaitu wawancara mendalam, observasi partisipan dan studi dokumentasi. Data-data yang didapat dari wawancara, observasi dan dokumentasi kemudian dianalisis. Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang telah dihimpun oleh peneliti. Kegiatan analisis dilakukan dengan menelaah data, menata, membagi menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, mensintesis, mencari pola, menemukan apa yang bermakna, dan apa yang diteliti dan dilaporkan secara sistematik.
F. Kajian Teoritis
1. Sistem Nilai
Menurut Rokeach dan Bank (Chabib Thoha, 1996) nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dimana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Ini berarti berhubungan dengan pemaknaan atau pemberian arti suatu obyek.
Nilai juga dapat diartikan sebagai sebuah pikiran (idea) atau konsep mengenai apa yang dianggap penting bagi seseorang dalam kehidupannya. Selain itu, kebenaran sebuah nilai juga tidak menuntut adanya pembuktian empirik, namun lebih terkait dengan penghayatan dan apa yang dikehendaki atau tidak dikehendaki, disenangi atau tidak disenangi oleh seseorang. Allport, sebagaimana dikutip oleh Kadarusmadi (1996:55) menyatakan bahwa nilai merupakan kepercayaan yang dijadikan preferensi manusia dalam tindakannya. Manusia menyeleksi atau memilih aktivitas berdasarkan nilai yang dipercayainya.
Oleh karena itu, nilai terdapat dalam setiap pilihan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang baik berkaitan dengan hasil (tujuan) maupun cara untuk mencapainya. Dalam hal ini terkandung pemikiran dan keputusan seseorang mengenai apa yang dianggap benar, baik atau diperbolehkan.
Nilai-nilai penting untuk mempelajari perilaku organisasi karena nilai meletakkan fondasi untuk memahami sikap dan motivasi serta mempengaruhi persepsi kita. Individu-individu memasuki suatu organisasi dengan gagasan yang dikonsepsikan sebelumnya mengenai apa yang seharusnya dan tidak seharusnya.
DR. Rohmad Mulyono (2004:25) mengklasifikasi nilai ke dalam empat macam: (1) nilai instrumental dan nilai terminal; (2) nilai instrinksik dan nilai ekstrinsik; (3) nilai personal dan nilai sosial; dan (4) nilai subyektif dan nilai obyektif.
Selanjtunya Spranger (Allport, 1964) menjelaskan adanya enam orientasi nilai yang sering dijadikan rujukan oleh manusia dalam kehidupannya. Dalam pemunculannya, enam nilai tersebut cenderung menampilkan sosok yang khas terhadap pribadi seseorang. Karena itu, Spanger merancang teori nilai itu dalam istilah tipe manusia (the types of man), yang berarti setiap orang memiliki orientasi yang lebih kuat pada salah satu di antara enam nilai yang terdapat dalam teorinya. Enam nilai yang dimaksud adalah nilai teoretik, nilai ekonomis, nilai estetik, nilai sosial, nilai politik, dan nilai agama.
Perilaku manusia sehari-hari pada dasarnya ditentukan, didorong atau diarahkan oleh nilai-nilai budayanya. Nilai yang dominan akan memunculkan perilaku yang dominan dalam kehidupan manusia yang membuat manusia berbudaya. Menurut Koentjaraningrat, (1994), dalam kontek yang lebih mendasar, perilaku individu maupun masyarakat pada hakekatnya dipengaruhi oleh sistem nilai yang diyakininya. Sistem nilai tersebut merupakan jawaban yang dianggap benar mengenai berbagai masalah dalam dalam hidup.
Dalam dunia pesantren, nilai-nilai yang dikembangkan dirujukkan kepada sumber-sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an, Hadits dan Ijtihad. Pemahaman terhadap sumber-sumber ajaran Islam tersebut kemudian melahirkan disiplin ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf. Aspek fiqih mazhab, tauhid dan tasawuf sangat mengakar dalam kultur pesantren yang selanjutnya dilihat sebagai suatu bangunan sistem nilai yang dikenal dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Yasmadi, 2002:92). Konsep-konsep tentang tawazun (keseimbangan dan harmoni masyarakat), dan juga al-adalah (berkeadilan), tawasuth (moderat), dan tasammuh (menjaga perbedaan dan pluralisme dengan penuh toleransi) merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai sebuah sistem nilai yang dianut oleh sebagian besar pesantren banyak mempengaruhi terhadap pola pikir dan perilaku yang dipraktekkan di pesantren, baik dalam interaksi internal maupun eksternal pesantren.
2. Budaya Organisasi
Istilah “budaya” mula-mula berkembang dalam disiplin antropologi sosial. Budaya sebagaimana software yang berada dalam otak manusia, yang menuntun persepsi, mengidentifikasikan apa yang dilihat, mengarahkan fokus pada suatu hal, serta menghindar dari orang lain.
Budaya diartikan sebagai “totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan suatu masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama” (Kotter&Heskett, 1992:4). Selain itu kebudayaan juga diartikan sebagai norma-norma perilaku yang disepakati olek sekelompk orang uuntuk bertahan hidup dan berada bersama (Farid, E.&Philip, RH. 1997). Secara sederhana, kebudayaan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan yang digunakan oleh manusia sebagai pedoman untuk memahami lingkungannya dan sebagai pedoman untuk mewujudkan tindakan dalam menghadapi lingkungannya.
Koentjaraningrat (1989) menyebutkan unsur-unsur universal dari kebudayaan adalah meliputi: (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi kemasyarakat, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian, (7) sistem teknologi dan peralatan. Selanjutnya dijelaskan bahwa budaya mempunyai tiga wujud, yaitu kebudayaan sebagai: (1) suatu komplek ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (2) suatu kompleks aktivitas kelakuan dari manusia dalam masyarakat; dan (3) sebagai benda-benda karya manusia.
Tiga macam wujud budaya di atas, dalam konteks organisasi disebut dengan budaya organisasi (organizational culture). Dalam kontek perusahaan, diistilahkan dengan budaya perusahaan (corporate culture), dalam lembaga pendidikan/sekolah disebut dengan budaya sekolah (school culture) dan dalam pesantren dapat dikatakan sebagai budaya pesantren (pesantren culture).
Budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu.
Riset terbaru mengemukakan tujuh karakteristik primer berikut yang bersama-sama, menangkap hakekat dari budaya suatu organisasi (J.A. Chatman dan K.A. John, 1994):
a. Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauhmana para karyawan didorong untuk inovasi dan mengambil resiko.
b. Perhatian ke rincian. Sejauhmana para karyawan diharapkan memperhatikan presisi (kecermatan), analisis, dan perhatian kepada rincian.
c. Orientasi hasil. Sejauhmana manajemen memfokus pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil.
d. Orientasi orang. Sejauhmana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu.
e. Orientasi tim. Sejauhmana kegiatan kerja diorganisasikan sekita tim-tim, bukannya individu-individu.
f. Keagresifan. Sejauhmana orang-orang itu agresif dan kometitif dan bukannya santai-santai.
g. Kemantapan. Sejauhmana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.
Masing-masing ciri ini dalam sebuah kontinum dari rendah sampai tinggi. Oleh karena itu dengan menilai organisasi tersebut dari ketujuh dimensi ini orang akan mendapatkan gambaran mejemuk tentang budaya organisasi tersebut.
Pengaruh budaya terhadap kinerja organisasi dapat dilihat dari dimensi manajemen, anggota secara kelompok, dan anggota secara individual. Budaya organisasi merupakan determinan bagi perilaku manajemen, disamping struktur, kepemimpinan, dan lingkungan eksternal.
Dari sudut anggota secara kelompok, budaya organisasi akan memberikan arah (direction) dalam menemukan cara-cara untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini budaya organisasi dapat memberikan pengaruh positif atau negatif, tergantung kecocokan (compatible) atau tidaknya budaya tersebut dengan perkembangan lingkungan internal maupun eksternal. Selain itu, budaya organisasi yang tersebar merata pada semua anggota organisasi, akan memberikan citra mengenai lembaga tersebut di mata customer.
Secara individual, budaya organisasi yang meresap dengan kita pada masing-masing anggota, akan menumbuhkan komitmen, sebagaimana dicontohkan suatu sekte keagamaan dapat mempengaruhi pengikutnya untuk melakukan bunuh diri secara sukarela. Komitmen di sini diartikan sebagai suatu kondisi di mana anggota organisasi memberikan kemampuan dan loyalitas tertingginya kepada organisasi, yang dengan itu mereka mendapatkan kepuasan (Hodge & Anthony, 1988).
3. Budaya Pesantren
Karakteristik utama budaya pesantren di antaranya adalah:
a. Modeling
Modeling dalam ajaran Islam bisa diidentikkan dengan uswatun hasanah atau sunnah hasanah yakni contoh yang ideal yang selayaknya atau seharusnya diikuti dalam komunitas ini. Tidak menyimpang dari ajaran dasar Islam, modeling dalam dunia pesantren agaknya lebih diartikan sebagai tasyabbuh:
Jika dalam dunia Islam, Rasulullah adalah pemimpin dan panutan sentral yang tidak perlu diragukan lagi, dalam masyarakat santri Jawa kepemimpinan Rasulullah diterjemahkan dan diteruskan oleh para Walisongo yang dikemudian hari sampai kini menjadikan mereka sebagai kiblat kedua setelah Nabi. Telah dimaklumi bersama bahwa Masjid Demak yang diresmikan oleh Sunan Kalijaga pada tanggal l Dzul Qa`dah 1428, pada umumnya disepakati sebagai masjid pertama di tanah Jawa dan dibangun sebelum Kerajaan Demak berdiri. Upaya mendahulukan pendirian Masjid sebelum negara Demak pada hakikatnya sama dengan upaya Nabi mendirikan Masjid Quba di Madinah sebelum kota suci ini dijadikan negara bagi seluruh penduduknya yang plural. Bagi umat Islam, Masjid adalah lambang dan perwujudan akhirat yang statusnya tentu lebih mulia dari gemerlapan duniawi dalam berbagai macam daya pikatnya. Dengan analogi ini, bisa difahami bila sebagian besar `ulama Jawa menjustifikasi apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dengan pendirian masjidnya sebagai bagian dari pelaksanaan Sunnah Nabi: yakni sebuah modeling par excellence.
Yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa modeling mengikuti seorang tokoh pemimpin merupakan bagian penting dalam filsafat Jawa. Walisongo yang menjadi kiblat kaum santri tentu berkiblat pada guru besar dan pemimpin Muslimin, Nabi Muhammad saw. Kekuatan modeling didukung dan sejalan dengan value sistem Jawa yang mementingkan paternalism dan patron-client relation yang sudah mengakar dalam budaya masyarakat Jawa
Para Walisongo selalu loyal pada missinya sebagai penerus Nabi yang terlibat secara fisik dalam rekayasa sosial. Misi utama mereka adalah menerangkan, memperjelas, dan memecahkan persoalan-persoalan masyarakat, dan memberi model ideal bagi kehidupan sosial agama masyarakat. Model Walisongo yang diikuti para `ulama dikemudian hari telah menunjukkan integrasi antara pemimpin agama dan masyarakat yang membawa mereka pada kepemimpinan protektif dan efektif. Approach dan wisdom Walisongo kini terlembagakan dalam esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejarahannya. Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan filosofis dan keagamaan antara taqlid dan modeling bagi masyarakat santri. Melalui konsep terakhir inilah keagungan Muhammad saw serta kharisma Walisongo, yang dipersonifikasikan oleh para auliya dan kiyai, telah terjunjung tinggi dari masa ke masa. Bahwa pendidikan Islam Walisongo ditujukan pada massa ini bisa dilihat pada rekayasa mereka terhadap pendirian pesantren. Pendidikan yang merakyat ini tidak diragukan lagi adalah induk pendidikan Islam di Indonesia atau the mother of Muslim educational institution. Pendekatan pendidikan Walisongo dewasa ini telah tersosialisasi secara luas dalam komunitas ini seperti kesalehan sebagai cara hidup kaum santri, serta pemahaman dan pengarifan terhadap budaya lokal.
Meskipun demikian pendidikan Islam Walisongo juga ditujukan pada penguasa. Keberhasilan Walisongo terhadap pendekatan yang terakhir ini biasanya terungkap dalam istilah populer “Sabdo Pandito Ratu” yang berarti menyatunya pemimpin agama dan pemimpin negera. Dengan kata lain dikotomi atau gap antara ulama dan raja tidak mendapatkan tempat dalam ajaran dasar Walisongo. Hal ini sesuai dengan watak dasar agama tauhid ini yang tidak memberi ruang pada sekularisme. Ajaran ini adalah warisan Sunan Kalijaga, sebagai grand designer yang telah mewariskan sistem Kabupaten di Jawa tipikal dengan komponen-komponen kabupaten, alun-alun, dan masjid agung. Ajaran ini dikemudian hari dipopulerkan oleh Sultan Agung. Menarik untuk dijadikan renungan sejarah bahwa barangkali masjid-masjid "agung" di Jawa saat ini, adalah bentuk modeling yang tidak disadari atas historisitas peninggalan Sultan Agung. Hubungannya bukan sekedar terdapat pada nama "agung" yang telah menyejarah dan melegenda, melainkan juga pada substansi dan format al-madinah al-fadilah ini.
Seperti yang telah disinggung di atas, pendidikan Walisongo mudah ditangkap dan dilaksanakan. Hal ini selaras dengan ajaran Nabi wa khatibinnas `ala qodri `uqulihim. Pola pendidikan ini terlihat dalam rumusan naskah Islam Jawa klasik “arep atatakena elmu, sakadare den lampahaken”(Carilah ilmu yang bisa engkau praktekan, terapkan). Pendekatan ini pula yang mengantarkan pendidikan Islam melalui media wayang yang begitu merakyat. Ajaran rukun Islam dengan demikian bisa ditemukan dalam cerita perwayangan, seperti syahadatain sering dipersonifikasikan dalam tokoh Puntadewa, tokoh tertua di antara Pandawa dalam kisah Mahabarata. Puntadewa (syahadatain) digambarkan sebagai raja adil yang tulus ikhlas bekerja untuk kesejahteraan rakyat, yakni pemimpin yang konsisten kata dan perbuatannya. Tingkah laku yang tidak munafik ini adalah refleksi tindakan dan ucapan kaum beriman atau “lips of faith.” Ajaran Islam yang diperagakan melalui media wayang merupakan model yang mudah dicontoh. Modeling dalam dunia pesantren memang tidak terbatas pada satu dimensi kehidupan. Hal ini sekaligus memberi indikasi bahwa masyarakat ini senantiasa membutuhkan model kepemimpinan yang ideal dalam segala bentuk dan zaman.
b. Cultural resistance
Mempertahankan budaya dan tetap bersandar pada ajaran dasar Islam adalah budaya pesantren yang sudah berkembang berabad-abad. Sikap ini tidak lain merupakan konsekuensi logis dari modeling. Disayangkan bahwa hampir belum ada ilmuwan yang memusatkan perhatian pada tiga aspek ini secara proporsional. Konsepsi ini bahkan sering disalahfahami oleh sarjana-sarjana Barat seperti penghampiran mereka yang lebih memusatkan perhatian pada sinkretisme Islam atau juga studi yang lebih menekankan wajah Hindhu-Budha sebagai induk budaya Jawa sementara Islam dipandang sebagai anak budaya. Dengan kata lain meskipun Islamisasi telah terjadi di sini sejak abad 14, Islam masih dipandang sebagai baju atau kulit luar budaya Jawa. Kesalahan ini sering disebabkan oleh ketidak mampuan mereka dalam memahami teks-teks standar Sunni Islam, misalnya konsep tentang inovasi al muh}a>faz}at ala> qadi>m al s}a>leh wa al akhz}u bi al jadi>d al as}lah (menjaga suatu tradisi yang baik dan mengambil tradisi yang lebih baik). Hal ini bisa dimaklumi karena sebagian besar mereka yang mempelajari Islam Jawa hanya dilengkapi dengan ilmu-ilmu sosial khususnya antropologi. Dengan kata lain mereka tidak memiliki disiplin ilmu Islamic Studies. Mereka yang banyak belajar kajian ke-Islaman seperti Prof. A.H. John dan Markwood Ward akan menghasilkan kesimpulan lebih simpatik terhadap dinamika budaya Islam Jawa.
Walisongo dan para kiyai Jawa adalah agent of social change melalui pendekatan kultural, bukan politik struktural apalagi kekerasan. Istilah Islam kultural yang selama ini ditujukan pada pendekatan Abbdurrahman Wahid dan Nur Cholis Majid, sesungguhnya secara substansial tidak berbeda dengan pendekatan Walisongo dan `ulama-`ulama terdahulu. Apa yang terjadi bukanlah intervensi melainkan akulturasi dan peaceful coexistence.
Ide cultural resistence juga mewarnai kehidupan intelektual dunia pesantren. Subjek yang diajarkan di lembaga ini melalui hidayah dan berkah seorang kiyai sebagai guru utama atau irsya>du usta>zin. Adalah kitab klasik atau kitab kuning, diolah dan ditransmisikan dari satu generasi ke genarasi berikut, yang sekaligus menunjukkan keampuhan kepemimpinan kiyai. Isi pengajaran kitab kuning menawarkan kesinambungan tradisi yang benar, al-qadim al-salih, yang mempertahankan ilmu-ilmu agama dari sejak periode klasik dan pertengahan. Memenuhi fungsi edukatif, materi yang diajarkan di pesantren bukan hanya memberi akses pada santri rujukan kehidupan keemasan warisan peradaban Islam masa lalu, tapi juga menunjukkan peran masa depan secara konkrit, yakni to live a Javanese Muslim life: cara hidup yang mendambakan damai, harmoni dengan masyarakat, lingkungan, dan Tuhan.
Karena konsepsi cultural resistance pula, dunia pesantren selalu tegar menghadapi hegemoni dari luar. Sejarah menunjukkan bahwa saat penjajah semakin menindas, saat itu pula perlawanan kaum santri semakin keras. Penolakan Sultan Agung dan Diponegoro terhadap kecongkakan Belanda, ketegaran kiyai-kiyai di masa penjajahan, serta kehati-hatian para pemimpin Islam berlatarbelakang pesantren dalam menyikapi kebijaksanaan penguasa yang dirasakan tidak bijaksana atau sistem yang established sehingga menempatkan mereka sebagai kelompok "oposan" adalah bentuk-bentuk cultural resistance dari dulu hingga sekarang. Dalam konteks ini bisa difahami jika pesantren-pesantren tua dan besar selalu dihubungkan dengan kekayaan mereka yang berupa kesinambungan ideologis dan historis, serta mepertahankan budaya lokal: a historical and ideological continuum with its cultural resistance. Denominasi keagamaan dunia pesantren yang Syafi`i-Asy`ari-Ghazalian-Oriented terbukti sangat mendukung terhadap pengembangan dan pelaksaan konsep cultural resistance ini. Menarik diamati bahwa kaum santri tidak pernah menyebut Syafi`i dan Ghazali terlepas dari kata “Imam” di depan tiga nama itu. Bukankah ini tradisi unik dunia pesantren yang tidak dijumpai di negara-negara Islam lain. Modeling terhadap tiga tokoh ini dan cultural resistence dalam bentuk kesinambungan kesejarahan adalah tiga konsep yang telah menyatu dalam illustrasi terakhir ini.
c. Budaya keilmuan yang tinggi
Dunia pesantren senantiasa identik dengan dunia ilmu. Definisi pesantren itu sendiri selalu mengacu pada proses pembelajaran dengan komponen-komponen pendidikan yang mencakup pendidik, santri, murid, serta fasilitas tempat belajar mengajar.
Rujukan ideal keilmuan dunia pesantren cukup komprehensif yang meliputi inti ajaran dasar Islam itu sendiri yang bersumber dari al-Qur'an Hadis, tokoh-tokoh ideal zaman klasik seperti Imam Bukhari, serta tradisi lisan yang berkembang senantiasa mengagungkan tokoh-tokoh `ulama Jawa yang agung seprti Nawawi al-Bantani, Mahfudz al-Tirmisi dan lain-lain. Ayat al-Qur'an pertama kali yang diwahyukan adalah surat iqra' yang menyerukan signifikasi baca dan belajar bagi kaum beriman. Menjadi Muslim berarti menjadi santri, menjadi santri berarti tidak boleh lepas dari kegiatan belajar 24 jam di lembaga pendidikan pesantren. Status santri, bagi komunitas ini, dengan demikian selalu lebih mulia dibanding dengan status non-santri. Rujukannya jelas ayat al-Qur'an yang menjanjikan status mulia dan khusus bagi kaum beriman dan berilmu. Pendidikan sehari semalam penuh dalam dunia pesantren dengan batas waktu yang relatif, serta hubungan guru-murid yang tidak pernah putus adalah implementasi dari ajaran Nabi yang menekankan keharusan mencari ilmu dari bayi sampai mati, minal mahdi ilallahdi. Singkatnya ajaran dasar Islam adalah landasan ideogis kaum santri untuk menekuni agamanya sebagai ilmu dan petunjuk yang bermanfaat di dunia dan akhirat.
Jika dalam zaman keemasan Islam tradisi al-rih}lah fi> ta>lab al-`ilm demikian luar biasa sebagaimana yang tercermin dalam perjalanan intelektual Imam Bukhari, sejarah telah membuktikan bahwa tradisi yang yang sama juga berkembang sepanjang masa dalam masyarakat santri hingga dikenal istilah wandering santris atau santri-santri kelana. Tradisi rihlah ini pula yang telah mengantarkan tiga tokoh utama pesantren: al-Bantani dan al-Tirmisi, mengembara sepanjang hidupnya dan menjadi guru besar di Mekkah dan Madinah. Fenomena dua master intelektual dunia pesantren ini membuktikan bahwa ilmu agama tidak hanya milik dunia Timur Tengah, dan bahwa ilmuwan berlatarbelakang sosio-kultural pesantren mampu menandingi `ulama-`ulama manca negara baik dalam kegiatan tulis menulis berbahasa Arab maupun dalam kegiatan akademik pengajaran di pusat dunia Islam.
Dewasa ini makna penting keilmuan dunia pesantren agaknya tidak bergeser. Seorang tokoh modernis, Dawam Rahardjo, misalnya, menaruh kepercayaan besar terhadap alumni-alumni pesantren yang memperoleh pendidikan di dunia Barat dan bekerja di berbagai sektor dan kantor swasta dan negara di Indonesia.
Dengan merujuk pada dinamika keilmuan pesantren dalam sejarah, agaknya istilah "konservatif" yang dialamatkan pada komunitas atau tradisi pesantren selama ini perlu ditinjau kembali. "Konservatif" pada umumnya identik dengan statis, jumud, serta implikasi-implikasi fatalis lainnya. Lebih dari itu "konservatif" adalah kata impor dari kamus Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian tradisionalitas pesantren selayaknya ditujukan pada satu tradisi luhur dalam berbagai hal, termasuk tradisi intelektual pesantren yang belum pernah terhenti sampai sekarang
G. Temuan Penelitian
1. Karakteristik budaya organisasi pada dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang
Karakteristik budaya organisasi dalam penelitian tercermin dalam pola pembelajaran dan kurikulum. Pesantren Raudlatuth Thalibin atau yang lebih dikenal dengan PPRT semua santrinya adalah mahasiswa IAIN Walisongo Semarang. Sebagian dari para santri ini sebelumnya ada yang pernah mondok dan ada yang baru mondok sekali ini. Tujuan mereka mondok di sini adalah agar dapat belajar ilmu agama disamping ilmu dari bangku kuliah. Sebagai mahasiswa IAIN, maka jam perkuliahan terkadang pagi, siang ataupun sore. Oleh karena itu pengajian bandongan yang diselenggaran di pondok mengambil waktu ba'da maghrib, ba'da isya' dan ba'da shubuh. Di sini tidak diselenggarakan Madrasah Diniyah.
Pemilihan waktu tersebut diharapkan dapat diikuti oleh semua santri PPRT, kecuali ada halangan syar'ie. Adapun materi pengajian adalah kitab-kitab klasik seperti Majalis al-Tsaniah, dan Tafsir al-Munir. Kitab-kitab tersebut dibaca sampai habis sekitar 1 tahun atau lebih. Setelah habis biasanya kyai menawarkan pilihan beberapa kitab kepada santri-santri. Kurikulum di PPRT terkesan longgar, karena pada pagi, siang dan sore hari para santri banyak yang kuliah. Sementara yang tidak kuliah, ada yang mengerjakan tugas kuliah, cuci pakaian, cuci kendaraan, ada yang tiduran dan sebagainya.
Sedangkan di Pesantren Luhur yang memilih sebagai pesantren salafiyah, sebagian besar santrinya tidak sekolah (baca khusus mondok). Pola pembelajaran di sini diselenggarakan secara klasikal dalam bentuk Madrasah Diniyah kelas I sampai kelas IV yang diselenggarakan pagi dan siang hari, yakni jam 08.00 – 11.00 WIB. Kemudian pada malamnya diadakan taqrar atau pengulangan. Bagi mereka yang sekolah dan tidak bisa mengikuti Madin Pagi, mereka dapat mengikuti Taqrar. Materi dalam taqrir ini sama dengan Madin pagi dan kyai/ustadz hanya memberikan peringatan ketika ada kesalahan saja. Berbeda dengan di PPRT, kurikulum di Pesnatren Luhur didesain cukup lengkap, untuk kelas I (Sharf, Nahwu, Arba'in Nawawi, Ta'lim Muta'allim, Tajwid, Mabadi' al-Fiqhiyah dan Tauhid), kelas II Sharf, Nahwu, Riyad al-Badi'ah, Tauhid, Mabadi' al-Awwaliyah dan Bulugh al-Marom), kelas III (Shorf, Fath al-Qarib, Nahwu, Tajwid, al-Sulam, dan al-Adzkar), dan kelas IV (Ibnu Aqil, Fath Mu'in, Tauhid, Jauhar Maknun, Tajwid, Minhaj al-Qawim, al-Tibyan dan Mushthalah al-Hadits).
Suasana di luar jam pelajaran biasanya dimanfaatkan untuk menghafal pelajaran-pelajaran diniah. Karena umumnya mereka hanya mondok, maka kesempatan memperdalam ilmu-ilmu dari Madin sangat luas.
2. Ragam nilai dalam budaya organisasi pesantren yaitu Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang.
Ragam nilai dalam budaya organisasi pesantren dalam penelitian ini dapat dilihat dari latar belakang pendidikan santri dan tujuan 'nyantri'. Di PPRT semua santrinya berpendidikan mahasiswa. Mereka memilih tinggal di pondok adalah untuk melengkapi keilmuan yang telah didapatkan dari kampus. Pola pikir mahasiswa yang demokratis sedikit banyak mempengaruhi pola kehidupan di pesantren. Para santri tidak begitu saja menerima ajaran yang disampaikan kyai, tetapi dengan pikiran kritis. Salah satu contoh konsep tentang Ahl as-Sunnah wa-al-Jama'ah, yang sering dipahami oleh dunia pesantren sebagai ajaran yang dalam bidang aqidah mengikuti Imam Asy'ari dan Imam Maturidzi, dalam bidang fiq mengikuti Imam Empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali), serta dalam bidang tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan imam Abu Qasim al-Junaidi. Oleh santri mahasiswa, konsep Ahl as-Sunnah wa-al-Jama'ah semacam itu dianggap apologis. Karena hanya membatasi kepada hasil ijtihad orang bukan bersumber dari ajaran yang pokok, yakni al-Qur'an dan Hadits Nabi.
Dalam pesantren mahasiswa, mereka lebih bersikap kontekstual, inklusif, dan akomodatif dalam menyikapi realitas dengan pembacaannya yang kritis- akademis ala kampus tanpa melupakan khazanah intelektual masa silam yang sudah melebur dengan tradisi.
Pola pikir mahasiwa ini juga berpengaruh terhadap pola relasi kiai-santri dan santri-keluarga kyai di dalamnya. Lazimnya, relasi kiai-santri dan santri-keluarga kyai adalah patron-client relationship ala pesantren yang terbentuk atas dasar kiai sebagai fokus pusaran kekuasaan di pesantren.
Namun jika dianalisa lebih lanjut, pola kepemimpinan tradisional dan karismatik khas pesantren ini mulai bergeser seiring dengan tumbuhnya pesantren mahasiswa ini. Dalam pesantren model ini, pola relasi kiai-santri yang sebelumnya masih patron-client relationship yang tenggelam dalam aspek ruh al-inqiyad (semangat kepatuhan berlebihan para santri) bergeser menjadi pola relasi kepemimpinan botton up antara kiai dan santri atas dasar ruh al-intiqad (semangat mengkritik, menguji, dan mempertanyakan). Artinya, semangat kritis-akademis ala kampus mulai merasuk terbawa para santri saat mengikuti proses belajar-mengajar di pesantren.
Di Pesantren Luhur yang masih menerapkan sistem salaf, keberadaan santri di pesantren memang betul-betul untuk 'nyantri' belajar di pondok. Pola pikir sebagaimana dalam pesantren mahasiswa belum banyak mempengaruhi mereka, sehingga pola relasi kyai-santri masih patron-client relationship. Kyai adalah sebagai fokus pusaran kekuasaan di pesantren.
3. Sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yaitu Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan keagamaan, sistem pendidikan pesantren didasari, digerakkan, dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran dasar Islam. Nilai ini secara kontekstual disesuaikan dengan realitas sosial masyarakat. Perpaduan kedua sumber nilai inilah yang membentuk pandangan hidup dan menetapkan tujuan yang akan dikembangkan oleh pesantren.
Menurut Mastuhu, nilai yang mendasari pesantren digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu: 1) Nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak yang bersifat fiqih-sufistik dan berorientasi pada kehidupan ukhrawi, dan 2) Nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran relatif, bercorak empiris dan pragmatis untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan menurut hukum agama. Kedua nilai ini mempunyai hubungan vertikal dan hirarkis. Dalam kaitan ini, kyai menjaga nilai-nilai agama kelompok pertama, sedangkan ustadz dan santri menjaga nilai-nilai kelompok kedua. Hal inilah yang menyebabkan dalam sistem pendidikan pesantren sosok kyai menjadi sosok yang menentukan setiap perjalanan dan aktivitas pesantren (individual enterprise).
Disamping nilai-nilai tersebut ada beberapa prinsip dalam pesantren, yakni: Pertama, teosentris, artinya sistem pendidikan pesantren mendasarkan falsafah pendidikannya pada filsafat teosentris. Falsafah ini berangkat dari pandangan yang menyatakan bahwa semua kejadian berasal, berproses, kembali kepada kebenaran Tuhan, dan pengaruh konsep fitrah dalam Islam. Maka semua aktivitas pendidikan di pesantren dipandang sebagai ibadah dan bagian integral dari totalitas kehidupan manusia, sehingga belajar di pesantren tidak dipandang sebagai alat tetapi dipandang sebagai tujuan.
Kedua, sukarela dan mengabdi. Karena mendasarkan kegiatan pendidikan sebagai suatu ibadah.Penyelenggaraan pesantren dilaksanakan secara sukarela (ikhlas) dan mengabdi kepada sesama dalam rangka ibadah kepada Allah SWT.
Ketiga, kearifan, yakni bersikap dan berperilaku sabar, rendah hati, patuh kepada ketentuan hukum agama, tidak merugikan orang lain, dan mendatangkan manfaat bagi kepentingan bersama menjadi titik tekan dalam kehidupan pesantren dalam rangka mewujudkan sifat arif
Keempat, kesederhanaan. Salah satu nilai luhur pesantren dan menjadi pedoman perilaku bagi warganya adalah penampilan sederhana. Sederhana yang dimaksud di sini bukan identik dengan kemiskinan, tetapi kemampuan bersikap dan berpikir wajar, proporsional, dan tidak tinggi hati.
Kelima, kolektivitas. Pesantren menekankan pentingnya kolektivitas atau kebersamaan lebih tinggi daripada individualisme. Implikasi dari prinsip ini, di pesantren berlaku pendapat bahwa dalam masalah hak seseorang harus mendahulukan kepentingan orang lain, sedangkan dalam masalah kewajiban, dia harus mendahulukan kewajibannya sendiri sebelum orang lain.
Keenam, mengatur kegiatan bersama. Merujuk pada nilai-nilai pesantren yang bersifat relatif, santri, dengan bimbingan ustadz dan kyai, mengatur hampir semua kegiatan proses belajamya sendiri.
Ketujuh, kebebasan terpimpin. Prinsip ini digunakan pesantren dalam menjalankan kebijakan kependidikannya. Konsep yang mendasarinya adalah ajaran bahwa semua makhluk pada akhirnya tidak dapat keluar melampaui ketentuan-ketentuan sunnatullah. Di samping itu, ada keyakinan bahwa masing-masing anak dilahirkan menurut fitrah-Nya. Implikasi dari prinsip ini adalah warga pesantren mengalami keterbatasan-keterbatasan namun tetap memiliki kebebasan mengatur dirinya sendiri.
Kedelapan, mandiri. Dalam kehidupan pesantren, sifat mandiri tampak jelas. Sikap ini dapat dilihat dari aktivitas santri dalam mengatur dan bertanggung jawab atas keperluannya sendiri.
Kesembilan, mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Sebagaimana disebutkan di muka, pesantren sangat mementingkan pengamalan agama dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kehidupannya selalu berada dalam rambu-rambu hukum agama.
Kesepuluh, pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi. Warga pesantren menganggap bahwa pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi. Ilmu yang dimaksud adalah bersifat suci dan tak terpisahkan dari bagian agama, sehingga model pemikiran mereka berangkat dari keyakinan dan berakhir dengan kepastian. Hal ini berbeda dengan ilmu dalam arti science yang memandang setiap gejala yang mempunyai kebenaran relatif dan bersyarat. Akhir dari pandangan ini adalah ilmu tidak dipandang sebagai kemampuan berpikir metodologis, melainkan sebagai berkah.
Kesebelas, tanpa ijazah. Seiring dengan prinsip-prinsip sebelumnya, pesantren tidak memberikan ijazah atau sertifikat sebagai tanda keberhasilan belajar. Alasannya, keberhasilan tidak diukur dengan ijazah yang ditandai dengan angka-angka, tetapi diukur dengan prestasi kerja yang diakui oleh masyarakat.
Keduabelas, restu kyai. Dalam kehidupan pesantren, semua aktivitas warga pesantren sangat tergantung pada restu kyai, baik ustadz, pengurus, maupun santri. Implikasi prinsip ini adalah tanda kelulusan ditentukan oleh kyai, sehingga warga pesantren sangat berhati-hati jangan sampai melakukan tindakan yang tidak berkenan di hadapan kyai.
(Studi Tentang Interaksi Edukatif Kyai, Santri dan Keluarga Pesantren)
Oleh : Drs. H. Fatah Syukur, M.Ag.
A. Latar Belakang
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh dunia pendidikan dewasa ini adalah keringnya pendidikan nilai. Proses belajar yang terjadi di dalam lembaga pendidikan sudah didominasi oleh transfer of knowledge. Guru merasa selesai tugasnya setelah menyampaikan materi kepada siswanya. Sementara apakah apa yang dikatakan kepada siswa tersebut tercermin dalam prilakunya atau tidak itu urusan ke sekian. Contohnya guru menganjurkan berbuat baik pada orang lain, sementara ia sendiri tidak memberi teladan yang demikian. Guru melarang murid berkatan bohong, sementara ia sendiri sering berbohong, guru menganjurkan untuk hidup bersih dan rapi, tetapi dia tidak bisa memberi contoh yang baik. Kondisi semacam ini tentu sangat memprihatinkan.
Pendidikan nilai dalam proses pendidikan sangat penting. Sesuatu yang membedakan antara pengetahuan Barat dengan pengetahuan lain adalah terletak pada nilai. Muatan materi mungkin sama, namun nilainya belum tentu sama. Untuk menanamkan pendidikan nilai, maka proses penanamnya juga harus menggunakan pendekatan nilai. Ini berarti bahwa seorang guru akhlak, maka mutlak harus seorang yang berakhlak baik, demikian pula seorang guru hadits, maka ia harus orang yang percaya terhadap kebenaran hadits dan mampu melaksanakan isinya. Barangkali itulah yang dimaksud oleh pepatah Jawa, Guru hendaknya dapat digugu dan ditiru.
Di tengah kondisi krisis nilai dalam bidang pendidikan, barangkali pesantren merupakan alernatif yang perlu dikaji dan dijadikan contoh menerapkan pendidikan nilai dalam pembentukan kepribadian para santri. Proses pendidikan di pesantren berlangsung selama 24 jam dalam situasi formal, informal dan non formal. Kyai bukan hanya mentransfer pengetahuan, ketrampilan dan nilai, tetapi sekaligus menjadi model atau contoh bagi para santrinya. Dengan pendidikan nilai yang sedemikian rupa, pesantren telah banyak melahirkan para alumni yang memiliki pengetahuan keagamaan dan melaksanakan pengetahuan tersebut dalam kehidupannya, atau dengan kata lain ada integrasi antara ilmu dan amal.
Keberhasilan pesantren dalam mendidikan santrinya tersebut bukan suatu kebetulan, tetapi ada nilai-nilai yang mendasarinya. Owens (1995:81) menyodorkan dimensi soft yang berpengaruh terhadap kinerja individu dan organisasi, yaitu nilai-nilai (values), keyakinan (biliefs), budaya (culture), dan norma perilaku. Nilai-nilai adalah pembentuk budaya, dan merupakan dasar atau landasan bagi perubahan dalam hidup pribadi atau kelompok.
Dalam hubungannya dengan pesantren, pemahaman santri terhadap ajaran agamanya, menuntut mereka untuk berperilaku sesuai dengan esensi ajaran agamanya, dalam kajian budaya (organisasi), wujud kebudayaan tingkat pertama, yaitu kebudayaan ideal, termasuk dalam hal ini ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Sedang lapisan yang paling tinggi tingkatannya disebut dengan sistem nilai budaya yang biasanya berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Sistem nilai budaya sebagai wujud kebudayaan ideal yang paling abstrak berada dalam pikiran warga masyarakat (pesantren) di mana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Dalam dimensi ini, sistem nilai budaya yang berkembang dalam alam pikiran umat beragama itulah yang menuntun perilaku mereka, termasuk dalam pengelolaan pesantren dan interaksinya dengan komunitas internal dan eksternal pesantren.
Berangkat dari latar belakang masalah tersebut banyak hal-hal menarik dan perlu dikaji dari dunia pesantren terutama yang menyangkut sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren yang mendasari pola fikir dan akitivitas dalam merespon perkembangan budaya di pesantren dan di luar pesantren. Secara lebih spesifik, pola fikir dan aktivitas yang terpancar dari sistem nilai tersebut antara lain tercermin dalam: (1) Pola pembelajaran di pesantren, (2) Semangat pengabdian di pesantren, (3) Pola hubungan santri dengan kyai, santri dengan keluarga kyai, santri dengan santri dan santri dengan masyarakat, dan (4) Pola pemikiran dunia pesantren dalam merespon perubahan sosial, ekonomi, dan politik.
B. Fokus Penelitian
Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka fokus yang diteliti dalam penelitian ini adalah : Sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren yang meliputi Pesantren Raudlatuth Thalibin, dan Pesantren Luhur Kota Semarang.
Fokus tersebut kemudian dirinci menjadi tiga sub fokus, yaitu:
Karakteristik budaya organisasi pada dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang
Ragam nilai dalam budaya organisasi pesantren yaitu Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang
Sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yaitu Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang.
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian, secara umum tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah menemukan sekaligus mendeskripsikan sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren, yaitu Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang
Tujuan tersebut kemudian dijabarkan ke dalam tujuan khusus, yakni sebagai berikut:
1. Ingin mengetahui karakteristik budaya organisasi di dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang.
2. Ingin mengetahui ragam nilai dalam budya organisasi di dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang
3. Ingin mengetahui sistem nilai dalam budaya organisasi di dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang
4. Ingin mengetahui perbedaan sistem nilai dalam budaya organisasi di Pesantren Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis :
a. Memberi gambaran tentang sistem nilai pada pesantren dan yang dikembangkan sehingga dapat menjadi acuan para penyelenggara dan pengelola pesantren khususnya dan pendidikan pada umumnya.
b. Memberi masukan kepada Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional, Yayasan Pendidikan, dan Organisasi Keagamaan yang menyelenggarakan pendidikan dalam memajukan lembaga pendidikan berdasarkan sistem nilai.
2. Manfaat Teoritis :
a. Secara konseptual dapat memperkaya teori manajemen pendidikan (pesantren) terutama yang berkaitan dengan sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yang dibangun dari dua kasus dalam penelitian ini.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi peneliti berikutnya / peneliti lain yang ingin mengkaji lebih mendalam dengan topik dan fokus serta setting yang lain untuk memperoleh perbandingan sehingga memperkaya temuan-temuan penelitian.
E. Metode Penelitian
Sebagai penelitian studi kasus, maka langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) melakukan pengumpulan data pada kasus pertama, yaitu Pesantren Raudlattolibin Semarang. Penelitian ini dilakukan sampai pada tingkat kejenuhan data, dan selama itupula dilakukan kategorisasi dalam tema-tema untuk menemukan konsepsi tematik menganai sistem nilai dalam budaya orgnisasi di pesantren tersebut; (2) melakukan pengamatan pada kasus kedua, yaitu Pesantren Luhur Mangkang Semarang. Tujuannya adalah untuk memperoleh temuan konseptual mengenai sistem nilai dalam budaya organisasi di pesantren tersebut.
Berdasarkan temuan konseptual dari kedua pesantren tersebut, selanjutnya dilakukan analisis komparasi dan pengembangan konseptual untuk mendapatkan abstraksi tentang karakteristik budaya organisasi, ragam nilai, dan sistem nilai dari kedua pesantren tersebut. Dalam hal ini dilakukan analisis termodifikasi sebagai suatu cara mengembangkan teori dan mengujinya .
Dalam penelitian ini berusaha untuk memahami makna peristiwa serta interaksi orang dalam situasi tertentu. Untuk dapat memahami makna peristiwa dan interaksi orang, digunakan orientasi teoritik atau perspektif teoritik dengan pendekatan fenomenologis (phenomenological approarch).
Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengamati fenomena-fenomena dunia konseptual subjek yang diamati melalui tindakan dan pemikirannya guna memahami makna yang disusun oleh subjek sekitar kejadian sehari-hari. Peneliti berusaha memahami subjek dari sudut pandang subjek itu sendiri, dengan tidak mengabaikan penafsiran, dengan membuat skema konseptual. Menurut Weber, pendekatan fenomenologi disebut verstehen apabila mengemukakan hubungan antara gejala-gejala sosial yang dapat diuji, bukan pemahaman empirik semata. Dengan menggunakan metode Verstehen ini, peneliti dapat memahami secara emik konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai, ide-ide, gagasan-gagasan, dan norma-norma yang berlaku di tiga pesantren tersebut, sehingga tidak terjadi kekeliruan penafsiran atas makna objek yang diteliti.
Kecuali pendekatan fenomenologis, mengingat penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren, maka untuk memahami perbedaan budaya yang muncul pada masing-masing pesantren digunakan pula orientasi teoritik dengan pendekatan budaya untuk memahami hakekat sudut pandangnya, keterkaitan dengan kehidupan, dan untuk mengungkap visinya mengenai dunianya.
Dalam mengumpulkan data, peneliti memakai tiga prosedur, yaitu wawancara mendalam, observasi partisipan dan studi dokumentasi. Data-data yang didapat dari wawancara, observasi dan dokumentasi kemudian dianalisis. Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang telah dihimpun oleh peneliti. Kegiatan analisis dilakukan dengan menelaah data, menata, membagi menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, mensintesis, mencari pola, menemukan apa yang bermakna, dan apa yang diteliti dan dilaporkan secara sistematik.
F. Kajian Teoritis
1. Sistem Nilai
Menurut Rokeach dan Bank (Chabib Thoha, 1996) nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dimana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Ini berarti berhubungan dengan pemaknaan atau pemberian arti suatu obyek.
Nilai juga dapat diartikan sebagai sebuah pikiran (idea) atau konsep mengenai apa yang dianggap penting bagi seseorang dalam kehidupannya. Selain itu, kebenaran sebuah nilai juga tidak menuntut adanya pembuktian empirik, namun lebih terkait dengan penghayatan dan apa yang dikehendaki atau tidak dikehendaki, disenangi atau tidak disenangi oleh seseorang. Allport, sebagaimana dikutip oleh Kadarusmadi (1996:55) menyatakan bahwa nilai merupakan kepercayaan yang dijadikan preferensi manusia dalam tindakannya. Manusia menyeleksi atau memilih aktivitas berdasarkan nilai yang dipercayainya.
Oleh karena itu, nilai terdapat dalam setiap pilihan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang baik berkaitan dengan hasil (tujuan) maupun cara untuk mencapainya. Dalam hal ini terkandung pemikiran dan keputusan seseorang mengenai apa yang dianggap benar, baik atau diperbolehkan.
Nilai-nilai penting untuk mempelajari perilaku organisasi karena nilai meletakkan fondasi untuk memahami sikap dan motivasi serta mempengaruhi persepsi kita. Individu-individu memasuki suatu organisasi dengan gagasan yang dikonsepsikan sebelumnya mengenai apa yang seharusnya dan tidak seharusnya.
DR. Rohmad Mulyono (2004:25) mengklasifikasi nilai ke dalam empat macam: (1) nilai instrumental dan nilai terminal; (2) nilai instrinksik dan nilai ekstrinsik; (3) nilai personal dan nilai sosial; dan (4) nilai subyektif dan nilai obyektif.
Selanjtunya Spranger (Allport, 1964) menjelaskan adanya enam orientasi nilai yang sering dijadikan rujukan oleh manusia dalam kehidupannya. Dalam pemunculannya, enam nilai tersebut cenderung menampilkan sosok yang khas terhadap pribadi seseorang. Karena itu, Spanger merancang teori nilai itu dalam istilah tipe manusia (the types of man), yang berarti setiap orang memiliki orientasi yang lebih kuat pada salah satu di antara enam nilai yang terdapat dalam teorinya. Enam nilai yang dimaksud adalah nilai teoretik, nilai ekonomis, nilai estetik, nilai sosial, nilai politik, dan nilai agama.
Perilaku manusia sehari-hari pada dasarnya ditentukan, didorong atau diarahkan oleh nilai-nilai budayanya. Nilai yang dominan akan memunculkan perilaku yang dominan dalam kehidupan manusia yang membuat manusia berbudaya. Menurut Koentjaraningrat, (1994), dalam kontek yang lebih mendasar, perilaku individu maupun masyarakat pada hakekatnya dipengaruhi oleh sistem nilai yang diyakininya. Sistem nilai tersebut merupakan jawaban yang dianggap benar mengenai berbagai masalah dalam dalam hidup.
Dalam dunia pesantren, nilai-nilai yang dikembangkan dirujukkan kepada sumber-sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an, Hadits dan Ijtihad. Pemahaman terhadap sumber-sumber ajaran Islam tersebut kemudian melahirkan disiplin ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf. Aspek fiqih mazhab, tauhid dan tasawuf sangat mengakar dalam kultur pesantren yang selanjutnya dilihat sebagai suatu bangunan sistem nilai yang dikenal dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Yasmadi, 2002:92). Konsep-konsep tentang tawazun (keseimbangan dan harmoni masyarakat), dan juga al-adalah (berkeadilan), tawasuth (moderat), dan tasammuh (menjaga perbedaan dan pluralisme dengan penuh toleransi) merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai sebuah sistem nilai yang dianut oleh sebagian besar pesantren banyak mempengaruhi terhadap pola pikir dan perilaku yang dipraktekkan di pesantren, baik dalam interaksi internal maupun eksternal pesantren.
2. Budaya Organisasi
Istilah “budaya” mula-mula berkembang dalam disiplin antropologi sosial. Budaya sebagaimana software yang berada dalam otak manusia, yang menuntun persepsi, mengidentifikasikan apa yang dilihat, mengarahkan fokus pada suatu hal, serta menghindar dari orang lain.
Budaya diartikan sebagai “totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan suatu masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama” (Kotter&Heskett, 1992:4). Selain itu kebudayaan juga diartikan sebagai norma-norma perilaku yang disepakati olek sekelompk orang uuntuk bertahan hidup dan berada bersama (Farid, E.&Philip, RH. 1997). Secara sederhana, kebudayaan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan yang digunakan oleh manusia sebagai pedoman untuk memahami lingkungannya dan sebagai pedoman untuk mewujudkan tindakan dalam menghadapi lingkungannya.
Koentjaraningrat (1989) menyebutkan unsur-unsur universal dari kebudayaan adalah meliputi: (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi kemasyarakat, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian, (7) sistem teknologi dan peralatan. Selanjutnya dijelaskan bahwa budaya mempunyai tiga wujud, yaitu kebudayaan sebagai: (1) suatu komplek ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (2) suatu kompleks aktivitas kelakuan dari manusia dalam masyarakat; dan (3) sebagai benda-benda karya manusia.
Tiga macam wujud budaya di atas, dalam konteks organisasi disebut dengan budaya organisasi (organizational culture). Dalam kontek perusahaan, diistilahkan dengan budaya perusahaan (corporate culture), dalam lembaga pendidikan/sekolah disebut dengan budaya sekolah (school culture) dan dalam pesantren dapat dikatakan sebagai budaya pesantren (pesantren culture).
Budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu.
Riset terbaru mengemukakan tujuh karakteristik primer berikut yang bersama-sama, menangkap hakekat dari budaya suatu organisasi (J.A. Chatman dan K.A. John, 1994):
a. Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauhmana para karyawan didorong untuk inovasi dan mengambil resiko.
b. Perhatian ke rincian. Sejauhmana para karyawan diharapkan memperhatikan presisi (kecermatan), analisis, dan perhatian kepada rincian.
c. Orientasi hasil. Sejauhmana manajemen memfokus pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil.
d. Orientasi orang. Sejauhmana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu.
e. Orientasi tim. Sejauhmana kegiatan kerja diorganisasikan sekita tim-tim, bukannya individu-individu.
f. Keagresifan. Sejauhmana orang-orang itu agresif dan kometitif dan bukannya santai-santai.
g. Kemantapan. Sejauhmana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.
Masing-masing ciri ini dalam sebuah kontinum dari rendah sampai tinggi. Oleh karena itu dengan menilai organisasi tersebut dari ketujuh dimensi ini orang akan mendapatkan gambaran mejemuk tentang budaya organisasi tersebut.
Pengaruh budaya terhadap kinerja organisasi dapat dilihat dari dimensi manajemen, anggota secara kelompok, dan anggota secara individual. Budaya organisasi merupakan determinan bagi perilaku manajemen, disamping struktur, kepemimpinan, dan lingkungan eksternal.
Dari sudut anggota secara kelompok, budaya organisasi akan memberikan arah (direction) dalam menemukan cara-cara untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini budaya organisasi dapat memberikan pengaruh positif atau negatif, tergantung kecocokan (compatible) atau tidaknya budaya tersebut dengan perkembangan lingkungan internal maupun eksternal. Selain itu, budaya organisasi yang tersebar merata pada semua anggota organisasi, akan memberikan citra mengenai lembaga tersebut di mata customer.
Secara individual, budaya organisasi yang meresap dengan kita pada masing-masing anggota, akan menumbuhkan komitmen, sebagaimana dicontohkan suatu sekte keagamaan dapat mempengaruhi pengikutnya untuk melakukan bunuh diri secara sukarela. Komitmen di sini diartikan sebagai suatu kondisi di mana anggota organisasi memberikan kemampuan dan loyalitas tertingginya kepada organisasi, yang dengan itu mereka mendapatkan kepuasan (Hodge & Anthony, 1988).
3. Budaya Pesantren
Karakteristik utama budaya pesantren di antaranya adalah:
a. Modeling
Modeling dalam ajaran Islam bisa diidentikkan dengan uswatun hasanah atau sunnah hasanah yakni contoh yang ideal yang selayaknya atau seharusnya diikuti dalam komunitas ini. Tidak menyimpang dari ajaran dasar Islam, modeling dalam dunia pesantren agaknya lebih diartikan sebagai tasyabbuh:
Jika dalam dunia Islam, Rasulullah adalah pemimpin dan panutan sentral yang tidak perlu diragukan lagi, dalam masyarakat santri Jawa kepemimpinan Rasulullah diterjemahkan dan diteruskan oleh para Walisongo yang dikemudian hari sampai kini menjadikan mereka sebagai kiblat kedua setelah Nabi. Telah dimaklumi bersama bahwa Masjid Demak yang diresmikan oleh Sunan Kalijaga pada tanggal l Dzul Qa`dah 1428, pada umumnya disepakati sebagai masjid pertama di tanah Jawa dan dibangun sebelum Kerajaan Demak berdiri. Upaya mendahulukan pendirian Masjid sebelum negara Demak pada hakikatnya sama dengan upaya Nabi mendirikan Masjid Quba di Madinah sebelum kota suci ini dijadikan negara bagi seluruh penduduknya yang plural. Bagi umat Islam, Masjid adalah lambang dan perwujudan akhirat yang statusnya tentu lebih mulia dari gemerlapan duniawi dalam berbagai macam daya pikatnya. Dengan analogi ini, bisa difahami bila sebagian besar `ulama Jawa menjustifikasi apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dengan pendirian masjidnya sebagai bagian dari pelaksanaan Sunnah Nabi: yakni sebuah modeling par excellence.
Yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa modeling mengikuti seorang tokoh pemimpin merupakan bagian penting dalam filsafat Jawa. Walisongo yang menjadi kiblat kaum santri tentu berkiblat pada guru besar dan pemimpin Muslimin, Nabi Muhammad saw. Kekuatan modeling didukung dan sejalan dengan value sistem Jawa yang mementingkan paternalism dan patron-client relation yang sudah mengakar dalam budaya masyarakat Jawa
Para Walisongo selalu loyal pada missinya sebagai penerus Nabi yang terlibat secara fisik dalam rekayasa sosial. Misi utama mereka adalah menerangkan, memperjelas, dan memecahkan persoalan-persoalan masyarakat, dan memberi model ideal bagi kehidupan sosial agama masyarakat. Model Walisongo yang diikuti para `ulama dikemudian hari telah menunjukkan integrasi antara pemimpin agama dan masyarakat yang membawa mereka pada kepemimpinan protektif dan efektif. Approach dan wisdom Walisongo kini terlembagakan dalam esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejarahannya. Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan filosofis dan keagamaan antara taqlid dan modeling bagi masyarakat santri. Melalui konsep terakhir inilah keagungan Muhammad saw serta kharisma Walisongo, yang dipersonifikasikan oleh para auliya dan kiyai, telah terjunjung tinggi dari masa ke masa. Bahwa pendidikan Islam Walisongo ditujukan pada massa ini bisa dilihat pada rekayasa mereka terhadap pendirian pesantren. Pendidikan yang merakyat ini tidak diragukan lagi adalah induk pendidikan Islam di Indonesia atau the mother of Muslim educational institution. Pendekatan pendidikan Walisongo dewasa ini telah tersosialisasi secara luas dalam komunitas ini seperti kesalehan sebagai cara hidup kaum santri, serta pemahaman dan pengarifan terhadap budaya lokal.
Meskipun demikian pendidikan Islam Walisongo juga ditujukan pada penguasa. Keberhasilan Walisongo terhadap pendekatan yang terakhir ini biasanya terungkap dalam istilah populer “Sabdo Pandito Ratu” yang berarti menyatunya pemimpin agama dan pemimpin negera. Dengan kata lain dikotomi atau gap antara ulama dan raja tidak mendapatkan tempat dalam ajaran dasar Walisongo. Hal ini sesuai dengan watak dasar agama tauhid ini yang tidak memberi ruang pada sekularisme. Ajaran ini adalah warisan Sunan Kalijaga, sebagai grand designer yang telah mewariskan sistem Kabupaten di Jawa tipikal dengan komponen-komponen kabupaten, alun-alun, dan masjid agung. Ajaran ini dikemudian hari dipopulerkan oleh Sultan Agung. Menarik untuk dijadikan renungan sejarah bahwa barangkali masjid-masjid "agung" di Jawa saat ini, adalah bentuk modeling yang tidak disadari atas historisitas peninggalan Sultan Agung. Hubungannya bukan sekedar terdapat pada nama "agung" yang telah menyejarah dan melegenda, melainkan juga pada substansi dan format al-madinah al-fadilah ini.
Seperti yang telah disinggung di atas, pendidikan Walisongo mudah ditangkap dan dilaksanakan. Hal ini selaras dengan ajaran Nabi wa khatibinnas `ala qodri `uqulihim. Pola pendidikan ini terlihat dalam rumusan naskah Islam Jawa klasik “arep atatakena elmu, sakadare den lampahaken”(Carilah ilmu yang bisa engkau praktekan, terapkan). Pendekatan ini pula yang mengantarkan pendidikan Islam melalui media wayang yang begitu merakyat. Ajaran rukun Islam dengan demikian bisa ditemukan dalam cerita perwayangan, seperti syahadatain sering dipersonifikasikan dalam tokoh Puntadewa, tokoh tertua di antara Pandawa dalam kisah Mahabarata. Puntadewa (syahadatain) digambarkan sebagai raja adil yang tulus ikhlas bekerja untuk kesejahteraan rakyat, yakni pemimpin yang konsisten kata dan perbuatannya. Tingkah laku yang tidak munafik ini adalah refleksi tindakan dan ucapan kaum beriman atau “lips of faith.” Ajaran Islam yang diperagakan melalui media wayang merupakan model yang mudah dicontoh. Modeling dalam dunia pesantren memang tidak terbatas pada satu dimensi kehidupan. Hal ini sekaligus memberi indikasi bahwa masyarakat ini senantiasa membutuhkan model kepemimpinan yang ideal dalam segala bentuk dan zaman.
b. Cultural resistance
Mempertahankan budaya dan tetap bersandar pada ajaran dasar Islam adalah budaya pesantren yang sudah berkembang berabad-abad. Sikap ini tidak lain merupakan konsekuensi logis dari modeling. Disayangkan bahwa hampir belum ada ilmuwan yang memusatkan perhatian pada tiga aspek ini secara proporsional. Konsepsi ini bahkan sering disalahfahami oleh sarjana-sarjana Barat seperti penghampiran mereka yang lebih memusatkan perhatian pada sinkretisme Islam atau juga studi yang lebih menekankan wajah Hindhu-Budha sebagai induk budaya Jawa sementara Islam dipandang sebagai anak budaya. Dengan kata lain meskipun Islamisasi telah terjadi di sini sejak abad 14, Islam masih dipandang sebagai baju atau kulit luar budaya Jawa. Kesalahan ini sering disebabkan oleh ketidak mampuan mereka dalam memahami teks-teks standar Sunni Islam, misalnya konsep tentang inovasi al muh}a>faz}at ala> qadi>m al s}a>leh wa al akhz}u bi al jadi>d al as}lah (menjaga suatu tradisi yang baik dan mengambil tradisi yang lebih baik). Hal ini bisa dimaklumi karena sebagian besar mereka yang mempelajari Islam Jawa hanya dilengkapi dengan ilmu-ilmu sosial khususnya antropologi. Dengan kata lain mereka tidak memiliki disiplin ilmu Islamic Studies. Mereka yang banyak belajar kajian ke-Islaman seperti Prof. A.H. John dan Markwood Ward akan menghasilkan kesimpulan lebih simpatik terhadap dinamika budaya Islam Jawa.
Walisongo dan para kiyai Jawa adalah agent of social change melalui pendekatan kultural, bukan politik struktural apalagi kekerasan. Istilah Islam kultural yang selama ini ditujukan pada pendekatan Abbdurrahman Wahid dan Nur Cholis Majid, sesungguhnya secara substansial tidak berbeda dengan pendekatan Walisongo dan `ulama-`ulama terdahulu. Apa yang terjadi bukanlah intervensi melainkan akulturasi dan peaceful coexistence.
Ide cultural resistence juga mewarnai kehidupan intelektual dunia pesantren. Subjek yang diajarkan di lembaga ini melalui hidayah dan berkah seorang kiyai sebagai guru utama atau irsya>du usta>zin. Adalah kitab klasik atau kitab kuning, diolah dan ditransmisikan dari satu generasi ke genarasi berikut, yang sekaligus menunjukkan keampuhan kepemimpinan kiyai. Isi pengajaran kitab kuning menawarkan kesinambungan tradisi yang benar, al-qadim al-salih, yang mempertahankan ilmu-ilmu agama dari sejak periode klasik dan pertengahan. Memenuhi fungsi edukatif, materi yang diajarkan di pesantren bukan hanya memberi akses pada santri rujukan kehidupan keemasan warisan peradaban Islam masa lalu, tapi juga menunjukkan peran masa depan secara konkrit, yakni to live a Javanese Muslim life: cara hidup yang mendambakan damai, harmoni dengan masyarakat, lingkungan, dan Tuhan.
Karena konsepsi cultural resistance pula, dunia pesantren selalu tegar menghadapi hegemoni dari luar. Sejarah menunjukkan bahwa saat penjajah semakin menindas, saat itu pula perlawanan kaum santri semakin keras. Penolakan Sultan Agung dan Diponegoro terhadap kecongkakan Belanda, ketegaran kiyai-kiyai di masa penjajahan, serta kehati-hatian para pemimpin Islam berlatarbelakang pesantren dalam menyikapi kebijaksanaan penguasa yang dirasakan tidak bijaksana atau sistem yang established sehingga menempatkan mereka sebagai kelompok "oposan" adalah bentuk-bentuk cultural resistance dari dulu hingga sekarang. Dalam konteks ini bisa difahami jika pesantren-pesantren tua dan besar selalu dihubungkan dengan kekayaan mereka yang berupa kesinambungan ideologis dan historis, serta mepertahankan budaya lokal: a historical and ideological continuum with its cultural resistance. Denominasi keagamaan dunia pesantren yang Syafi`i-Asy`ari-Ghazalian-Oriented terbukti sangat mendukung terhadap pengembangan dan pelaksaan konsep cultural resistance ini. Menarik diamati bahwa kaum santri tidak pernah menyebut Syafi`i dan Ghazali terlepas dari kata “Imam” di depan tiga nama itu. Bukankah ini tradisi unik dunia pesantren yang tidak dijumpai di negara-negara Islam lain. Modeling terhadap tiga tokoh ini dan cultural resistence dalam bentuk kesinambungan kesejarahan adalah tiga konsep yang telah menyatu dalam illustrasi terakhir ini.
c. Budaya keilmuan yang tinggi
Dunia pesantren senantiasa identik dengan dunia ilmu. Definisi pesantren itu sendiri selalu mengacu pada proses pembelajaran dengan komponen-komponen pendidikan yang mencakup pendidik, santri, murid, serta fasilitas tempat belajar mengajar.
Rujukan ideal keilmuan dunia pesantren cukup komprehensif yang meliputi inti ajaran dasar Islam itu sendiri yang bersumber dari al-Qur'an Hadis, tokoh-tokoh ideal zaman klasik seperti Imam Bukhari, serta tradisi lisan yang berkembang senantiasa mengagungkan tokoh-tokoh `ulama Jawa yang agung seprti Nawawi al-Bantani, Mahfudz al-Tirmisi dan lain-lain. Ayat al-Qur'an pertama kali yang diwahyukan adalah surat iqra' yang menyerukan signifikasi baca dan belajar bagi kaum beriman. Menjadi Muslim berarti menjadi santri, menjadi santri berarti tidak boleh lepas dari kegiatan belajar 24 jam di lembaga pendidikan pesantren. Status santri, bagi komunitas ini, dengan demikian selalu lebih mulia dibanding dengan status non-santri. Rujukannya jelas ayat al-Qur'an yang menjanjikan status mulia dan khusus bagi kaum beriman dan berilmu. Pendidikan sehari semalam penuh dalam dunia pesantren dengan batas waktu yang relatif, serta hubungan guru-murid yang tidak pernah putus adalah implementasi dari ajaran Nabi yang menekankan keharusan mencari ilmu dari bayi sampai mati, minal mahdi ilallahdi. Singkatnya ajaran dasar Islam adalah landasan ideogis kaum santri untuk menekuni agamanya sebagai ilmu dan petunjuk yang bermanfaat di dunia dan akhirat.
Jika dalam zaman keemasan Islam tradisi al-rih}lah fi> ta>lab al-`ilm demikian luar biasa sebagaimana yang tercermin dalam perjalanan intelektual Imam Bukhari, sejarah telah membuktikan bahwa tradisi yang yang sama juga berkembang sepanjang masa dalam masyarakat santri hingga dikenal istilah wandering santris atau santri-santri kelana. Tradisi rihlah ini pula yang telah mengantarkan tiga tokoh utama pesantren: al-Bantani dan al-Tirmisi, mengembara sepanjang hidupnya dan menjadi guru besar di Mekkah dan Madinah. Fenomena dua master intelektual dunia pesantren ini membuktikan bahwa ilmu agama tidak hanya milik dunia Timur Tengah, dan bahwa ilmuwan berlatarbelakang sosio-kultural pesantren mampu menandingi `ulama-`ulama manca negara baik dalam kegiatan tulis menulis berbahasa Arab maupun dalam kegiatan akademik pengajaran di pusat dunia Islam.
Dewasa ini makna penting keilmuan dunia pesantren agaknya tidak bergeser. Seorang tokoh modernis, Dawam Rahardjo, misalnya, menaruh kepercayaan besar terhadap alumni-alumni pesantren yang memperoleh pendidikan di dunia Barat dan bekerja di berbagai sektor dan kantor swasta dan negara di Indonesia.
Dengan merujuk pada dinamika keilmuan pesantren dalam sejarah, agaknya istilah "konservatif" yang dialamatkan pada komunitas atau tradisi pesantren selama ini perlu ditinjau kembali. "Konservatif" pada umumnya identik dengan statis, jumud, serta implikasi-implikasi fatalis lainnya. Lebih dari itu "konservatif" adalah kata impor dari kamus Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian tradisionalitas pesantren selayaknya ditujukan pada satu tradisi luhur dalam berbagai hal, termasuk tradisi intelektual pesantren yang belum pernah terhenti sampai sekarang
G. Temuan Penelitian
1. Karakteristik budaya organisasi pada dua pesantren yaitu Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang
Karakteristik budaya organisasi dalam penelitian tercermin dalam pola pembelajaran dan kurikulum. Pesantren Raudlatuth Thalibin atau yang lebih dikenal dengan PPRT semua santrinya adalah mahasiswa IAIN Walisongo Semarang. Sebagian dari para santri ini sebelumnya ada yang pernah mondok dan ada yang baru mondok sekali ini. Tujuan mereka mondok di sini adalah agar dapat belajar ilmu agama disamping ilmu dari bangku kuliah. Sebagai mahasiswa IAIN, maka jam perkuliahan terkadang pagi, siang ataupun sore. Oleh karena itu pengajian bandongan yang diselenggaran di pondok mengambil waktu ba'da maghrib, ba'da isya' dan ba'da shubuh. Di sini tidak diselenggarakan Madrasah Diniyah.
Pemilihan waktu tersebut diharapkan dapat diikuti oleh semua santri PPRT, kecuali ada halangan syar'ie. Adapun materi pengajian adalah kitab-kitab klasik seperti Majalis al-Tsaniah, dan Tafsir al-Munir. Kitab-kitab tersebut dibaca sampai habis sekitar 1 tahun atau lebih. Setelah habis biasanya kyai menawarkan pilihan beberapa kitab kepada santri-santri. Kurikulum di PPRT terkesan longgar, karena pada pagi, siang dan sore hari para santri banyak yang kuliah. Sementara yang tidak kuliah, ada yang mengerjakan tugas kuliah, cuci pakaian, cuci kendaraan, ada yang tiduran dan sebagainya.
Sedangkan di Pesantren Luhur yang memilih sebagai pesantren salafiyah, sebagian besar santrinya tidak sekolah (baca khusus mondok). Pola pembelajaran di sini diselenggarakan secara klasikal dalam bentuk Madrasah Diniyah kelas I sampai kelas IV yang diselenggarakan pagi dan siang hari, yakni jam 08.00 – 11.00 WIB. Kemudian pada malamnya diadakan taqrar atau pengulangan. Bagi mereka yang sekolah dan tidak bisa mengikuti Madin Pagi, mereka dapat mengikuti Taqrar. Materi dalam taqrir ini sama dengan Madin pagi dan kyai/ustadz hanya memberikan peringatan ketika ada kesalahan saja. Berbeda dengan di PPRT, kurikulum di Pesnatren Luhur didesain cukup lengkap, untuk kelas I (Sharf, Nahwu, Arba'in Nawawi, Ta'lim Muta'allim, Tajwid, Mabadi' al-Fiqhiyah dan Tauhid), kelas II Sharf, Nahwu, Riyad al-Badi'ah, Tauhid, Mabadi' al-Awwaliyah dan Bulugh al-Marom), kelas III (Shorf, Fath al-Qarib, Nahwu, Tajwid, al-Sulam, dan al-Adzkar), dan kelas IV (Ibnu Aqil, Fath Mu'in, Tauhid, Jauhar Maknun, Tajwid, Minhaj al-Qawim, al-Tibyan dan Mushthalah al-Hadits).
Suasana di luar jam pelajaran biasanya dimanfaatkan untuk menghafal pelajaran-pelajaran diniah. Karena umumnya mereka hanya mondok, maka kesempatan memperdalam ilmu-ilmu dari Madin sangat luas.
2. Ragam nilai dalam budaya organisasi pesantren yaitu Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang.
Ragam nilai dalam budaya organisasi pesantren dalam penelitian ini dapat dilihat dari latar belakang pendidikan santri dan tujuan 'nyantri'. Di PPRT semua santrinya berpendidikan mahasiswa. Mereka memilih tinggal di pondok adalah untuk melengkapi keilmuan yang telah didapatkan dari kampus. Pola pikir mahasiswa yang demokratis sedikit banyak mempengaruhi pola kehidupan di pesantren. Para santri tidak begitu saja menerima ajaran yang disampaikan kyai, tetapi dengan pikiran kritis. Salah satu contoh konsep tentang Ahl as-Sunnah wa-al-Jama'ah, yang sering dipahami oleh dunia pesantren sebagai ajaran yang dalam bidang aqidah mengikuti Imam Asy'ari dan Imam Maturidzi, dalam bidang fiq mengikuti Imam Empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali), serta dalam bidang tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan imam Abu Qasim al-Junaidi. Oleh santri mahasiswa, konsep Ahl as-Sunnah wa-al-Jama'ah semacam itu dianggap apologis. Karena hanya membatasi kepada hasil ijtihad orang bukan bersumber dari ajaran yang pokok, yakni al-Qur'an dan Hadits Nabi.
Dalam pesantren mahasiswa, mereka lebih bersikap kontekstual, inklusif, dan akomodatif dalam menyikapi realitas dengan pembacaannya yang kritis- akademis ala kampus tanpa melupakan khazanah intelektual masa silam yang sudah melebur dengan tradisi.
Pola pikir mahasiwa ini juga berpengaruh terhadap pola relasi kiai-santri dan santri-keluarga kyai di dalamnya. Lazimnya, relasi kiai-santri dan santri-keluarga kyai adalah patron-client relationship ala pesantren yang terbentuk atas dasar kiai sebagai fokus pusaran kekuasaan di pesantren.
Namun jika dianalisa lebih lanjut, pola kepemimpinan tradisional dan karismatik khas pesantren ini mulai bergeser seiring dengan tumbuhnya pesantren mahasiswa ini. Dalam pesantren model ini, pola relasi kiai-santri yang sebelumnya masih patron-client relationship yang tenggelam dalam aspek ruh al-inqiyad (semangat kepatuhan berlebihan para santri) bergeser menjadi pola relasi kepemimpinan botton up antara kiai dan santri atas dasar ruh al-intiqad (semangat mengkritik, menguji, dan mempertanyakan). Artinya, semangat kritis-akademis ala kampus mulai merasuk terbawa para santri saat mengikuti proses belajar-mengajar di pesantren.
Di Pesantren Luhur yang masih menerapkan sistem salaf, keberadaan santri di pesantren memang betul-betul untuk 'nyantri' belajar di pondok. Pola pikir sebagaimana dalam pesantren mahasiswa belum banyak mempengaruhi mereka, sehingga pola relasi kyai-santri masih patron-client relationship. Kyai adalah sebagai fokus pusaran kekuasaan di pesantren.
3. Sistem nilai dalam budaya organisasi pesantren yaitu Pesantren Raudlatuth Thalibin dan Pesantren Luhur Semarang.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan keagamaan, sistem pendidikan pesantren didasari, digerakkan, dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran dasar Islam. Nilai ini secara kontekstual disesuaikan dengan realitas sosial masyarakat. Perpaduan kedua sumber nilai inilah yang membentuk pandangan hidup dan menetapkan tujuan yang akan dikembangkan oleh pesantren.
Menurut Mastuhu, nilai yang mendasari pesantren digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu: 1) Nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak yang bersifat fiqih-sufistik dan berorientasi pada kehidupan ukhrawi, dan 2) Nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran relatif, bercorak empiris dan pragmatis untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan menurut hukum agama. Kedua nilai ini mempunyai hubungan vertikal dan hirarkis. Dalam kaitan ini, kyai menjaga nilai-nilai agama kelompok pertama, sedangkan ustadz dan santri menjaga nilai-nilai kelompok kedua. Hal inilah yang menyebabkan dalam sistem pendidikan pesantren sosok kyai menjadi sosok yang menentukan setiap perjalanan dan aktivitas pesantren (individual enterprise).
Disamping nilai-nilai tersebut ada beberapa prinsip dalam pesantren, yakni: Pertama, teosentris, artinya sistem pendidikan pesantren mendasarkan falsafah pendidikannya pada filsafat teosentris. Falsafah ini berangkat dari pandangan yang menyatakan bahwa semua kejadian berasal, berproses, kembali kepada kebenaran Tuhan, dan pengaruh konsep fitrah dalam Islam. Maka semua aktivitas pendidikan di pesantren dipandang sebagai ibadah dan bagian integral dari totalitas kehidupan manusia, sehingga belajar di pesantren tidak dipandang sebagai alat tetapi dipandang sebagai tujuan.
Kedua, sukarela dan mengabdi. Karena mendasarkan kegiatan pendidikan sebagai suatu ibadah.Penyelenggaraan pesantren dilaksanakan secara sukarela (ikhlas) dan mengabdi kepada sesama dalam rangka ibadah kepada Allah SWT.
Ketiga, kearifan, yakni bersikap dan berperilaku sabar, rendah hati, patuh kepada ketentuan hukum agama, tidak merugikan orang lain, dan mendatangkan manfaat bagi kepentingan bersama menjadi titik tekan dalam kehidupan pesantren dalam rangka mewujudkan sifat arif
Keempat, kesederhanaan. Salah satu nilai luhur pesantren dan menjadi pedoman perilaku bagi warganya adalah penampilan sederhana. Sederhana yang dimaksud di sini bukan identik dengan kemiskinan, tetapi kemampuan bersikap dan berpikir wajar, proporsional, dan tidak tinggi hati.
Kelima, kolektivitas. Pesantren menekankan pentingnya kolektivitas atau kebersamaan lebih tinggi daripada individualisme. Implikasi dari prinsip ini, di pesantren berlaku pendapat bahwa dalam masalah hak seseorang harus mendahulukan kepentingan orang lain, sedangkan dalam masalah kewajiban, dia harus mendahulukan kewajibannya sendiri sebelum orang lain.
Keenam, mengatur kegiatan bersama. Merujuk pada nilai-nilai pesantren yang bersifat relatif, santri, dengan bimbingan ustadz dan kyai, mengatur hampir semua kegiatan proses belajamya sendiri.
Ketujuh, kebebasan terpimpin. Prinsip ini digunakan pesantren dalam menjalankan kebijakan kependidikannya. Konsep yang mendasarinya adalah ajaran bahwa semua makhluk pada akhirnya tidak dapat keluar melampaui ketentuan-ketentuan sunnatullah. Di samping itu, ada keyakinan bahwa masing-masing anak dilahirkan menurut fitrah-Nya. Implikasi dari prinsip ini adalah warga pesantren mengalami keterbatasan-keterbatasan namun tetap memiliki kebebasan mengatur dirinya sendiri.
Kedelapan, mandiri. Dalam kehidupan pesantren, sifat mandiri tampak jelas. Sikap ini dapat dilihat dari aktivitas santri dalam mengatur dan bertanggung jawab atas keperluannya sendiri.
Kesembilan, mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Sebagaimana disebutkan di muka, pesantren sangat mementingkan pengamalan agama dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kehidupannya selalu berada dalam rambu-rambu hukum agama.
Kesepuluh, pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi. Warga pesantren menganggap bahwa pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi. Ilmu yang dimaksud adalah bersifat suci dan tak terpisahkan dari bagian agama, sehingga model pemikiran mereka berangkat dari keyakinan dan berakhir dengan kepastian. Hal ini berbeda dengan ilmu dalam arti science yang memandang setiap gejala yang mempunyai kebenaran relatif dan bersyarat. Akhir dari pandangan ini adalah ilmu tidak dipandang sebagai kemampuan berpikir metodologis, melainkan sebagai berkah.
Kesebelas, tanpa ijazah. Seiring dengan prinsip-prinsip sebelumnya, pesantren tidak memberikan ijazah atau sertifikat sebagai tanda keberhasilan belajar. Alasannya, keberhasilan tidak diukur dengan ijazah yang ditandai dengan angka-angka, tetapi diukur dengan prestasi kerja yang diakui oleh masyarakat.
Keduabelas, restu kyai. Dalam kehidupan pesantren, semua aktivitas warga pesantren sangat tergantung pada restu kyai, baik ustadz, pengurus, maupun santri. Implikasi prinsip ini adalah tanda kelulusan ditentukan oleh kyai, sehingga warga pesantren sangat berhati-hati jangan sampai melakukan tindakan yang tidak berkenan di hadapan kyai.
Implementasi TQM di Madrasah
Implementasi TQM di Madrasah
Fatah Syukur*)
Abstraksi
Peningkatan kualitas merupakan salah satu prasyarat agar kita dapat memasuki era globlalisasi yang penuh dengan persaingan. Keberadaan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam tidak akan lepas dari persaingan global tersebut. Untuk itu peningakat kualitas merupakan agenda utama dalam meningkatkan mutu madrasah agar dapat survive dalam era global.
TQM (Total Quality Management) merupakan konsep peningkatan mutu secara terpadu di bidang manajemen dan masih cukup baru dalam dunia pendidikan. Artikel ini mencoba mengimplementasikan konsep TQM untuk Madrasah. Walaupun keberadaan madrasah secara formal sama dengan sekolah, tetapi kekhasan kultur madrasah tetap membedakan dengan kultur sekolah umum. Oleh karena itu, apakah TQM dapat diterapkan di madrasah, prasyarat apa yang diperlukan agar TQM itu berhasil, apa kendala-kendalanya. Inilah pertanyaan-pertanyaan yang dimuculkan dalam artikel ini.
Keywords : Total Quality Management, Mutu, dan Madrasah,
Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan dapat dipecahkan dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut.
Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kuailtas pendidikan. Salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan antara lain dengan hasil ujian nasional siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah/madrasah dengan jumlah yang relatif sangat kecil.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil.[1] Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah/madrasah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagaimana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah/madrasah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah/madrasah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
Diskusi tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan. Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas-batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement). Disamping itu mengingat sekolah/madrasah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah/madrasah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah/madrasah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah/madrasah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan.
Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah/madrasah.
Bervariasinya kebutuhan siswa akan belajar, beragamnya kebutuhan guru dan staff lain dalam pengembangan profesionalnya, berbedanya lingkungan sekolah/madrasah satu dengan lainnya dan ditambah dengan harapan orang tua/masyarakat akan pendidikan yang bermutu bagi anak dan tuntutan dunia usaha untuk memperoleh tenaga bermutu, berdampak kepada keharusan bagi setiap individu terutama pimpinan kelompok harus mampu merespon dan mengapresiasikan kondisi tersebut di dalam proses pengambilan keputusan. Ini memberi keyakinan bahwa di dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu pendidikan mungkin dapat dipergunakan berbagai teori, perspektif dan kerangka acuan (framework) dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat terutama yang memiliki kepedulian kepada pendidikan. Karena sekolah/madrasah berada pada pada bagian terdepan dari pada proses pendidikan, maka diskusi ini memberi konsekwensi bahwa sekolah/madrasah harus menjadi bagian utama di dalam proses pembuatan keputusan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Sementara, masyarakat dituntut partisipasinya agar lebih memahami pendidikan, sedangkan pemerintah pusat berperan sebagai pendukung dalam hal menentukan kerangka dasar kebijakan pendidikan.
Strategi ini berbeda dengan konsep mengenai pengelolaan sekolah/madrasah yang selama ini kita kenal. Dalam sistem lama, birokrasi pusat sangat mendominasi proses pengambilan atau pembuatan keputusan pendidikan, yang bukan hanya kebijakan bersifat makro saja tetapi lebih jauh kepada hal-hal yang bersifat mikro; Sementara sekolah/madrasah cenderung hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, lingkungan Sekolah/madrasah, dan harapan orang tua. Pengalaman menunjukkan bahwa sistem lama seringkali menimbulkan kontradiksi antara apa yang menjadi kebutuhan sekolah/madrasah dengan kebijakan yang harus dilaksanakan di dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah/madrasah ini memperlihatkan suatu perubahan cara berpikir dari yang bersifat rasional, normatif dan pendekatan preskriptif di dalam pengambilan keputusan pandidikan kepada suatu kesadaran akan kompleksnya pengambilan keputusan di dalam sistem pendidikan dan organisasi yang mungkin tidak dapat diapresiasiakan secara utuh oleh birokrat pusat. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran untuk beralih kepada konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah/madrasah sebagai pendekatan baru di Indonesia, yang merupakan bagian dari desentralisasi pendidikan yang tengah dikembangkan.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah/madrasah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah/madrasah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmond, 1979). Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut; (i) lingkungan sekolah/madrasah yang aman dan tertib, (ii) sekolah/madrasah memilki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah/madrasah memiliki kepemimpinan yang kuat, (iv) adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah/madrasah (kepala sekolah/madrasah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi, (v) adanya pengembangan staf sekolah/madrasah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, (vi) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu, dan (vii) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat. Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah/madrasah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendidikan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah/madrasah; kepala sekolah/madrasah, guru dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sekolah/madrasah yang bersangkutan dengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu ditujukan kepada keberhasilan sekolah/madrasah untuk menyiapkan pendidikan yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat.
Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah/madrasah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personel sekolah/madrasah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama-sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah/madrasah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/madrasah/pendidikan. Kepala sekolah/madrasah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah/madrasah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah/madrasah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah/madrasah itu sendiri maupun sekolah/madrasah lain.
Ada empat hal yang terkait dengan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total yaitu; (i) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus-menerus mengumandangkan peningkatan mutu, (ii) kualitas/mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah/madrasah, (iii) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan, (iv) sekolah/madrasah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan emosional.
Sistem kompetisi tersebut akan mendorong sekolah/madrasah untuk terus meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah/madrasah, khususnya siswa. Jadi sekolah/madrasah harus mengontrol semua semberdaya termasuk sumber daya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan-tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional.
Pengertian Mutu
Dalam kerangka umum, mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah/madrasah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah/madrasah, dukungan kelas berfungsi mensinkronisasikan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah/madrasah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir semester, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, Ebta atau UAN). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya: komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah/madrasah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dan sebagainya.
Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam arti hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah/madrasah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah/madrasah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai . Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah/madrasah, terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau "kognitif" dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar, misalnya: NEM oleh KKG atau MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah/madrasah baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan ekstra-kurikuler) dilakukan oleh individu sekolah/madrasah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya. Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya.
Pengertian dan Prinsip Mutu Terpadu
Mendefinisikan mutu / kualitas memerlukan pandangan yang komprehensif. Ada beberapa elemen bahwa sesuatu dikatakan berkualitas, yakni;[2]
1. Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan
2. Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan
3. Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (apa yang dianggap berkualitas saat ini mungkin dianggap kurang berkualitas pada saat yang lain)
4. Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.
Mutu terpadu atau disebut juga Total Quality Management (TQM) dapat didefinisikan dari tiga kata yang dimilikinya yaitu: Total (keseluruhan), Quality (kualitas, derajat/tingkat keunggulan barang atau jasa), Management (tindakan, seni, cara menghendel, pengendalian, pengarahan). Dari ketiga kata yang dimilikinya, definisi TQM adalah: “sistem manajemen yang berorientasi pada kepuasan pelanggan (customer satisfaction) dengan kegiatan yang diupayakan benar sekali (right first time), melalui perbaikan berkesinambungan (continous improvement) dan memotivasi karyawan “ (Kid Sadgrove, 1995) [3]
Seperti halnya kualitas, Total Quality Management dapat diartikan sebagai berikut;[4] 1)Perpaduan semua fungsi dari perusahaan ke dalam falsafah holistik yang dibangun berdasarkan konsep kualitas, teamwork, produktivitas, dan pengertian serta kepuasan pelanggan (Ishikawa, 1993, p.135). 2) Sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha dan berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi (Santosa, 1992, p.33). 3) Suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungannya.
Total Quality Approach hanya dapat dicapai dengan memperhatikan karakteristik sebagai berikut;
1. Fokus pada pelanggan (internal & Eksternal)
2. Memiliki obsesi tinggi terhadap kualitas
3. Menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah
4. Memiliki komitmen jangka panjang
5. Membutuhkan kerjasama tim (teamwork)
6. Memperbaiki proses secara kontinu
7. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
8. Memberikan kebebasan yang terkendali
9. Memiliki kesatuan tujuan
10. Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan
Sedangkan tujuan sistem mutu adalah memberikan keyakinan bahwa produk atau jasa yang dihasilkan perusahaan (dapat pula disebut sebagai keluaran) memenuhi persyaratan mutu pembeli. Sistem mutu tersebut mencakup baik jaminan mutu maupun pengendalian mutu.[5]
Ada beberapa tokoh yang mengemukakan prinsip-prinsip TQM. Salah satunya adalah Bill Crash, 1995, mengatakan bahwa program TQM harus mempunyai empat prinsip bila ingin sukses dalam penerapannya. Keempat prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Program TQM harus didasarkan pada kesadaran akan kualitas dan berorientasi pada kualitas dalam semua kegiatannya sepanjang program, termasuk dalam setiap proses dan produk.
2. Program TQM harus mempunyai sifat kemanusiaan yang kuat dalam memberlakukan karyawan, mengikutsertakannya, dan memberinya inspirasi.
3. Progran TQM harus didasarkan pada pendekatan desentralisasi yang memberikan wewenang disemua tingkat, terutama di garis depan, sehingga antusiasme keterlibatan dan tujuan bersama menjadi kenyataan.
4. Program TQM harus diterapkan secara menyeluruh sehingga semua prinsip, kebijaksanaan, dan kebiasaan mencapai setiap sudut dan celah organisasi.
Lebih lanjut Bill Creech, 1996, menyatakan bahwa prinsip-prinsip dalam sistem TQM harus dibangun atas dasar 5 pilar sistem yaitu; Produk, Proses, Organisasi, Kepemimpinan, dan Komitmen.
Lima Pilar TQM
PRODUK
PROSES
ORGANISASI
PEMIMPIN
KOMITMEN
Produk adalah titik pusat untuk tujuan dan pencapaian organisasi. Mutu dalam produk tidak mungkin ada tanpa mutu di dalam proses. Mutu di dalam proses tidak mungkin ada tanpa organisasi yang tepat. Organisasi yang tepat tidak ada artinya tanpa pemimpin yang memadai. Komitmen yang kuat dari bawah ke atas merupakan pilar pendukung bagi semua yang lain. Setiap pilar tergantung pada keempat pilar yang lain, dan kalau salah satu lemah dengan sendirinya yang lain jga lemah.
Manfaat Program Mutu Terpadu [TQM].
TQM sangat bermanfaat baik bagi pelanggan, institusi, maupun bagi staf organisasi.
Manfaat TQM bagi pelanggan adalah:
1. Sedikit atau bahkan tidak memiliki masalah dengan produk atau pelayanan.
2. Kepedulian terhadap pelanggan lebih baik atau pelanggan lebih diperhatikan.
3. Kepuasan pelanggan terjamin.
Manfaat TQM bagi institusi adalah:
1. Terdapat perubahan kualitas produk dan pelayanan
2. Staf lebih termotivasi
3. Produktifitas meningkat
4. Biaya turun
5. Produk cacat berkurang
6. Permasalahan dapat diselesaikan dengan cepat.
Manfaat TQM bagi staf Organisasi adalah:
1. Pemberdayaan
2. Lebih terlatih dan berkemampuan
3. Lebih dihargai dan diakui
Manfaat lain dari implementasi TQM yang mungkin dapat dirasakan oleh institusi di masa yang akan datang adalah:
1. Membuat institusi sebagai pemimpin (leader) dan bukan hanya sekedar pengikut (follower)
2. Membantu terciptanya tim work
3. Membuat institusi lebih sensitif terhadap kebutuhan pelanggan
4. Membuat institusi siap dan lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan
5. Hubungan antara staf departemen yang berbeda lebih mudah
Persyaratan Implementasi TQM
Agar implementasi program TQM berjalan sesuai dengan yang diharapkan diperlukan persyaratan sebagai berikut:
1. Komitmen yang tinggi (dukungan penuh) dari menejemen puncak.
2. Mengalokasikan waktu secara penuh untuk program TQM
3. Menyiapkan dana dan mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas
4. Memilih koordinator (fasilitator) program TQM
5. Melakukan banchmarking pada perusahaan lain yang menerapkan TQM
6. Merumuskan nilai (value), visi (vision) dan misi (mission)
7. Mempersiapkan mental untuk menghadapi berbagai bentuk hambatan
8. Merencanakan mutasi program TQM.[6]
Peranan Pemimpin dan Staf Dalam Implementasi TQM
Pemimpin berperan dalam implementasi program TQM mulai dari menetapkan tujuan hingga alokasi waktu yang cukup. Kepemimpinan organisasi yang umum digunakan dapat dibedakan dalam empat model gaya kepemimpinan yaitu: model autocrasi, model feudal, model egalitarian, model anarchic. Adapun model kepemimpinan yang sangat cocok dengan budaya TQM adalah model egalitarian, karena pada model ini seorang pemimpin memberikan kebebasan kepada karyawan untuk bekerja. Karyawan berkomunikasi ke atas dan ke bawah di dalam departemennya bahkan dapat melewati departemen yang lain. Tim antar departemen dapat dibentuk untuk menyelesaikan masalah tertentu, pada model kepemimpinan ini.
Menurut pengalaman Deming dan Juran disimpulkan bahwa sistem dan menejemen lebih menentukan keberhasilan perusahaan. Namun, tanpa dukungan karyawan maka keberhasilan itu tidak akan sempurna. Kesuksesan TQM yang dapat mengenali karyawan hanya dapat mencapai hasil terbaik ketika budaya perusahan mendukung dan sistem yang jelek diperbaiki secara seksama. Implikasinya adalah menejemen harus mendorong karyawan yang berada ditingkat bawah untuk membuat keputusan mereka sendiri dan karyawan harus dipercayai dalam mengerjakan tugasnya tanpa harus dimonitor setiap gerak-geriknya. Hal ini merupakan prinsip pemberdayaan (empowerment) karyawan. [7]
Sifat-sifat Agar Pelanggan Puas
Sedikitnya terdapat lima sifat layanan yang harus diwujudkan agar pelanggan puas yang meliputi :[8]
1. Reability (kepercayaan), yaitu layanan sesuai dengan yang dijanjikan
2. Assurance (keterjaminan), yaitu mampu menjamin kualitas layanan yang diberikan
3. Tangible (penampilan), yaitu iklim sekolah/madrasah yang kondusif
4. Emphaty (perhatian), yaitu memberikan perhatian penuh kepada peserta didik
5. Responsiveness (ketanggapan), yaitu tepat tanggap terhadap kebutuhan peserta didik.
Strategi pelaksanaan di tingkat sekolah/madrasah
Dalam rangka mengimplementasikan konsep manajemen peningkatan mutu yang berbasis sekolah/madrasah ini, maka melalui partisipasi aktif dan dinamis dari orang tua, siswa, guru dan staf lainnya termasuk institusi yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan sekolah/madrasah harus melakukan tahapan kegiatan sebagai berikut :
· Penyusunan basis data dan profil sekolah/madrasah lebih presentatif, akurat, valid dan secara sistimatis menyangkut berbagai aspek akademis, administratif (siswa, guru, staf), dan keuangan.
· Melakukan evaluasi diri (self assesment) utnuk menganalisa kekuatan dan kelemahan mengenai sumber daya sekolah/madrasah, personil sekolah/madrasah, kinerja dalam mengembangkan dan mencapai target kurikulum dan hasil-hasil yang dicapai siswa berkaitan dengan aspek-aspek intelektual dan keterampilan, maupun aspek lainnya.
· Berdasarkan analisis tersebut sekolah/madrasah harus mengidentifikasikan kebutuhan sekolah/madrasah dan merumuskan visi, misi, dan tujuan dalam rangka menyajikan pendidikan yang berkualitas bagi siswanya sesuai dengan konsep pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai. Hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan identifikasi kebutuhan dan perumusan visi, misi dan tujuan adalah bagaimana siswa belajar, penyediaan sumber daya dan pengeloaan kurikulum termasuk indikator pencapaian peningkatan mutu tersebut.
· Berangkat dari visi, misi dan tujuan peningkatan mutu tersebut sekolah/madrasah bersama-sama dengan masyarakatnya merencanakan dan menyusun program jangka panjang atau jangka pendek (tahunan termasuk anggarannnya). Program tersebut memuat sejumlah program aktivitas yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan dan harus memperhitungkan kunci pokok dari strategi perencanaan tahun itu dan tahun-tahun yang akan datang. Perencanaan program sekolah/madrasah ini harus mencakup indikator atau target mutu apa yang akan dicapai dalam tahun tersebut sebagai proses peningkatan mutu pendidikan (misalnya kenaikan NEM rata-rata dalam prosentase tertentu, perolehan prestasi dalam bidang keterampilan, olah raga, dsb). Program sekolah/madrasah yang disusun bersama-sama antara sekolah/madrasah, orang tua dan masyarakat ini sifatnya unik dan dimungkinkan berbeda antara satu sekolah/madrasah dan sekolah/madrasah lainnya sesuai dengan pelayanan mereka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Karena fokus kita dalam mengimplementasian konsep manajemen ini adalah mutu siswa, maka program yang disusun harus mendukung pengembangan kurikulum dengan memperhatikan kurikulum nasional yang telah ditetapkan, langkah untuk menyampaikannya di dalam proses pembelajaran dan siapa yang akan menyampaikannya.
Dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini adalah kondisi alamiah total sumber daya yang tersedia dan prioritas untuk melaksankan program. Oleh karena itu, sehubungan dengan keterbatasan sumber daya dimungkinkan bahwa program tertentu lebih penting dari program lainnya dalam memenuhi kebutuhan siswa untuk belajar. Kondisi ini mendorong sekolah/madrasah untuk menentukan skala prioritas dalam melaksanakan program tersebut. Seringkali prioritas ini dikaitkan dengan pengadaan peralatan bukan kepada output pembelajaran. Oleh karena itu dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen tersebut sekolah/madrasah harus membuat skala prioritas yang mengacu kepada program-program pembelajaran bagi siswa. Sementara persetujuan dari proses pendanaan harus bukan semata-mata berdasarkan pertimbangan keuangan melainkan harus merefleksikan kebijakan dan prioritas tersebut. Anggaran harus jelas terkait dengan program yang mendukung pencapaian target mutu. Hal ini memungkinkan terjadinya perubahan pada perencanaan sebelum sejumlah program dan pendanaan disetujui atau ditetapkan.
· Prioritas seringkali tidak dapat dicapai dalam rangka waktu satu tahun program sekolah/madrasah, oleh karena itu sekolah/madrasah harus membuat strategi perencanaan dan pengembangan jangka panjang melalui identifikasi kunci kebijakan dan prioritas. Perencanaan jangka panjang ini dapat dinyatakan sebagai strategi pelaksanaan perencanaan yang harus memenuhi tujuan esensial, yaitu : (i) mampu mengidentifikasi perubahan pokok di sekolah/madrasah sebagai hasil dari kontribusi berbagai program sekolah/madrasah dalam periode satu tahun, dan (ii) keberadaan dan kondisi natural dari strategi perencanaan tersebut harus menyakinkan guru dan staf lain yang berkepentingan (yang seringkali merasakan tertekan karena perubahan tersebut dirasakan harus melaksanakan total dan segera) bahwa walaupun perubahan besar diperlukan dan direncanakan sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswa, tetapi mereka disediakan waktu yang representatif untuk melaksanakannya, sementara urutan dan logika pengembangan juga telah disesuaikan. Aspek penting dari strategi perencanaan ini adalah program dapat dikaji ulang untuk setiap periode tertentu dan perubahan mungkin saja dilakukan untuk penyesuaian program di dalam kerangka acuan perencanaan dan waktunya.
· Melakukan monitoring dan evaluasi untuk menyakinkan apakah program yang telah direncanakan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan, apakah tujuan telah tercapai, dan sejauh mana pencapaiannya. Karena fokus kita adalah mutu siswa, maka kegiatan monitoring dan evaluasi harus memenuhi kebutuhan untuk mengetahui proses dan hasil belajar siswa. Secara keseluruhan tujuan dan kegiatan monitoring dan evaluasi ini adalah untuk meneliti efektifitas dan efisiensi dari program sekolah/madrasah dan kebijakan yang terkait dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Seringkali evaluasi tidak selalu bermanfaat dalam kasus-kasus tertentu, oleh karenanya selain hasil evaluasi juga diperlukan informasi lain yang akan dipergunakan untuk pembuatan keputusan selanjutnya dalam perencanaan dan pelaksanaan program di masa mendatang. Demikian aktifitas tersebut terus menerus dilakukan sehingga merupakan suatu proses peningkatan mutu yang berkelanjutan.
Hambatan dalam peningkatan kualiatas
Hal penting yang perlu diperhatian dalam mengimplementasikan TQM adalah hambatan-hambatan yang mungkin akan ditemui. Menurut Deming, ada “tujuh penyakit yang mematikan” sebagai hambatan dalam peningkatan kualitas, empat yang paling mematikan yaitu:
1. Kurang konstannya tujuan, sehingga organisasi terhambat untuk mengadopsi kualitas sebagai manajemen;
2. adanya pemikiran jangka pendek;
3. adanya evaluasi individual yang hanya dilakukan melalui skala pertimbangan atau laporan tahunan; dan
4. adanya ‘Job Hope’ (mengharapkan jabatan).[9]
Deming juga mengutarakan penyebab gagalnya kualitas dalam pendidikan disebabkan oleh sumber-sumber pendidikan itu sendiri, termasuk design kurikulum, gedung sekolah/madrasah yang kurang terawat, lingkungan kerja yang buruk, system dan prosedur yang tidak sesuai, penjadwalan yang tidak memadai, kurangnya sumber-sumber yang penting dan pengembangan staf yang tidak memadai.
Kegagalan TQM dapat juga diakibatkan oleh usaha pelaksanaan yang setengah hati dan harapan-harapan yang tidak realistis, ada pula beberapa kesalahan yang secara umum dilakukan pada saat organisasi memulai inisitaif perbaikan kualitas. Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain:
1. Delegasi dan kepemimpinan yang tidak baik dari menejemen senior.
2. Team mania.
3. Proses penyebarluasan (deployment)
4. Menggunakan pendekatan yang terbatas dan dogmatis.
5. Harapan yang terlalu berlebihan
6. Empowering yang bersifat premature.[10]
Penutup
Dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen ini, strategi yang dapat dilaksanakan oleh sekolah/madrasah antara lain meliputi evaluasi diri untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan sekolah/madrasah. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut sekolah/madrasah bersama-sama orang tua dan masyarakat menentukan visi dan misi sekolah/madrasah dalam peningkatan mutu pendidikan atau merumuskan mutu yang diharapkan dan dilanjutkan dengan penyusunan rencana program sekolah/madrasah termasuk pembiayaannya, dengan mengacu kepada skala prioritas dan kebijakan nasional sesuai dengan kondisi sekolah/madrasah dan sumber daya yang tersedia. Dalam penyusunan program, sekolah/madrasah harus menetapkan indikator atau target mutu yang akan dicapai. Kegiatan yang tak kalah pentingnya adalah melakukan monitoring dan evaluasi program yang telah direncanakan sesuai dengan pendanaannya untuk melihat ketercapaian visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan kebijakan nasional dan target mutu yang dicapai serta melaporkan hasilnya kepada masyarakat dan pemerintah. Hasil evaluasi (proses dan output) ini selanjutnya dapat dipergunakan sebagai masukan untuk perencanaan/penyusunan program sekolah/madrasah di masa mendatang (tahun berikutnya). Demikian terus menerus sebagai proses yang berkelanjutan.
Untuk pengenalan dan menyamakan persepsi sekaligus untuk memperoleh masukan dalam rangka perbaikan konsep dan pelaksanaan manajemen ini, maka sosialisasi harus terus dilakukan. Kegiatan-kegiatan yang bersifat pilot/uji coba harus segera dilakukan untuk mengetahui kendala-kendala yang mungkin muncul di dalam pelaksanaannya untuk dicari solusinya dalam rangka mengantisipasi kemungkinan-kemungkian kendala yang muncul di masa mendatang. Harapannya dengan konsep ini, maka peningkatan mutu pendidikan akan dapat diraih oleh kita sebagai pelaksanaan dari proses pengembangan sumber daya manusia menghadapi persaingan global yang semakin ketat dan ditunjang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang secara cepat.
Daftar Pustaka
Bambang H. Hadi Wiardjo dan Sulistijarningsih Wibisono,Memasuki Pasar Internasional Dengan ISO 9000, Sistem Manajemen Mutu, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996).
Bendell, Tony, and Boulter, Louise, and Kelly, John, Benchmarking for Competitive Advantage, (United Kingdom: Pitman Publishing, 1993).
Dikmenum, Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah/madrasah: Suatu Konsepsi Otonomi Sekolah/madrasah (paper kerja), (Jakarta: Depdikbud, 1999).
Fandy Tjiptono & Anastasia Diana, Total Quality Management, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2003).
Karlof, Bengt and Ostblom, Svante, Benchmarking : A signpost to Excellence in Quality and Productivity, (New York, USA: John Wiley and Soons, 1994).
Roger,Everett M., Diffusion of Innovations, The Free Press, (New New York, USA.: 1995).
Semiawan, Conny R., dan Soedijarto, Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI, (Jakarta: PT. Grasindo, 1991).
Soegito, MM, Prof. Dr. HAT. Total Quality Management, (Semarang: UNNES, 2002).
Umedi, Dr., M.Ed., Manajemen Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah (MMBS/M), (Jakarta: Pusat Kajian Mutu Pendidikan, 2004).
Victorian's Departement of Education, Developing School Charter: Quality Assurance in Victorian Schools, (Melbourne, Australia: Education Victoria, 1997).
Zulian Yamit, Msi, Manajemen Kualitas Produk Dan Jasa, (Yogyakarta: CV Adipura, 2001).
[1] Dr. Umedi, M.Ed., Manajemen Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah (MMBS/M), (Jakarta: Pusat Kajian Mutu Pendidikan, 2004).
[2] Fandy Tjiptono & Anastasia Diana, Total Quality Management, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2003), hlm. 3-4.
[3] Drs. Zulian Yamit, Msi, Manajemen Kualitas Produk Dan Jasa, (Yogyakarta: CV Adipura, 2001), hlm. 181.
[4] Op cit, hlm. 4
[5] Bambang H. Hadi Wiardjo dan Sulistijarningsih Wibisono, Memasuki Pasar Internasional Dengan ISO 9000, Sistem Manajemen Mutu, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), hlm.7.
[6] Ibid, hlm. 186.
[7] Ibid, hlm. 190.
[8] Ibid
[9] Prof. Dr. HAT. Soegito, MM, Total Quality Management, (Semarang: UNNES, 2002), hlm. 14.
[10] Fendy Ciptono&Anastasia Dianan, Op-cit, hlm. 20.
Fatah Syukur*)
Abstraksi
Peningkatan kualitas merupakan salah satu prasyarat agar kita dapat memasuki era globlalisasi yang penuh dengan persaingan. Keberadaan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam tidak akan lepas dari persaingan global tersebut. Untuk itu peningakat kualitas merupakan agenda utama dalam meningkatkan mutu madrasah agar dapat survive dalam era global.
TQM (Total Quality Management) merupakan konsep peningkatan mutu secara terpadu di bidang manajemen dan masih cukup baru dalam dunia pendidikan. Artikel ini mencoba mengimplementasikan konsep TQM untuk Madrasah. Walaupun keberadaan madrasah secara formal sama dengan sekolah, tetapi kekhasan kultur madrasah tetap membedakan dengan kultur sekolah umum. Oleh karena itu, apakah TQM dapat diterapkan di madrasah, prasyarat apa yang diperlukan agar TQM itu berhasil, apa kendala-kendalanya. Inilah pertanyaan-pertanyaan yang dimuculkan dalam artikel ini.
Keywords : Total Quality Management, Mutu, dan Madrasah,
Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan dapat dipecahkan dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut.
Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kuailtas pendidikan. Salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan antara lain dengan hasil ujian nasional siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah/madrasah dengan jumlah yang relatif sangat kecil.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil.[1] Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah/madrasah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagaimana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah/madrasah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah/madrasah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
Diskusi tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan. Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas-batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement). Disamping itu mengingat sekolah/madrasah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah/madrasah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah/madrasah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah/madrasah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan.
Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah/madrasah.
Bervariasinya kebutuhan siswa akan belajar, beragamnya kebutuhan guru dan staff lain dalam pengembangan profesionalnya, berbedanya lingkungan sekolah/madrasah satu dengan lainnya dan ditambah dengan harapan orang tua/masyarakat akan pendidikan yang bermutu bagi anak dan tuntutan dunia usaha untuk memperoleh tenaga bermutu, berdampak kepada keharusan bagi setiap individu terutama pimpinan kelompok harus mampu merespon dan mengapresiasikan kondisi tersebut di dalam proses pengambilan keputusan. Ini memberi keyakinan bahwa di dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu pendidikan mungkin dapat dipergunakan berbagai teori, perspektif dan kerangka acuan (framework) dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat terutama yang memiliki kepedulian kepada pendidikan. Karena sekolah/madrasah berada pada pada bagian terdepan dari pada proses pendidikan, maka diskusi ini memberi konsekwensi bahwa sekolah/madrasah harus menjadi bagian utama di dalam proses pembuatan keputusan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Sementara, masyarakat dituntut partisipasinya agar lebih memahami pendidikan, sedangkan pemerintah pusat berperan sebagai pendukung dalam hal menentukan kerangka dasar kebijakan pendidikan.
Strategi ini berbeda dengan konsep mengenai pengelolaan sekolah/madrasah yang selama ini kita kenal. Dalam sistem lama, birokrasi pusat sangat mendominasi proses pengambilan atau pembuatan keputusan pendidikan, yang bukan hanya kebijakan bersifat makro saja tetapi lebih jauh kepada hal-hal yang bersifat mikro; Sementara sekolah/madrasah cenderung hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, lingkungan Sekolah/madrasah, dan harapan orang tua. Pengalaman menunjukkan bahwa sistem lama seringkali menimbulkan kontradiksi antara apa yang menjadi kebutuhan sekolah/madrasah dengan kebijakan yang harus dilaksanakan di dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah/madrasah ini memperlihatkan suatu perubahan cara berpikir dari yang bersifat rasional, normatif dan pendekatan preskriptif di dalam pengambilan keputusan pandidikan kepada suatu kesadaran akan kompleksnya pengambilan keputusan di dalam sistem pendidikan dan organisasi yang mungkin tidak dapat diapresiasiakan secara utuh oleh birokrat pusat. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran untuk beralih kepada konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah/madrasah sebagai pendekatan baru di Indonesia, yang merupakan bagian dari desentralisasi pendidikan yang tengah dikembangkan.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah/madrasah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah/madrasah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmond, 1979). Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut; (i) lingkungan sekolah/madrasah yang aman dan tertib, (ii) sekolah/madrasah memilki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah/madrasah memiliki kepemimpinan yang kuat, (iv) adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah/madrasah (kepala sekolah/madrasah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi, (v) adanya pengembangan staf sekolah/madrasah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, (vi) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu, dan (vii) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat. Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah/madrasah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendidikan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah/madrasah; kepala sekolah/madrasah, guru dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sekolah/madrasah yang bersangkutan dengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu ditujukan kepada keberhasilan sekolah/madrasah untuk menyiapkan pendidikan yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat.
Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah/madrasah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personel sekolah/madrasah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama-sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah/madrasah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/madrasah/pendidikan. Kepala sekolah/madrasah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah/madrasah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah/madrasah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah/madrasah itu sendiri maupun sekolah/madrasah lain.
Ada empat hal yang terkait dengan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total yaitu; (i) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus-menerus mengumandangkan peningkatan mutu, (ii) kualitas/mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah/madrasah, (iii) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan, (iv) sekolah/madrasah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan emosional.
Sistem kompetisi tersebut akan mendorong sekolah/madrasah untuk terus meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah/madrasah, khususnya siswa. Jadi sekolah/madrasah harus mengontrol semua semberdaya termasuk sumber daya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan-tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional.
Pengertian Mutu
Dalam kerangka umum, mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah/madrasah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah/madrasah, dukungan kelas berfungsi mensinkronisasikan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah/madrasah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir semester, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, Ebta atau UAN). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya: komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah/madrasah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dan sebagainya.
Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam arti hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah/madrasah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah/madrasah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai . Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah/madrasah, terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau "kognitif" dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar, misalnya: NEM oleh KKG atau MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah/madrasah baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan ekstra-kurikuler) dilakukan oleh individu sekolah/madrasah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya. Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya.
Pengertian dan Prinsip Mutu Terpadu
Mendefinisikan mutu / kualitas memerlukan pandangan yang komprehensif. Ada beberapa elemen bahwa sesuatu dikatakan berkualitas, yakni;[2]
1. Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan
2. Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan
3. Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (apa yang dianggap berkualitas saat ini mungkin dianggap kurang berkualitas pada saat yang lain)
4. Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.
Mutu terpadu atau disebut juga Total Quality Management (TQM) dapat didefinisikan dari tiga kata yang dimilikinya yaitu: Total (keseluruhan), Quality (kualitas, derajat/tingkat keunggulan barang atau jasa), Management (tindakan, seni, cara menghendel, pengendalian, pengarahan). Dari ketiga kata yang dimilikinya, definisi TQM adalah: “sistem manajemen yang berorientasi pada kepuasan pelanggan (customer satisfaction) dengan kegiatan yang diupayakan benar sekali (right first time), melalui perbaikan berkesinambungan (continous improvement) dan memotivasi karyawan “ (Kid Sadgrove, 1995) [3]
Seperti halnya kualitas, Total Quality Management dapat diartikan sebagai berikut;[4] 1)Perpaduan semua fungsi dari perusahaan ke dalam falsafah holistik yang dibangun berdasarkan konsep kualitas, teamwork, produktivitas, dan pengertian serta kepuasan pelanggan (Ishikawa, 1993, p.135). 2) Sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha dan berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi (Santosa, 1992, p.33). 3) Suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungannya.
Total Quality Approach hanya dapat dicapai dengan memperhatikan karakteristik sebagai berikut;
1. Fokus pada pelanggan (internal & Eksternal)
2. Memiliki obsesi tinggi terhadap kualitas
3. Menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah
4. Memiliki komitmen jangka panjang
5. Membutuhkan kerjasama tim (teamwork)
6. Memperbaiki proses secara kontinu
7. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
8. Memberikan kebebasan yang terkendali
9. Memiliki kesatuan tujuan
10. Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan
Sedangkan tujuan sistem mutu adalah memberikan keyakinan bahwa produk atau jasa yang dihasilkan perusahaan (dapat pula disebut sebagai keluaran) memenuhi persyaratan mutu pembeli. Sistem mutu tersebut mencakup baik jaminan mutu maupun pengendalian mutu.[5]
Ada beberapa tokoh yang mengemukakan prinsip-prinsip TQM. Salah satunya adalah Bill Crash, 1995, mengatakan bahwa program TQM harus mempunyai empat prinsip bila ingin sukses dalam penerapannya. Keempat prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Program TQM harus didasarkan pada kesadaran akan kualitas dan berorientasi pada kualitas dalam semua kegiatannya sepanjang program, termasuk dalam setiap proses dan produk.
2. Program TQM harus mempunyai sifat kemanusiaan yang kuat dalam memberlakukan karyawan, mengikutsertakannya, dan memberinya inspirasi.
3. Progran TQM harus didasarkan pada pendekatan desentralisasi yang memberikan wewenang disemua tingkat, terutama di garis depan, sehingga antusiasme keterlibatan dan tujuan bersama menjadi kenyataan.
4. Program TQM harus diterapkan secara menyeluruh sehingga semua prinsip, kebijaksanaan, dan kebiasaan mencapai setiap sudut dan celah organisasi.
Lebih lanjut Bill Creech, 1996, menyatakan bahwa prinsip-prinsip dalam sistem TQM harus dibangun atas dasar 5 pilar sistem yaitu; Produk, Proses, Organisasi, Kepemimpinan, dan Komitmen.
Lima Pilar TQM
PRODUK
PROSES
ORGANISASI
PEMIMPIN
KOMITMEN
Produk adalah titik pusat untuk tujuan dan pencapaian organisasi. Mutu dalam produk tidak mungkin ada tanpa mutu di dalam proses. Mutu di dalam proses tidak mungkin ada tanpa organisasi yang tepat. Organisasi yang tepat tidak ada artinya tanpa pemimpin yang memadai. Komitmen yang kuat dari bawah ke atas merupakan pilar pendukung bagi semua yang lain. Setiap pilar tergantung pada keempat pilar yang lain, dan kalau salah satu lemah dengan sendirinya yang lain jga lemah.
Manfaat Program Mutu Terpadu [TQM].
TQM sangat bermanfaat baik bagi pelanggan, institusi, maupun bagi staf organisasi.
Manfaat TQM bagi pelanggan adalah:
1. Sedikit atau bahkan tidak memiliki masalah dengan produk atau pelayanan.
2. Kepedulian terhadap pelanggan lebih baik atau pelanggan lebih diperhatikan.
3. Kepuasan pelanggan terjamin.
Manfaat TQM bagi institusi adalah:
1. Terdapat perubahan kualitas produk dan pelayanan
2. Staf lebih termotivasi
3. Produktifitas meningkat
4. Biaya turun
5. Produk cacat berkurang
6. Permasalahan dapat diselesaikan dengan cepat.
Manfaat TQM bagi staf Organisasi adalah:
1. Pemberdayaan
2. Lebih terlatih dan berkemampuan
3. Lebih dihargai dan diakui
Manfaat lain dari implementasi TQM yang mungkin dapat dirasakan oleh institusi di masa yang akan datang adalah:
1. Membuat institusi sebagai pemimpin (leader) dan bukan hanya sekedar pengikut (follower)
2. Membantu terciptanya tim work
3. Membuat institusi lebih sensitif terhadap kebutuhan pelanggan
4. Membuat institusi siap dan lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan
5. Hubungan antara staf departemen yang berbeda lebih mudah
Persyaratan Implementasi TQM
Agar implementasi program TQM berjalan sesuai dengan yang diharapkan diperlukan persyaratan sebagai berikut:
1. Komitmen yang tinggi (dukungan penuh) dari menejemen puncak.
2. Mengalokasikan waktu secara penuh untuk program TQM
3. Menyiapkan dana dan mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas
4. Memilih koordinator (fasilitator) program TQM
5. Melakukan banchmarking pada perusahaan lain yang menerapkan TQM
6. Merumuskan nilai (value), visi (vision) dan misi (mission)
7. Mempersiapkan mental untuk menghadapi berbagai bentuk hambatan
8. Merencanakan mutasi program TQM.[6]
Peranan Pemimpin dan Staf Dalam Implementasi TQM
Pemimpin berperan dalam implementasi program TQM mulai dari menetapkan tujuan hingga alokasi waktu yang cukup. Kepemimpinan organisasi yang umum digunakan dapat dibedakan dalam empat model gaya kepemimpinan yaitu: model autocrasi, model feudal, model egalitarian, model anarchic. Adapun model kepemimpinan yang sangat cocok dengan budaya TQM adalah model egalitarian, karena pada model ini seorang pemimpin memberikan kebebasan kepada karyawan untuk bekerja. Karyawan berkomunikasi ke atas dan ke bawah di dalam departemennya bahkan dapat melewati departemen yang lain. Tim antar departemen dapat dibentuk untuk menyelesaikan masalah tertentu, pada model kepemimpinan ini.
Menurut pengalaman Deming dan Juran disimpulkan bahwa sistem dan menejemen lebih menentukan keberhasilan perusahaan. Namun, tanpa dukungan karyawan maka keberhasilan itu tidak akan sempurna. Kesuksesan TQM yang dapat mengenali karyawan hanya dapat mencapai hasil terbaik ketika budaya perusahan mendukung dan sistem yang jelek diperbaiki secara seksama. Implikasinya adalah menejemen harus mendorong karyawan yang berada ditingkat bawah untuk membuat keputusan mereka sendiri dan karyawan harus dipercayai dalam mengerjakan tugasnya tanpa harus dimonitor setiap gerak-geriknya. Hal ini merupakan prinsip pemberdayaan (empowerment) karyawan. [7]
Sifat-sifat Agar Pelanggan Puas
Sedikitnya terdapat lima sifat layanan yang harus diwujudkan agar pelanggan puas yang meliputi :[8]
1. Reability (kepercayaan), yaitu layanan sesuai dengan yang dijanjikan
2. Assurance (keterjaminan), yaitu mampu menjamin kualitas layanan yang diberikan
3. Tangible (penampilan), yaitu iklim sekolah/madrasah yang kondusif
4. Emphaty (perhatian), yaitu memberikan perhatian penuh kepada peserta didik
5. Responsiveness (ketanggapan), yaitu tepat tanggap terhadap kebutuhan peserta didik.
Strategi pelaksanaan di tingkat sekolah/madrasah
Dalam rangka mengimplementasikan konsep manajemen peningkatan mutu yang berbasis sekolah/madrasah ini, maka melalui partisipasi aktif dan dinamis dari orang tua, siswa, guru dan staf lainnya termasuk institusi yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan sekolah/madrasah harus melakukan tahapan kegiatan sebagai berikut :
· Penyusunan basis data dan profil sekolah/madrasah lebih presentatif, akurat, valid dan secara sistimatis menyangkut berbagai aspek akademis, administratif (siswa, guru, staf), dan keuangan.
· Melakukan evaluasi diri (self assesment) utnuk menganalisa kekuatan dan kelemahan mengenai sumber daya sekolah/madrasah, personil sekolah/madrasah, kinerja dalam mengembangkan dan mencapai target kurikulum dan hasil-hasil yang dicapai siswa berkaitan dengan aspek-aspek intelektual dan keterampilan, maupun aspek lainnya.
· Berdasarkan analisis tersebut sekolah/madrasah harus mengidentifikasikan kebutuhan sekolah/madrasah dan merumuskan visi, misi, dan tujuan dalam rangka menyajikan pendidikan yang berkualitas bagi siswanya sesuai dengan konsep pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai. Hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan identifikasi kebutuhan dan perumusan visi, misi dan tujuan adalah bagaimana siswa belajar, penyediaan sumber daya dan pengeloaan kurikulum termasuk indikator pencapaian peningkatan mutu tersebut.
· Berangkat dari visi, misi dan tujuan peningkatan mutu tersebut sekolah/madrasah bersama-sama dengan masyarakatnya merencanakan dan menyusun program jangka panjang atau jangka pendek (tahunan termasuk anggarannnya). Program tersebut memuat sejumlah program aktivitas yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan dan harus memperhitungkan kunci pokok dari strategi perencanaan tahun itu dan tahun-tahun yang akan datang. Perencanaan program sekolah/madrasah ini harus mencakup indikator atau target mutu apa yang akan dicapai dalam tahun tersebut sebagai proses peningkatan mutu pendidikan (misalnya kenaikan NEM rata-rata dalam prosentase tertentu, perolehan prestasi dalam bidang keterampilan, olah raga, dsb). Program sekolah/madrasah yang disusun bersama-sama antara sekolah/madrasah, orang tua dan masyarakat ini sifatnya unik dan dimungkinkan berbeda antara satu sekolah/madrasah dan sekolah/madrasah lainnya sesuai dengan pelayanan mereka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Karena fokus kita dalam mengimplementasian konsep manajemen ini adalah mutu siswa, maka program yang disusun harus mendukung pengembangan kurikulum dengan memperhatikan kurikulum nasional yang telah ditetapkan, langkah untuk menyampaikannya di dalam proses pembelajaran dan siapa yang akan menyampaikannya.
Dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini adalah kondisi alamiah total sumber daya yang tersedia dan prioritas untuk melaksankan program. Oleh karena itu, sehubungan dengan keterbatasan sumber daya dimungkinkan bahwa program tertentu lebih penting dari program lainnya dalam memenuhi kebutuhan siswa untuk belajar. Kondisi ini mendorong sekolah/madrasah untuk menentukan skala prioritas dalam melaksanakan program tersebut. Seringkali prioritas ini dikaitkan dengan pengadaan peralatan bukan kepada output pembelajaran. Oleh karena itu dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen tersebut sekolah/madrasah harus membuat skala prioritas yang mengacu kepada program-program pembelajaran bagi siswa. Sementara persetujuan dari proses pendanaan harus bukan semata-mata berdasarkan pertimbangan keuangan melainkan harus merefleksikan kebijakan dan prioritas tersebut. Anggaran harus jelas terkait dengan program yang mendukung pencapaian target mutu. Hal ini memungkinkan terjadinya perubahan pada perencanaan sebelum sejumlah program dan pendanaan disetujui atau ditetapkan.
· Prioritas seringkali tidak dapat dicapai dalam rangka waktu satu tahun program sekolah/madrasah, oleh karena itu sekolah/madrasah harus membuat strategi perencanaan dan pengembangan jangka panjang melalui identifikasi kunci kebijakan dan prioritas. Perencanaan jangka panjang ini dapat dinyatakan sebagai strategi pelaksanaan perencanaan yang harus memenuhi tujuan esensial, yaitu : (i) mampu mengidentifikasi perubahan pokok di sekolah/madrasah sebagai hasil dari kontribusi berbagai program sekolah/madrasah dalam periode satu tahun, dan (ii) keberadaan dan kondisi natural dari strategi perencanaan tersebut harus menyakinkan guru dan staf lain yang berkepentingan (yang seringkali merasakan tertekan karena perubahan tersebut dirasakan harus melaksanakan total dan segera) bahwa walaupun perubahan besar diperlukan dan direncanakan sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswa, tetapi mereka disediakan waktu yang representatif untuk melaksanakannya, sementara urutan dan logika pengembangan juga telah disesuaikan. Aspek penting dari strategi perencanaan ini adalah program dapat dikaji ulang untuk setiap periode tertentu dan perubahan mungkin saja dilakukan untuk penyesuaian program di dalam kerangka acuan perencanaan dan waktunya.
· Melakukan monitoring dan evaluasi untuk menyakinkan apakah program yang telah direncanakan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan, apakah tujuan telah tercapai, dan sejauh mana pencapaiannya. Karena fokus kita adalah mutu siswa, maka kegiatan monitoring dan evaluasi harus memenuhi kebutuhan untuk mengetahui proses dan hasil belajar siswa. Secara keseluruhan tujuan dan kegiatan monitoring dan evaluasi ini adalah untuk meneliti efektifitas dan efisiensi dari program sekolah/madrasah dan kebijakan yang terkait dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Seringkali evaluasi tidak selalu bermanfaat dalam kasus-kasus tertentu, oleh karenanya selain hasil evaluasi juga diperlukan informasi lain yang akan dipergunakan untuk pembuatan keputusan selanjutnya dalam perencanaan dan pelaksanaan program di masa mendatang. Demikian aktifitas tersebut terus menerus dilakukan sehingga merupakan suatu proses peningkatan mutu yang berkelanjutan.
Hambatan dalam peningkatan kualiatas
Hal penting yang perlu diperhatian dalam mengimplementasikan TQM adalah hambatan-hambatan yang mungkin akan ditemui. Menurut Deming, ada “tujuh penyakit yang mematikan” sebagai hambatan dalam peningkatan kualitas, empat yang paling mematikan yaitu:
1. Kurang konstannya tujuan, sehingga organisasi terhambat untuk mengadopsi kualitas sebagai manajemen;
2. adanya pemikiran jangka pendek;
3. adanya evaluasi individual yang hanya dilakukan melalui skala pertimbangan atau laporan tahunan; dan
4. adanya ‘Job Hope’ (mengharapkan jabatan).[9]
Deming juga mengutarakan penyebab gagalnya kualitas dalam pendidikan disebabkan oleh sumber-sumber pendidikan itu sendiri, termasuk design kurikulum, gedung sekolah/madrasah yang kurang terawat, lingkungan kerja yang buruk, system dan prosedur yang tidak sesuai, penjadwalan yang tidak memadai, kurangnya sumber-sumber yang penting dan pengembangan staf yang tidak memadai.
Kegagalan TQM dapat juga diakibatkan oleh usaha pelaksanaan yang setengah hati dan harapan-harapan yang tidak realistis, ada pula beberapa kesalahan yang secara umum dilakukan pada saat organisasi memulai inisitaif perbaikan kualitas. Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain:
1. Delegasi dan kepemimpinan yang tidak baik dari menejemen senior.
2. Team mania.
3. Proses penyebarluasan (deployment)
4. Menggunakan pendekatan yang terbatas dan dogmatis.
5. Harapan yang terlalu berlebihan
6. Empowering yang bersifat premature.[10]
Penutup
Dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen ini, strategi yang dapat dilaksanakan oleh sekolah/madrasah antara lain meliputi evaluasi diri untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan sekolah/madrasah. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut sekolah/madrasah bersama-sama orang tua dan masyarakat menentukan visi dan misi sekolah/madrasah dalam peningkatan mutu pendidikan atau merumuskan mutu yang diharapkan dan dilanjutkan dengan penyusunan rencana program sekolah/madrasah termasuk pembiayaannya, dengan mengacu kepada skala prioritas dan kebijakan nasional sesuai dengan kondisi sekolah/madrasah dan sumber daya yang tersedia. Dalam penyusunan program, sekolah/madrasah harus menetapkan indikator atau target mutu yang akan dicapai. Kegiatan yang tak kalah pentingnya adalah melakukan monitoring dan evaluasi program yang telah direncanakan sesuai dengan pendanaannya untuk melihat ketercapaian visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan kebijakan nasional dan target mutu yang dicapai serta melaporkan hasilnya kepada masyarakat dan pemerintah. Hasil evaluasi (proses dan output) ini selanjutnya dapat dipergunakan sebagai masukan untuk perencanaan/penyusunan program sekolah/madrasah di masa mendatang (tahun berikutnya). Demikian terus menerus sebagai proses yang berkelanjutan.
Untuk pengenalan dan menyamakan persepsi sekaligus untuk memperoleh masukan dalam rangka perbaikan konsep dan pelaksanaan manajemen ini, maka sosialisasi harus terus dilakukan. Kegiatan-kegiatan yang bersifat pilot/uji coba harus segera dilakukan untuk mengetahui kendala-kendala yang mungkin muncul di dalam pelaksanaannya untuk dicari solusinya dalam rangka mengantisipasi kemungkinan-kemungkian kendala yang muncul di masa mendatang. Harapannya dengan konsep ini, maka peningkatan mutu pendidikan akan dapat diraih oleh kita sebagai pelaksanaan dari proses pengembangan sumber daya manusia menghadapi persaingan global yang semakin ketat dan ditunjang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang secara cepat.
Daftar Pustaka
Bambang H. Hadi Wiardjo dan Sulistijarningsih Wibisono,Memasuki Pasar Internasional Dengan ISO 9000, Sistem Manajemen Mutu, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996).
Bendell, Tony, and Boulter, Louise, and Kelly, John, Benchmarking for Competitive Advantage, (United Kingdom: Pitman Publishing, 1993).
Dikmenum, Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah/madrasah: Suatu Konsepsi Otonomi Sekolah/madrasah (paper kerja), (Jakarta: Depdikbud, 1999).
Fandy Tjiptono & Anastasia Diana, Total Quality Management, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2003).
Karlof, Bengt and Ostblom, Svante, Benchmarking : A signpost to Excellence in Quality and Productivity, (New York, USA: John Wiley and Soons, 1994).
Roger,Everett M., Diffusion of Innovations, The Free Press, (New New York, USA.: 1995).
Semiawan, Conny R., dan Soedijarto, Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI, (Jakarta: PT. Grasindo, 1991).
Soegito, MM, Prof. Dr. HAT. Total Quality Management, (Semarang: UNNES, 2002).
Umedi, Dr., M.Ed., Manajemen Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah (MMBS/M), (Jakarta: Pusat Kajian Mutu Pendidikan, 2004).
Victorian's Departement of Education, Developing School Charter: Quality Assurance in Victorian Schools, (Melbourne, Australia: Education Victoria, 1997).
Zulian Yamit, Msi, Manajemen Kualitas Produk Dan Jasa, (Yogyakarta: CV Adipura, 2001).
[1] Dr. Umedi, M.Ed., Manajemen Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah (MMBS/M), (Jakarta: Pusat Kajian Mutu Pendidikan, 2004).
[2] Fandy Tjiptono & Anastasia Diana, Total Quality Management, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2003), hlm. 3-4.
[3] Drs. Zulian Yamit, Msi, Manajemen Kualitas Produk Dan Jasa, (Yogyakarta: CV Adipura, 2001), hlm. 181.
[4] Op cit, hlm. 4
[5] Bambang H. Hadi Wiardjo dan Sulistijarningsih Wibisono, Memasuki Pasar Internasional Dengan ISO 9000, Sistem Manajemen Mutu, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), hlm.7.
[6] Ibid, hlm. 186.
[7] Ibid, hlm. 190.
[8] Ibid
[9] Prof. Dr. HAT. Soegito, MM, Total Quality Management, (Semarang: UNNES, 2002), hlm. 14.
[10] Fendy Ciptono&Anastasia Dianan, Op-cit, hlm. 20.
Langganan:
Postingan (Atom)