26 Maret 2008

Pendidikan Tinggi

MEMADUKAN IDEALISME DOSEN DENGAN MAHASISWA

Oleh F. Syukur NC.


Tulisan ini diilhami oleh sebuah tulisan Prof. Dr. Achamd Ali, S.H., guru besar UNHAS Makassar yang dimuat di Harian Kompas, 22 April 2002, tentang Moralitas Pendidikan di Indonesia. Dalam artikel tersebut, Achmad Ali yang pernah menjadi dekan Fakultas Hukum Unhas, mendapat keluhan dari seorang dosen senior, bahwa mahasiswa yang diajarnya tidak mau mendengarkan, bahkan mereka bergurau – ramai sendiri. Sang dosen senior ini sampai marah dan melapor pada dekan, supaya dekan menindak mahasiswa tesebut. Namun setelah diusut, ternyata penyebab mahasiswa bergurau – ramai sendiri itu, bukan semata-mata karena faktor mahasiswanya, tetapi setiap sang dosen itu masuk di kelas, yang dilakukannya hanya langsung "mendiktekan" 10 halaman diktatnya. Sehingga tersirat dalam pikiran sebagian mahasiswanya, "Daripada kami capek-capek mencatat hasil diktean beliau, kan, mendingan dipinjamkan saja untuk kami copy, praktis dan efisien".
Dalam sebuah kesempatan dialog mahasiswa dengan bidang akademik IAIN Walisongo, mulai dari Pembantu Rektor I, Pembantu Dekan I, Ketua dan Sekretaris Jurusan serta Kasubag Akademik dan Kemahasiswa, ada seorang mahasiswa yang mengkritik habis-habisan keberadaan beberapa dosen yang menurutnya tidak bermutu. Dosen-dosen ketika di kelas tidak siap dengan materi yang diajarkan, yang sering adalah ceramah dan ngalor-ngidul tentang anak-anak dan tetangganya. Tetapi kalau ada mahasiswa yang bertanya dengan kritis, maka diancam nilainya akan dipotong. Mahasiswa tersebut menuntut agar para dosen tersebut ditingkatkan kualitasnya. Dalam mengajar hendaknya jangan hanya ceramah, dan menganggap mahasiswa sebagai botol kosong yang hanya siap untuk diisi. Ada juga seorang dosen senior ketika di kelas yang diceritakan selalu tentang pengalaman-pengalamanya di luar negeri yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan mata kuliah.
Dua kasus tersebut merupakan fenomena yang menarik dalam dunia pendidikan kita, dimana sudah terjadi peningkatan kesadaran di kalangan mahasiswa. Mahasiswa bukanlah benda yang kosong, tetapi mereka sudah membawa potensi dan referensi dari berbagai sumber, sehingga kehadirannya di ruang kuliah bukan tanpa bekal. Ingat di era informasi, maka sumber informasi bisa didapatkan bukan semata-mata dari dosen. Dosen hanya sebagian kecil dari sumber informasi. Justru di luar itu, banyak informasi yang bisa didapatkan melalui buku-buku, jurnal, koran, internet, seminar-seminar dan sebagainya. Oleh karena itu, kalau dosen masih beranggapan bahwa dialah satu-satu sumber informasi, maka dia akan ketinggalan dari dunia informasi yang lain. Apalagi kalau stok informasi yang dimilikinya tidak selalu di upgrade, maka jelas dia akan terlihat ‘kuper’. Dia mengira sudah mencapai setinggi langit dan seluas bumi, padahal ia masih di dalam tempurung.
Ada seorang dosen senior yang memperoleh kesempatan mengikuti program doktor bebas terkendali terheran-heran setelah melihat proses perkuliahan yang dilaksanakan oleh dosen-dosen muda baik yang alumni S-2 atau S-3. Ternyata proses perkuliahannya sudah seperti di S-2 atau S-3, maksudnya banyak membuat makalah, seminar, dan brainstorming. Tidak jarang mahasiswa mendebat dosen, kalau referensinya tidak atau kurang akurat. Sebelum mendapat kesempatan mengikuti kuliah doktor dia mengira bahwa model kuliahnyalah yang paling ideal. Ternyata dosen-dosen muda sudah melaksanakan model sebagaimana di pasca sarjana, walau tidak sepenuhnya.
Betapa idealnya seandainya idealisme mahasiswa tersebut merupakan gambaran mayoritas mahasiswa kita dan kemudian diimbangi dengan idealisme dari dosen untuk meningkatkan semangat keilmuannya.
Berangkat dari pengalaman saya lebih kurang selama delapan tahun sebagai dosen yang belum senior, menunjukkan bahwa prosentase mahasiswa yang mempunyai kesadaran intelektual dan idealisme jumlahnya sangat kecil. Dalam satu kelas rata-rata kurang dari dua puluh lima prosen, sedang yang lainnya biasa-biasa saja dan lebih banyak pasif.
Sebagaimana dilakukan oleh beberapa dosen yang lain, setiap awal kuliah seorang dosen memaparkan prospectus perkuliahan yang akan diajarkan dalam satu semester ke depan, yang meliputi, tujuan yang ingin dicapai, silabi perkuliahan, buku-buku rujukan, pendekatan dan metode-metode perkuliahan dan sistem evaluasi. Memang tidak semua dosen melakukan hal seperti itu, misalnya silabi tidak diberitahukan kepada mahasiswa, buku-buku rujukan dan sistem evaluasi tidak diberitahukan kepada mahasiswa. Ada beberapa kemungkinan, mungkin karena dosen tidak sempat membuat silabi yang siap disampaikan kepada mahasiswa atau mungkin dosen sengaja menyembunyikan langkah-langkah yang akan diajarkan supaya tidak diketahui oleh mahasiswa. Konon dulu ada dosen yang setiap memberikan ujian, mahasiswa selalu tidak bisa menjawab. Bahkan referensi yang ditunjukkan oleh dosen tidak ditemukan jawabannya. Akhirnya ada mahasiswa ‘kreatif’ yang mencuri buku yang ada di tas sang dosen ketika dia keluar kelas. Pada pertemuan selanjutnya sang dosen sempat marah karena bukunya hilang dan dia tidak siap untuk mengajar. Rupanya dari buku “babon” yang disembunyikan dari mahasiswa itulah segala soal ujian dibuat.
Dalam pemaparan prospectus tersebut, mahasiswa saya persilahkan untuk berpartisipasi sebagai bagian dari pendidikan orang dewasa dalam sistem andragogi. Misalnya apakah sillabi yang disampaikan oleh dosen ini perlu ditambah, dikurangi atau perlu direvisi. Apakah ada sumber-sumber rujukan yang lain selain yang disampaikan oleh dosen. Apakah sistem evaluasi dan metode yang diusulkan oleh dosen dapat disepakati, termasuk kesepakatan-kesepakatan tentang sanksi-sanksi dalam kuliah. Setelah semua disepakati, maka semua yang terlibat dalam mata kuliah tersebut akan terikat dengan kesepakatan itu.
Dalam realitanya sangat sedikit mahasiswa yang memanfaatkan moment tersebut, kecuali hanya satu – dua mahasiswa. Rata-rata mereka langsung menerima prospectus tersebut sebagai informasi yang harus diterima. Bahkan anehnya ada beberapa mahasiswa yang tidak peduli dengan prospectus tersebut, dan menganggapnya hanya sebagai angin lalu saja, tanpa ada bekasnya dilembaran kertas yang ia miliki. Akibatnya sudah bisa ditebak, ibarat orang mau berjalan, sudah disediakan denah atau peta yang jelas, lengkap dengan petunjuk kompasnya, namun tidak mau memanfaatkannya, ya seperti berjalan tanpa arah, tanpa persiapan dan tanpa bekal. Bagaimana bisa diharapkan tumbuh idealisme dari mahasiswa yang demikian ?
Sebagai dosen yang menyadari bahwa informasi yang dimiliki oleh dosen itu sangat terbatas, sehingga mengajak mahasiswa untuk membaca langsung dari buku-buku rujukan, namun kenyataannya lain. Masih banyak mahasiswa yang hanya menggantungkan pada dosen sebagai satu-satunya sumber informasi. Buku refrensi yang sudah ditunjukkan tidak pernah dicari, dengan berbagai alasan, sulit dicari, harganya mahal dan sebagainya. Bagi sebagian dosen mungkin ini menguntungkan, karena memposisikan dirinya sebagai orang yang pintar dan ‘paling tahu segalanya’.
Bila ada dosen yang menugaskan membuat makalah dan presentasi, apalagi yang bersifat individual, maka banyak mahasiswa yang mencap, “dosen banyak tugas”. Mengapa makalah harus sekian halaman, harus dengan sekian referensi. Atau mereka berkata, makalah kelompok saja pak, ada pula yang mengatakan cemarah saja pak.
Kuliah dengan sistem seminar (ada mata kuliah tertentu yang tidak cocok dengan sistem ini), dimaksudkan agar partisipasi mahasiswa lebih banyak. Mereka dapat langsung mencari dari sumber rujukan yang ditunjuk, sekaligus dapat menganalisis dan menyusun pola pikir dengan baik dan sistematis melalui presentasi di kelasnya. Dari makalah itu, dosen dapat memberikan masukan maupun menerima masukan ilmu. Demikian pula mahasiswa yang lain, tanpa dia harus mendalami semua topik yang diajarkan. Dengan demikian akan tercipta kondisi ‘saling belajar’ dan menambah ilmu.
Dengan prospectus yang telah disampaikan oleh dosen di awal perkuliahan mestinya mahasiswa dapat menjadikannya sebagai pedoman, persiapan apa yang harus dibawa untuk mengikuti setiap perkuliahan sesuai dengan topiknya, bukan hanya topik makalah yang ditugaskan kepadanya. Mahasiswa juga dapat ‘mengatur strategi’ dalam menghadapi ujian dari dosen sesuai dengan kesepakatan di kuliah awal tersebut.
Tentang kuliah awal ini memang masih ada budaya yang kurang baik, entah awalnya dari mana, “ah masih kuliah awal belum terlalu penting”, sehingga di minggu pertama kuliah biasanya kelas masih kosong. Sejak awal kepemimpinan Dr. H.A.Qodri A. Azizy (Mantan Rektor IAIN Walisongo), sudah diinstruksikan agar dosen masuk kelas sesuai dengan awal masa perkuliahan. Jangan sampai ada kelas kosong pada minggu-minggu pertama kuliah.
Hasilnya cukup lumayan, untuk Fakultas Tarbiyah, lebih dari delapan puluh prosen dosen sudah memulai perkuliahan sejak minggu pertama perkuliahan. Namun demikian di pihak mahasiswa kesadaran tersebut baru tumbuh sekitar tiga puluh prosen. Laporan dari beberapa dosen, bahwa pada minggu-minggu pertama perkuliahan, mahasiswa yang hadir hanya sekitas sepertiga dari jumlah kelas. Alasannya macam-macam, ada yang masih di kampung, ada yang masih batal tambah, ada yang mengatakan belum penting dan sebagainya.
Itulah sebuah realitas dunia kampus kita, yang tentu terkait dengan realitas-realitas yang lain. Realitas tersebut antara lain adalah rendahnya sikap keingin tahuan, curiosity, untuk haus terhadap ilmu pengetahuan baik di pihak dosen maupun di pihak mahasiswa. Akibat rendahnya sikap curiosity ini, maka orang akan mudah puas dengan apa yang dimilikinya. Lebih dari itu mungkin juga ada sikap arogansi intelektual. Merasa sudah pintar sehingga tidak perlu belajar lagi. Ini pernah saya alami ketika menyampaikan sebuah undangan dari panitia pelatihan manajemen IAIN kepada seorang dosen yunior, bagaimana responnya ? positifkah ? ternyata jauh dari yang saya bayangkan. Dengan angkuhnya dia mengatakan ‘ah manajemen paling kayak gitu’. Betapa arogannya dia sehingga merasa tidak perlu ada upgrade ilmu-ilmu yang pernah ia dapatkan. Ilmu yang pernah ia dapat sewaktu kuliah puluhan tahun yang silam, masih dipertahankan dan disampaikan sebagaimana adanya kepada mahasiswa pada era sekarang. Padahal ilmu pengetahuan telah berkembang dengan cepat seiring dengan perkembangan masa. Lima tahun yang lalu komputer dengan prosessor 486 Hz sudah dianggap canggih, namun sekarang, pentium sudah mencapai generasi keempat, dan akan terus berkembang. Rendahnya sikap curiosity telah menghambat orang untuk selalu terbuka terhadap pengetahuan baru.
Dulu orang belajar sesuatu harus berhadapan langsung dengan guru, datang ke majlis pengajian, datang ke perpustakaan, tetapi dengan kecanggihan teknologi dari ruang kamar yang berukuran dua kali tiga meter, dengan internet orang bisa mengakses berjuta juta informasi tanpa harus datang ke majlis, atau langsung ketemu dengan guru. Dulu kalau kita ingin membaca tafsir, harus membeli kita-kitab yang tebal dan harganya mahal, sekarang hanya dengan sebuah note book dan sekeping cd al-Qur’an sudah lengkap ayat-ayat dan tafsirnya dari beberapa kitab. Demikian pula hadits kutubussittah yang memuat sembilan kumpulan kitab-kitab hadits besar, dapat diakses hanya dengan sekeping cd. Untuk belajar bahasa, mulai dari anak-anak sampai dewasa, tidak harus datang ke tempat kursus, sekarang sudah banyak cd program belajar bahasa.
Namun demikian untuk menuju ke arah itu masih ada realitas lain yang harus diakui, yakni faktor ekonomi. Masih ada dosen yang tidak memiliki perpustakaan pribadi dan tidak mau datang ke perpustakaan. Buku-buku yang dipakai untuk mengajar di kelas tidak pernah berubah sejak awal dia mengajar sampai pensiun. Masih ada dosen yang belum memiliki komputer, apalagi mengakses internet. Barangkali alasan klassik yang dikemukakan adalah gaji yang diterima dosen tidak cukup untuk membeli buku, langganan koran, langganan internet dan sebagainya. Itu memang kenyataan bahwa gaji dosen di negeri kita masih jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan gaji guru SLTP di Malaysia. Tetapi itu bukan alasan utama untuk tidak mau berkembang dan mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya.
Di kalangan mahasiswa, faktor ekonomi ini juga menjadi alasan. Katanya uang saku dari rumah tidak cukup untuk membeli buku. Tetapi kenapa tidak ke perpustakaan ? Katanya, perpustakaan bukunya terbatas. Ya memang benar, perpustakaan yang kita miliki, masih jauh dari memadahi. Idealnya, satu orang dapat meminjam buku antara 20 sampai 25 buku dalam jangka waktu dua bulan. Sehingga untuk membuat makalah dapat leluasa mencari referensi di perpustakaan. Akan tetapi kalau kita menunggu kondisi ideal, apakah kita baru akan maju setelah kondisi ideal ? Sampai kapan ?
Ada pengalaman menarik sewaktu kuliah di S-1. Ada seorang teman yang uang saku dari orang tuanya jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan teman-temannya satu kost. Katakanlah waktu itu rata-sata uang saku mahasiswa per bulan antara Rp 45 ribu sampai Rp 60 ribu. Sementara uang saku seorang teman tersebut maksimal hanya Rp 10 ribu plus beras 10 kg. Tetapi teman yang satu ini dapat membeli buku paling tidak 2 sampai 3 buku setiap bulan. Sementara yang uang sakunya banyak ternyata habis untuk makan, jalan-jalan dan beri berbagai assessoris. Kuncinya adalah pada kemauan, Rp 10 ribu merupakan modal awal yang dapat dikembangkan. Kebetulan dia hobi menulis, dengan modal itu ia belikan buku, kemudian diresensi dan dikirim ke media massa. Dari tulisan tersebut ia mendapatkan uang, dan dari klipping tulisan tersebut yang dikirimkan ke penerbit, ia mendapatkan buku-buku baru. Sekali lagi dimana ada kemauan di situ ada jalan. Tak ada rotan, akarpun jadi.***

Penulis adalah mantan aktivis pers mahasiswa akhir tahun delapan puluhan. Sekarang sebagai dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, dan Vice Editor in Chief Joenal Ihya Ulum al-Din.